Bahu Bakoh
Seorang anak kecil berjalan pelan menunduk sepulang sekolah. Bukan mencari receh yang mungkin jatuh tapi, dia hanya berhati-hati kalau-kalau sepatu yang dipakainya terbuka makin lebar di bagian depannya. Sepatu yang sudah seperti mulut buaya yang sedang berjemur itu masih saja dipakai si bocah karena memang dia tidak memiliki sepatu lain lagi sebagai gantinya.
Teriknya matahari siang ini menambah dahaga si bocil, tatapannya makin sayu saat melihat penjual es dawet yang sedang dikerubungi para fansnya yang kehausan butuh kesejukan pada tenggorakan mereka.
Diah Ayu, nama bocah yang sekarang membuka tas selempang nya. Mencari botol air mineral yang dia pakai sebagai wadah air minumnya. Masih ada sedikit air. Dia meneguk air itu sambil membayangkan sedang menikmati es dawet yang manis dingin di setiap tegukan nya.
"Yu Ayu.. Kamu pulang bareng aku aja yuk!" Ajak Dinda, teman sekelas Ayu yang sedang dibonceng ibunya dengan motor matic.
Rumah mereka berdekatan, itu sebabnya Dinda menawarinya tumpangan. Tadinya Ayu, panggilan bocah delapan tahun itu, bersemangat ingin pulang bersama Dinda. Tapi akhirnya, Ayu menggeleng pelan saat melihat wajah ibu Dinda yang merengut menunjukkan ketidaksukaan yang nampak nyata.
Mata ibu Dinda bahkan melotot mengisyaratkan agar Ayu tak mendekati motornya yang masih menyala.
"Din, habis ini mama mau ambil belanjaan di kios koh Al lho. Belanjaan mama banyak! Mau ditaruh di mana belanjaan mama kalau kamu ngajak dia segala." Kata ibunya Dinda judes.
Tak mau makin banyak drama, Ayu hanya tersenyum saat Dinda melambaikan tangan dengan jarak yang makin menjauh.
Setengah jam berjalan kaki, Ayu sampai juga di rumahnya. Melepaskan sepatu yang menjadi alas kakinya, yang telah berjasa membawanya kembali pulang ke rumah tanpa merasakan sakitnya butiran kerikil dan panasnya aspal jalanan.
"Bapak belum pulang.." Ucap Ayu saat melihat rumahnya masih sepi.
Setelah mengganti baju, Ayu berjalan menuju dapur. Matanya menyusuri meja kecil, di sana ada dua bungkus mi instan. Dengan cekatan Ayu mengambil beberapa batang kayu bakar guna menyalakan perapian. Tak ada kompor gas, hanya tungku tanah liat yang sudah hitam dan penuh dengan abu bekas pembakaran.
Hanya mi instan saja sudah cukup membuat Ayu senang. Perutnya yang sedari tadi berdendang bisa kembali kalem setelah menyantap sepiring mi tadi.
"Yu.." Suara lelaki yang sangat dia kenal memanggil namanya.
Ayu yang telah menyelesaikan makannya langsung beranjak keluar dari dapur setelah mendengar bapaknya memanggilnya.
"Ya pak. Tadi mi nya tak makan satu pak, masih satu.. mumpung apinya masih nyala, Ayu masakin satunya buat bapak ya?!"
Ayu ingin kembali ke dapur tapi bapaknya mencegah niatnya itu.
"Udah Yu. Enggak usah.. Bapak udah makan tadi. Ini.. bapak beliin kamu kaos kaki. Kamu bilang kaos kakimu udah bolong. Jempolnya kelihatan.. Ini buat sekolah besok ya." Bapak menyerahkan kaos kaki putih ukuran anak SD pada Ayu. Ayu tersenyum. Dia senang bukan kepalang.
Saking senangnya, Ayu membuka kaos kaki yang masih terbungkus plastik dengan gerakan cepat. Dia mencobanya. Matanya terlihat berbinar. Dia sudah membayangkan besok waktu sekolah dia tak perlu lagi menekuk ujung jempolnya guna menyembunyikan jempolnya yang muncul dari balik sepatu karena kondisi kaos kakinya yang bolong.
"Suka Yu?" Tanya bapaknya tersenyum melihat kebahagiaan putri kecilnya.
"Suka pak! Ayu suka banget.. Bapak kok tahu ukuran kaki Ayu, lihat deh pak! Pas dipake Ayu." Ayu tidak tahu jika semua ukuran kaos kaki anak SD dibuat sama dari pabriknya.
Ayu sekarang duduk di kelas dua SD. Dia tinggal berdua dengan bapaknya di rumah kecil berlantai tanah, dengan dinding dari papan kayu yang terlihat dibeberapa bagian nampak dimakan rayap. Tak ada televisi layar datar, apalagi smart TV seperti di kebanyakan rumah di desa mereka. Hanya TV dengan layar jenong seperti ikan lohan yang menghiasi ruang tamu mereka. Itupun sudah tidak berfungsi karena bapak Ayu belum bisa membelikan stb agar televisi mereka bisa beralih ke siaran televisi digital.
