Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Riki melemparkan tasnya ke sembarang tempat. Wajahnya kusut, rambutnya dijambak sendiri.
“Gila, kenapa semuanya jadi berantakan seperti ini…” gumamnya pelan, tapi penuh emosi.
Ia berjalan mondar-mandir di kamar, lalu duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya.
“Lusi minta pernikahan mewah. Emangnya aku sultan? Ini cuma nikah siri, kenapa harus pesta besar? Dari mana aku dapat uang sebanyak itu? Aneh banget, dia anak orang kaya, tapi semua biaya ditimpakan ke aku.”
Ia mendengus. Pikirannya makin kacau.
“Padahal dulu nikah sama Anjani nggak ribet begini. Anjani juga masih perawan waktu itu, beda sama Lusi yang sudah bukan… ya, bukan aku yang pertama. Jangan-jangan anak yang dikandungnya sekarang bukan anakku?”
Riki menunduk. Pusing. Semuanya terasa seperti benang kusut.
“Kalau aku batalin, Lusi bisa aja laporin aku ke kantor. Bisa-bisa karierku hancur.”
“Tok tok tok!”
Terdengar ketukan pintu. Riki buru-buru bangkit dan membuka. Ternyata ibunya, Mirna, berdiri di sana. Tangannya membawa segelas air hangat dan sepiring nasi.
“Nak, makan dulu, ya.” Suaranya pelan, matanya berkaca-kaca melihat kondisi anaknya.
“Iya, Bu. Terima kasih,” ucap Riki, mengambil piring itu.
Ia makan, meski tak berselera. Nasinya hanya disentuh sedikit, lalu diletakkan kembali.
“Kamu kenapa, Ki? Kelihatannya pusing banget,” tanya Mirna, duduk di sisi kasur.
“Pusing, Bu. Sebelum aku ditugaskan ke luar kota, Lusi minta dinikahi dengan pesta mewah.”
Mirna mengangguk pelan. “Ya sudah, nikahin saja. Ngapain dipikirin terlalu dalam?”
“Masalahnya, Bu, dia mau pesta yang besar. Aku nggak punya uang sebanyak itu.”
“Lho, kan Lusi anak orang kaya. Seharusnya keluarganya yang tanggung. Kamu dulu nikah sama Anjani nggak keluar uang sepeser pun. Padahal waktu itu kamu pengangguran. Sekarang kamu kepala cabang, harusnya mereka yang keluar modal. Masa nggak malu nikah sama orang sukses, tapi ngarep dibiayai?”
Riki menggeleng. “Justru karena aku kepala cabang, mereka pikir aku harus yang nanggung semuanya. Padahal aku nggak punya uang, Bu. Tabunganku habis.”
Mirna menatapnya tajam. “Makanya jangan boros. Semua uang kamu habis buat beliin mobil dan bangun kontrakan buat Anjani, kan? Sekarang repot sendiri.”
Riki mengernyit. “Apa maksud Ibu?”
“Tadi Ibu ke tempat kontrakan Anjani. Ibu kira dia cuma kerja atau sewa di sana. Tapi ternyata dia pemilik kontrakan itu.”
“Yang bener, Bu? Masa sih?”
“Jangan bohong, Riki. Kamu yang beliin kontrakan dan mobil buat dia, kan?”
Riki terdiam sejenak. Matanya membulat. “Apa? Anjani punya mobil?”
“Iya. Mobil baru, beli cash.”
“Enggak mungkin, Bu. Sumpah, demi Tuhan, bukan dari uang aku. Aku nggak punya uang sebanyak itu.”
“Yakin?”
“Yakin. Aku kerja baru satu tahun. Diangkat jadi manajer juga baru enam bulan. Mobil yang kupakai aja masih nyicil. Nggak mungkin bisa beliin mobil buat Anjani, apalagi kontrakan.”
Mirna mulai terlihat bingung. Ia termenung memikirkan jawaban Riki.
“Kalau begitu… berarti Anjani selama ini bohong sama kita? Dia ternyata punya uang sendiri?”
Suasana kamar mendadak hening. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Kalau begitu,” suara Riki mulai terdengar pelan, “aku nggak harus cerai sama Anjani dong, Bu? Dia ternyata kaya. Bisa bantu aku. Mungkin ini cuma salah paham.”
