dr. Pramudya Aryatama, Sp. An. harus terpaksa menikahi saudari sepupu dari mendiang istrinya karena desakan keluarga, juga permintaan terakhir Naina. Belum lagi putranya yang berusia 2 tahun membutuhkan kehadiran seorang ibu.
Bisakah dr. Pram menerima Larasati sebagai istrinya, sedangkan ia sendiri masih begitu terpaku pada kenangan dan cintanya pada mendiang istrinya? Lalu bagaimana Larasati harus menghadapi sosok pria seperti dr. Pram yang kaku juga dingin dengan status dirinya yang anak yatim piatu dan status sosial jauh di bawah keluarga pria itu.
Banyak hal yang membentengi mereka, tetapi pernikahan membuat mereka menjadi dua orang yang harus saling terikat. Bisakah benih-benih perasaan itu hadir di hati mereka?
Jangan lupa subscribe biar dapat notifikasi updatenya, ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sikap Dingin
Kini tepat 5 bulan umur pernikahan mereka. Laras duduk di tepi tempat tidur, menatap bingkai foto almarhumah Mbak Naina. Wanita itu dengan hati-hati mengangkat bingkai itu, berniat membersihkan sedikit debu yang tertempel. Namun, tanpa sengaja, bingkai tersebut terjatuh dan pecah berkeping-keping di lantai.
Suara pecahan kaca mengusik keheningan. Laras tertegun, merasa bersalah. Saat ia membungkuk untuk mengambil potongan-potongan kaca, pintu kamar terbuka. Dokter Pram masuk dengan ekspresi datar menatap Laras yang masih berjongkok juga menatap pria itu tegang.
"Apa yang kamu lakukan, Laras?" suaranya tinggi, menyorot tajam Laras.
Laras terkejut dan merasa kecewa menjawab, "aku tidak sengaja, Mas! Aku hanya ingin membersihkannya."
"Setiap kali kamu melakukan sesuatu selalu ceroboh. Kenapa kamu tidak bisa lebih berhati-hati?" sergah Dokter Pram, nada suaranya tajam.
Hati Laras berdenyut mendengar kata-kata itu. Ia menundukkan kepala, berusaha menahan air mata. "Baiklah, aku minta maaf, Mas!" ucapnya pelan.
Dokter Pram berlalu masuk ke kamar mandi meninggalkan Laras yang masih membersihkan pecahan kaca itu. Malam itu, keduanya tidur saling memunggungi, kesunyian merasuki kamar. Tidak ada percakapan dan obrolan yang biasanya Laras buka dengan bertanya sedikit tentang pekerjaan atau pria itu yang bertanya bagaimana dengan Bagas dan keseharian di rumah sakit.
Keesokan paginya, saat bersiap untuk pergi ke rumah sakit, Laras merasakan suasana yang sama. Ketika mereka berangkat, keduanya diam tanpa obrolan, seakan ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka.
Sesampainya di rumah sakit, Laras duduk di meja administrasi, berusaha fokus pada pekerjaan. Namun, saat Dokter Pram melewati mejanya bersama rekan dokter lain, pria itu tidak melirik atau menyapanya. Rasa sakit itu kembali menghimpit dada Laras. Ia merasa terasing, seolah menjadi bagian dari rutinitas yang tidak berarti. Padahal biasanya pria itu akan menoleh padanya walaupun masih dengan wajah datar tanpa senyum.
Saat waktu makan siang tiba, Laras pergi ke kantin bersama Dinda, karena Naomi shift malam hari ini. Ia melihat Pram duduk akrab dengan Dokter Lidia. Melihat kedekatan mereka menimbulkan rasa cemburu di hati Laras. Kenapa Dokter Pram bisa bersikap akrab pada orang lain, sementara pada dirinya, ia hanya bisa melontarkan nada datar?
Setelah makan, Laras kembali ke meja administrasi, berusaha mengalihkan pikirannya dari rasa cemburu yang mengganggu. Namun, saat pulang ke rumah, Laras melihat Dokter Pram memperhatikan Bagas, putra mereka yang berusia dua tahun, sedang bermain. Laras tersenyum melihat tingkah lucu anaknya, tetapi ketika Pram meliriknya dan kemudian mengabaikannya, hatinya kembali terasa hampa.
"Ngeselin banget kalau diam-diaman gini. Gak enak," gumam Laras.
Malam harinya, Laras merasa perlu untuk memperbaiki keadaan. Ia mendekati Dokter Pram yang duduk di sofa kamar dengan buku bacaannya. "Mas, aku ingin minta maaf lagi," katanya lembut, memasang wajah memelas agar pria itu sedikit luluh. Walaupun sebenarnya bukan sepenuhnya salah Laras.
Dokter Pram menatapnya dengan wajah datar, "Sudah saya maafkan," jawabnya tanpa emosi, membuat Laras merasa seolah-olah kata-katanya tidak berarti.
Laras melapangkan dadanya, berusaha menerima sikap dingin pria itu. Namun, dalam benaknya, ia mulai menyadari bahwa Dokter Pram masih terjebak dalam kenangan Mbak Naina. Rasa sakit yang dialaminya selama ini mungkin bukan hanya karena pernikahan mereka yang terpaksa ini, tetapi juga karena bayangan masa lalu yang tidak kunjung pudar.
"Ehm ... Mau kubuatkan susu hangatnya, Mas?" tawar Laras masih duduk di sofa samping sang suami.
Dokter Pram menghela napas, "saya tahu kamu ceroboh, tapi tidak perlulah kamu membersihkan bingkai foto malam-malam seperti orang yang tidak ada kerjaan ...."
Laras tertegun. Ucapan itu dilontarkan Dokter Pram panjang, dengan netra menatap Laras agak tak habis pikir.
Laras memilin jemarinya gugup, "ma--maaf, Mas."
"Sudahlah. Lain kali tidak perlu repot-repot seperti itu. Saya juga minta maaf kalau menyinggungmu," ujar Dokter Pram mengusap jemari Laras yang terpilin gugup.
Laras mengangguk. Keduanya hening dan saling diam. Laras bingung ingin membuka suara, tapi sentuhan tangan Dokter Pram di kepalanya membuatnya mendongak menatap pria itu.
"Saya tidak bisa sepenuhnya bersikap menjadi pria yang hangat dan romantis karena hati dan pikiran saya belum sepenuhnya melupakan Naina."
Laras mengangguk, "aku tahu, Mas."
"Jadi mohon kerja sama agar kita bisa saling mendukung dan menegur bila ada yang salah dari apa yang kita lakukan dalam hubungan ini. Karena saya berharap pernikahan ini sampai akhir ...."
Laras mengangguk kembali. Kali ini ia dengan berani mengecup bibir sang suami, dan berlalu ke kasur ketika netra pria itu tampak kaget akan apa yang Laras lakukan. Laras menggigit bibir dan menarik selimut menutupi diri, sedangkan Dokter Pram hanya menggeleng tak habis pikir akan tingkah wanita itu.
...To Be Continue .......
bikin cerita tentang anak"laras dan pram author .....