Bapak Ayu bekerja sebagai kuli pemecah batu. Pekerjaan serabutan yang tidak setiap hari bisa beliau andalkan untuk menghasilkan uang. Sebagai alternatif lain agar kebutuhan tercukupi, bapak Ayu kadang bekerja di pasar menjadi tukang panggul barang di sana. Tetap bukan pekerjaan yang menjanjikan kemewahan tapi, itulah yang beliau bisa lakukan untuk mensejahterakan Ayu. Meski bapak Ayu sangat yakin saat ini kehidupan keluarganya jauh dari kata sejahtera.
Malam tiba, rintik hujan jatuh berirama saat air dari langit itu terjun bebas membentur genting rumah pak Teguh, nama ayah Ayu. Dia teringat anaknya tadi menjemur sepatu di teras rumah mereka. Bergegas pak Teguh mengambil sepatu Ayu sebelum basah kuyup karena kehujanan.
Di tengah pekatnya malam, diiringi gemericik air hujan, pak Teguh mengambil benang dan jarum khusus untuk menjahit bagian depan sepatu Ayu yang menganga.
'Yu.. Maafkan bapak yang belum bisa memberikan sepatu baru buat kamu nak. Hanya kaos kaki itu saja yang bisa bapak berikan.'
Suara petir mengagetkan Ayu yang sudah tertidur pulas di kamarnya. Dia berjalan keluar kamar mencari bapaknya yang masih terjaga. Ayu melihat bapaknya sibuk bergelut dengan benang serta jarum, menjahit sepatunya yang rusak.
"Pak.." Lirih Ayu.
"Lho kenapa Yu? Kaget sama petir ya? Sini.." Tangan pak Teguh melambai meminta Ayu menghampirinya. Ayu menurut.
"Maaf ya Yu.. Bapak belum bisa beliin sepatu baru." Ujar pak Teguh saat Ayu duduk merapat kepadanya.
"Enggak apa-apa pak. Tangan bapak berdarah?" Melihat tangan bapaknya.
"Hahaha.. Bukan, ini cat. Kamu baru bangun jadi ngawur lihatnya." Pak Teguh menyembunyikan tangannya.
Tapi, Ayu tak mudah dibohongi. Meski baru berusia delapan tahun tapi, Ayu cukup kritis dengan keadaan sekitar.
"Bapak enggak usah bohong sama Ayu. Ayu lihat kok tangan bapak berdarah.. Kalau saja ibu masih ada ya pak, bapak enggak perlu ngesol sepatu Ayu sendiri kayak gini. Pak.. Ayu kangen banget sama ibu.." Ayu terisak.
Kalau sudah seperti ini, pak Teguh hanya bisa menghela nafas. "Yu.. Ibu sudah tenang di alamnya ya. Kalau kangen ibu, kamu ingat bapak nyuruh apa sama kamu?"
"Bacain al-fatihah pak.." Masih terisak.
"Iya. Bacain al-fatihah, berdoa sama Allah agar ibu di sana enggak sedih lihat kamu di sini nangisin ibu terus." Mengusap lembut rambut Ayu.
Hati pak Teguh pun tersayat jika Ayu mulai merasakan kerinduan pada ibunya yang telah pergi mendahului mereka menghadap sang Pencipta.
"Yu.. Dengarin bapak, enggak usah nangis terus. Besok kita ke tempat ibu ya, mau? Katanya kamu mau kasih lihat ke ibu gambar yang kemarin kamu bikin di sekolah." Pak Teguh menciptakan suasana baru agar Ayu tidak terus-menerus menangis. Ayu mengangguk meski belum sepenuhnya terdiam dari tangisnya.
"Tidur lagi ya kesayangannya bapak." Ayu terdiam, dia lebih memilih tidur di pangkuan bapaknya. Pak Teguh membiarkan saja Ayu bermanja kepadanya seperti itu.
Dengan suara pas-pasan pak Teguh menyanyikan lagu kasih ibu sambil mengusap perlahan kepala Ayu. Lambat laun mata Ayu terpejam, tertidur dengan harapan bisa bermimpi bertemu ibunya.
'Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.'
Tak terasa air mata pak Teguh menetes. Bukan hanya Ayu yang merindukan sosok ibunya tapi, pak Teguh yang amat mencintai mendiang istrinya itu juga merasakan sesak di dada menahan kerinduan untuk istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 220 Episodes
Comments
Ganendra Dimitri
belum apa apa sdah mewek duluan
2024-02-12
3
ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ 𒈒⃟ʟʙᴄ ㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤ
mau baca ulang dulu 🏃♀️🏃♀️🏃♀️
2023-11-26
7
𝐃𝐈ᵃ𝐋𝐀𝐇😼
baru baca udah sedih🥹
2023-11-16
18