Sebuah cerita perjuangan hidup seorang ayah yang tinggal berdua dengan putrinya. Meski datang berbagai cobaan, selalu kekurangan, dan keadaan ekonomi yang jauh dari kata cukup, tapi keduanya saling menguatkan.
Mereka berusaha bangkit dari keadaan yang tidak baik-baik saja. Ejekan dan gunjingan kerap kali mereka dapatkan.
Apakah mereka bisa bertahan dengan semua ujian? Atau menyerah adalah kata terakhir yang akan diucapkan?
Temukan jawabannya di sini.
❤️ POKOKNYA JANGAN PLAGIAT GAESS, DOSA! MEMBAJAK KARYA ORANG LAIN ITU KRIMINAL LHO! SESUATU YANG DICIPTAKAN SENDIRI DAN DISUKAI ORANG MESKI BEBERAPA BIJI KEDELAI YANG MEMFAVORITKAN, ITU JAUH LEBIH BAIK DARI PADA KARYA JUTAAN FOLLOWER TAPI HASIL JIPLAKAN!❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Kebingungan Teguh
Teguh duduk dengan kepala berdenyut merasakan pusing yang tiba-tiba menghantamnya. Bukan pusing penyakit tapi karena tahu jika Ayu berjualan untuk membantu membayar hutang-hutangnya. Apa seburuk dan setidak becus itu dia menjadi orang tua sampai anaknya yang baru berusia delapan tahun itu berpikir untuk ikut bekerja demi melunasi hutangnya?
'Ya Allah..Ya Rabb.. Hamba tidak meminta padaMu menghilangkan atau meringankan beban di pundak hamba tapi, hamba mohon.. Hamba mohon kuatkan bahu ini supaya bisa tetap kuat menjalani apa yang Engkau gariskan untuk hamba..'
Jatuh air mata itu. Teguh hanya bisa menunduk saat Ayu mendekatinya.
"Bapak kenapa? Ayu salah ya pak?" Pertanyaan itu makin mengiris hati Teguh. Bibir itu bahkan tak mampu menjawab pertanyaan ringan anaknya.
"Pak.. Ayu salah apa pak? Kenapa bapak diem? Ini uang dari bulek Ju pak.. Ayu taruh sini ya pak," Ayu merogoh uang lima belas ribu tadi dari saku rok panjangnya dan ditaruh di meja, tepat di hadapan Teguh.
"Yu.. Sini nduk.." Teguh memeluk tubuh kecil Ayu. Ayu yang tak mengerti kenapa bapaknya menangis jadi ikutan bercucur air mata.
"Jangan jualan lagi ya. Ayu enggak usah cari uang untuk bantu bapak. Itu urusan bapak Yu. Biar bapak yang kerja, tugasmu hanya belajar, sekolah yang pinter.. Ya?" Kata Teguh dengan mata memerah.
"Ayu pengen berbakti sama bapak.. Kata bu guru, surga itu ada di bawah telapak kaki ibu pak.. tapi, ibu Ayu sudah enggak ada.. Jadi Ayu pengen berbakti sama bapak agar dapat surga-Nya Allah.. Bapak enggak usah sedih lagi ya pak.. Ayu enggak apa-apa kok jual es sama gorengan bareng bulek Ju.. Ayu mau bantu bapak." Di sela isak tangisnya, perkataan bocah itu makin membuat Teguh terenyuh.
'Dek.. Kamu dengar itu Dek.. Ayu kita sudah sepintar itu sekarang. Ayu kita jadi anak yang selalu ingat pada ibu bapaknya. Ragamu boleh terkubur.. tapi aku yakin dalam keabadian kamu pasti bisa melihat betapa hebatnya anak kita..'
Dalam hening nya malam, Teguh mengusap pelan rambut Ayu. Setelah sholat dan mengerjakan PR, Ayu tertidur di bangku panjang di depan TV. TV yang sudah kehilangan fungsinya itu masih menjadi hiasan di sana.
Teguh memikirkan cara mendapatkan penghasilan lebih agar dia dan putrinya lepas dari kemiskinan yang selama ini membelenggu mereka. Kemiskinan yang kerap menjadikan mereka bahan gunjingan para tetangga. Teguh bahkan tahu betul bagaimana tak sukanya Vera, ibunya Dinda kepada Ayu dan terlebih pada dirinya.
Becak yang teronggok di sudut ruangan juga tak banyak membantu sekarang ini. Jarang orang di desanya yang mau menaiki becak sebagai alat transportasi, jaman sudah berubah.. Sekarang setiap orang punya kendaraan pribadi di rumah mereka. Tak seperti dulu meski sedikit tapi, ada saja orang yang mau menggunakan jasanya.