Mirna tak menjawab. Ia hanya mengeluarkan selembar surat dari tasnya dan menyerahkannya ke Riki.
“Apa ini, Bu?”
“Baca saja.”
Riki membuka surat itu. Matanya bergerak cepat membaca baris demi baris.
Matanya membulat. Tangannya gemetar.
“Bu… ini… ini gugatan cerai dari Anjani…” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Tubuhnya terasa lemas. Dunia seperti runtuh di depan matanya.
Riki mengambil ponselnya, lalu mencoba menghubungi Anjani. Ia menatap layar ponsel penuh harap. Satu kali panggilan... tidak diangkat. Ia mencoba lagi. Dua kali, tiga kali… tetap tidak ada jawaban.
“Gimana, Ki?” tanya Mirna pelan, dari balik pintu.
“Enggak diangkat, Bu,” jawab Riki, lesu.
Mirna mendesah panjang. “Ibu udah terlanjur kecewa sama dia. Kalau dia memang cinta sama kamu, harusnya dari awal dia terbuka. Jangan sampai kita semua salah paham begini.”
Riki menatap ibunya, nada bicaranya mulai serius. “Bu, Ibu dari dulu selalu menyalahkan Anjani. Tapi selama aku menikah sama dia, Anjani enggak pernah sekalipun jelek-jelekin Ibu di depan aku. Dia selalu berusaha hormat, Bu.”
Mirna memalingkan wajah, suaranya agak meninggi. “Benar kata Bapak kamu, kamu tuh terlalu cinta sama Anjani! Sekarang mending kamu pikirin gimana caranya kamu bisa dapat harta gono-gini. Ibu sih seneng banget kalau mobil barunya itu jadi milik kita.”
Riki langsung menggeleng cepat. “Enggak bisa begitu, Bu. Mobil itu Anjani beli pakai uangnya sendiri. Aku yakin enggak ada uang aku yang dipakai. Selama nikah, aku yang kasih uang bulanan ke Anjani. Dia enggak pernah minta lebih, enggak pernah pegang gajiku. Baru enam bulan terakhir aku kasih dia tiga juta per bulan. Ibu sendiri tahu, tiga juta juga sering kurang buat kebutuhan kita semua.”
Mirna terdiam. Wajahnya sulit dibaca.
......
Sementara orang sedang dibahas sedang asik membaca bahan presentasi besok dengan mentri pertanian tak ada waktu untuk memikirkan hal-hal yang tak berguna, meningkatkan produksi petani indonesia untuk ketahanan pangan adalah hal yang lebih penting daripada memikirkan mobil baru
Anjani merentangkan tangannya, ntah sudah berapa jam anjani duduk menghadap laptopnya
Anjani melihat ponselnya ada beberapa panggilan dari riki
“tidak ada negosisasi mas, kita bicara dipengadilan, satu hal yang paling aku benci adalah penghiatan”
Anjani menarik selimut lalu tidur dengan tenang besok adalah hari panjang untuk dia, dia harus siapkan energi
Pagi itu, Anjani sudah siap. Ia mengenakan jilbab hijau muda yang terpasang rapi, blazer senada, celana panjang longgar, dan sepatu hak pendek. Penampilannya sederhana, tapi tetap terlihat anggun dan profesional.
Mobil sudah menunggu di depan rumah. Jamal, sopir barunya, langsung membukakan pintu.
“Ayo berangkat, Pak,” ucap Anjani sambil duduk di kursi belakang.
“Siap, Bu,” sahut Jamal.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Jamal menyetir tenang, seolah sudah hafal setiap belokan jalanan Jakarta.
“Gimana anak Bapak? Masih sakit?” tanya Anjani, memecah keheningan.
Jamal tersenyum tipis. “Kena muntaber, Bu.”
Anjani melirik ke cermin depan, melihat mata Jamal yang tampak basah.
“Dirawat di rumah sakit?”
“Belum, Bu. Saya masih nunggak BPJS tujuh ratus ribu. Jadi sementara saya rawat jalan aja dulu.”