'Apa memang jalannya aku harus merantau? Lalu bagaimana dengan Ayu.. Emak sudah sepuh dan sering mengeluh sakit, kalau aku menitipkan Ayu pada emak, itu malah akan menjadi beban tersendiri buat emak nantinya. Ayu memang mandiri, semua bisa dikerjakan sendiri tapi... Apa Ayu mau aku titipkan kepada mbah nya? Ya Allah.. Hamba harus apa?'
Dipandanginya wajah polos itu, mana mungkin Teguh tega menitipkan Ayu pada sanak saudara atau orang tuanya.. Ayu bukan barang yang bisa dititip-titipkan. Lagi-lagi Teguh berandai-andai, andai saja Nur masih ada... Selalu seperti itu.
Batinnya sedang berperang antara pergi merantau meninggalkan anak atau tetap di kampung halaman tapi dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Pas buat makan hari ini, besok cari lagi. Mana dia juga harus membayar hutang pada bu Saodah yang sudah lama belum terlunasi.
Lambat laun mata itu tertutup, penatnya hari ini ditutup dengan pekatnya malam. Menggiring setiap insan terlelap di peraduan. Bukan kasur empuk, hanya bangku panjang yang Teguh pakai untuk menyandarkan kepalanya. Dengan harapan semoga waktu bangun esok keadaan bisa lebih baik dari sekarang.
Pagi yang sama, masih seperti kemarin. Kokok ayam memecah kesunyian saat sang surya masih enggan menampakkan kegagahannya. Teguh yang sudah menyiapkan bekal sekolah sekaligus sarapan untuk Ayu dan juga dirinya bergerak ke depan rumah untuk menjemur pakaian yang sudah dia cuci sebelumnya.
Dia melihat Vera sedang menyapu halaman rumahnya. Seketika pandangan Vera dibuang malas saat matanya tak sengaja menatap ke arah Teguh. Sebuah kesalahan jika Vera sampai bertemu pandang dengan Teguh. Wanita itu seperti menaruh dendam mendalam pada lelaki berstatus duda ini.
"Udah semua Yu?" Tanya Teguh kepada Ayu.
"Sampun pak.. (Sudah pak)." Ayu berlari ke luar rumah dengan tas selempang di tangannya.
"Udah maem? Bekalnya udah dibawa? Jangan lupa dibungkus plastik dulu biar enggak tumpah nanti ya." Teguh bersiap akan mengantar Ayu sekolah.
"Orang lain masih tidur ini malah udah mau berangkat ke sekolah! Mau jadi kuncen (penunggu) di sana ya? Ya wajar sih ya.. Berangkat aja ngontel! Kudu gasik biar enggak telat! Ckck kesihan sekali." Sindir Vera sambil menaruh teh hangat di meja terasnya saat melihat Ayu dan Teguh melewati rumahnya.
"Kamu ada masalah apa sebenarnya sama aku? Apa aku pernah ganggu kehidupanmu?" Akhirnya Teguh bersuara. Vera menatap tajam mendapat jawaban dari Teguh.
"Diiieh amit-amit aku ngobrol sama situ, bisa ketularan miskin nanti iyuuuh. Jauh-jauh sana huuush!" Vera mengibas-ngibaskan tangannya dengan gestur seperti mengusir.
Ayu melihat bapaknya yang masih santai menanggapi perkataan ibunya Dinda yang terkesan menghina itu. Toh dia juga tidak mengerti sebenarnya kenapa ibunya Dinda begitu alergi sama dia dan bapaknya.
"Kemiskinan bukan suatu dosa, juga bukan suatu penyakit yang bisa menular segampang itu pada orang lain. Tidak perlu sombong dengan apa yang kamu punya sekarang karena itu semua hanya titipan. Saat titipan dariNya diambil, apalagi yang akan kamu banggakan?" Setelah berkata demikian Teguh mengayuh sepedanya kembali. Dia tak ingin putrinya terkontaminasi kata-kata tak senonoh ibunya Dinda di awal hari ini.
"Enggak usah dipikirin." Ucap Teguh mengagetkan Ayu.
"Apa lho pak.. Ayu enggak lagi mikirin bu Vera kok." Jawab Ayu sekenanya.
"Iya bagus. Jangan memikirkan sesuatu yang membuat kamu bingung, sedih atau marah di waktu bersamaan. Kamu masih kecil, mending mikirin gimana caranya kamu bisa ningkatin prestasi kamu di sekolah."
"Kamu tahu dongeng putri yang di beri apel sama tetangganya lalu tidur bertahun-tahun?" Lanjut Teguh.
"Emang ada pak dongeng seperti itu? Ayu enggak pernah denger.. Kok tetangganya tega sekali ngasih apel ke putri biar tidur lama banget.. Emang salah si putri apa pak?" Tanya Ayu dengan polosnya.
Teguh tersenyum. Sebenarnya dia sendiri tak tahu ada dongeng dengan adegan seperti itu. Itu hanya caranya membuat Ayu melupakan paginya yang semprawut gara-gara ibunya Dinda tadi.
mgkn noveltoon bs memperbaiki ini..