Anjani mengangguk pelan, lalu berkata tegas, “Nanti habis antar saya, Bapak langsung pulang. Bawa anak Bapak ke rumah sakit. Saya transfer uangnya siang ini.”
“Tapi Bu, saya—”
“Tidak ada penolakan. Kalau Bapak nolak, ini hari pertama dan terakhir Bapak jadi sopir saya.”
Jamal tercekat. “Baik, Bu,” ucapnya pelan.
Air matanya menetes. Ia tak menyangka bos sebaik itu. Dalam hati, Jamal bersumpah akan menjaga Anjani sebaik mungkin, bahkan dengan nyawanya jika perlu.
Sesampainya di kantor Kementerian Pertanian, Anjani langsung turun dari mobil.
“Pak Jamal, silakan pulang. Fokus dulu sama anak Bapak. Kalau sudah dapat perawatan, baru hubungi saya, ya,” ucap Anjani tenang.
“Baik, Bu. Terima kasih banyak,” jawab Jamal, terharu.
Anjani melangkah masuk ke lobi. Ia langsung menuju meja resepsionis. Di sana sudah ada Rina, yang menyapanya dengan ramah.
“Anjani!”
Anjani melambaikan tangan. Rina kemudian membisikkan sesuatu ke bagian protokoler. Petugas itu mengangguk cepat.
“Bu Anjani, Anda sudah ditunggu,” kata staf protokoler dengan sopan.
Anjani mengangguk. “Hai, Rin. Rajin banget kamu sudah di sini dari pagi.”
“Kamu nggak tahu aja. Pak Menteri kita subuh udah nongkrong di kantor,” sahut Rina sambil tertawa kecil.
Mereka berjalan bersama ke ruang pertemuan. Sampai di lantai dua, pintu ruangan langsung dibukakan. Ternyata Menteri Pertanian sudah duduk di dalam bersama beberapa staf ahli. Laptop terbuka, berkas berserakan. Semuanya tampak serius.
Anjani menyapa semua yang hadir, lalu mulai presentasi. Ia menjelaskan dengan tenang tapi yakin. Grafik, data, dan analisa dipaparkan. Ia menjabarkan manfaat formula pupuk AJ25 untuk kondisi tanah Indonesia, dampaknya terhadap hasil panen, dan efisiensi biaya bagi petani.
Pertemuan yang awalnya dijadwalkan 30 menit berubah jadi 3 jam. Pak Menteri asyik berdiskusi. Beberapa kali staf memberi kode, tapi beliau tak sadar.
Akhirnya, seorang staf berani membisikkan jadwal lain.
“Waduh, aku ada rapat sama Pak Menko. Pokoknya konsep kamu mantap, Dek. Kalau butuh apa-apa, hubungi Guntur, ya,” ucap Pak Menteri sambil tersenyum.
Anjani keluar dari ruangan rapat sementara rina masih banyak yang harus dia urus
Ponsel Anjani berdering. Nama Jamal tertera di layar.
“Bu, alhamdulillah, anak saya sudah masuk ruang perawatan. Sekarang saya jemput Ibu, ya,” ucap Jamal di seberang sana.
“Iya, Pak. Saya tunggu di tempat yang tadi,” jawab Anjani singkat.
Anjani melangkah keluar dari lobi gedung. Belum sempat mencapai pintu, seseorang tiba-tiba menghadangnya.
“Eh, eh... ternyata ada istri kampungan di sini,” suara itu terdengar nyaring. Lusi, berdiri dengan tangan disilangkan. “Pasti kamu lagi ngelamar kerja jadi OB, ya?”
Anjani menatapnya datar. “Itu bukan urusan kamu.”
“Urusan dong. Soalnya sebentar lagi aku akan menikah dengan Mas Riki, di aula kementerian ini. Abangku kerja di sini, jadi gampang ngurus tempat. Mas Riki pasti bahagia dapat aku—cantik, kaya, dan berpendidikan,” ucap Lusi dengan senyum mengejek
pilih siapa yaa.. ikutan bingung 😆😆
Si Riki sama Ibunya biar nyaho.. wanita yg di elu-elu kan taunya adalah simpenen bapak/suami mereka 😜😜😜😆
Lanjuuttt kakakkkk....
Ditunggu kehancuran mantan suami Anjani...