NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bali

Pagi ini, aku sudah berada di Denpasar dan segera mencari taksi yang akan membawaku menuju lokasi acara. Lalu lintas yang ramai menyambut di luar bandara, hingga 45 menit kemudian, aku sampai. Mrs. Lee menyambutku dengan wajah berbinar, dan lihatlah, ia tak sendiri. Lee Ji Hoon dan Kang Hera mengekor dibelakang, ah, aku rindu. Aku segera berlari menyambut uluran tangan Hera dan ibunya, sungguh, aku sangat rindu. Pada hangat dekap ini, pada senyum tulus ini.

"Apa kabar, Ara?" Mrs. Lee mengurai pelukan kami. Aku tersenyum melihat Hera bergelayut manja disampingku.

"Baik, tentu saja selalu baik, mbak. Hai Hoon, sudah lama kita tak menghitung bintang bersama. Kamu baik?" tanyaku pada Ji Hoon.

Ia tersenyum dengan manis. "Tentu, sepertimu yang selalu baik." Ah, dia memang anak manis jika sedang dalam mode tenang.

"Jadi, apa yang bisa saya bantu?" tanyaku.

"Tidak ada, semua sudah selesai hari ini. Kami memang sengaja memanggilmu kemari. Apa kamu sibuk? Maaf jika iya."

"Ahh, tidak, tentu tidak. Sekalipun sibuk, saya pasti akan datang."

"Benarkah? Terima kasih, Ara. Hoon dan Hera bilang, mereka rindu, jadi saya ajak sekalian. Dimana dia?"

"Dia? Siapa?" Aku bingung, siapa maksudnya?

"Tentu saja Mr. Byeol. Dimana bintangmu?" celetuk Hoon.

Aku terbelalak, sedang Mrs. Lee tertawa, setengah bersungut aku menjawab, "Aah, entah. Sepertinya ia sibuk dengan dunianya. Lagipula siapalah saya, cuma remahan gorengan di dasar wajan." Mereka terbahak, entah lucu dimana.

"Kamu terabai?" Hoon dengan seringai jahilnya menggodaku.

"Tidak, aku tidak merasa terabai, hanya sedikit terasa berbeda ia tak seperti biasanya."

"Kamu kehilangan?" Hoon mencecarku dengan pertanyaan.

"Tidak seperti itu, hanya sedikit berbeda," bantahku.

"Itu namanya kehilangan, kau tahu?! Dan lagi, berhentilah menggunakan bahasa formal! Terdengar begitu aneh ditelingaku, kaku bener macem peraturan."

"Iya nih, ini bukan di Korea, Kak Ra," sambung Hera.

"Yekaliii, sekalian kalian pake Bahasa?" tantangku.

"Siapa takut?! Aku sama Oom udah lancar dong pake Bahasa."

"Jinjja?"

"Nyebelin emang si Ara." Hoon mencebik, aku hanya tertawa. Mereka memang tertarik belajar Bahasa sejak aku baru bekerja di butik Mrs. Lee.

"Sudah, kalian ini baru ketemu sudah ribut. Kalo ga ketemu saling cari, ketemu malah berantem terus," omel mamanya Hera. Aku tak menjawab, hanya nyengir dan masuk ke kamar yang sebelumnya telah disiapkan untukku. Aku mengabari Vita tentang keberadaanku, dan sungguh, tak ada pemberitahuan apapun dari Mas Dwi. Pikirku, biarlah, mungkin sudah temukan bahagianya.

Seharian ini aku diam di kamar, merapikan hasil perjalanan kemarin sembari mulai membersihkan kamera. Usai magrib, kamarku di ketuk, aku gegas membukanya, dan ku temukan Hera didepan pintu.

"Kak, sibuk gak nih?"

"Nggak, masuk aja!"

Hera masuk diikuti Hoon yang ternyata mengekor dibelakang. Mereka bercerita tentang keseharian mereka, akupun begitu. Sampai pada topik pembahasan tentang Mas Dwi, ah apa dia benar-benar menemukan rumah? Aku menepis segala pikiran liar yang ada di benakku. Aku bercerita dengan nada santai pada dua orang dihadapanku ini.

"Kamu yakin nggak lagi kena prank?" Hoon memainkan alisnya, menyebalkan.

"Prank siapa? Lagipula alismu itu lho, diemin dulu!" Aku sewot.

"Kalo perasaanku sih, kamu lagi dikerjain temenmu yang lainnya, sama adiknya si Dwi," lanjutnya.

"Nah, aku juga mikirnya gitu kak, temenmu kan gendheng semua," sambung Hera.

"Terserah sih, mau beneran juga ga masalah. Udah waktunya juga dia nemuin pendamping."

"Mulut sih oke tahu deh hatinya. Ntar pas nulis di blog malah 'apa kabar hati? Mari berjuang untuk mengikhlaskan'," ujar Hoon, Hera terbahak keras.

Mereka tahu bahwa aku adalah blogger aktif, selain menuliskan pengalaman dan aneka ragam populasi hutan, aku terkadang menulis iseng tentang empat orang dengan kelakuan ajaib mereka ditambah dua orang yang hebohnya sama denganku.

"Biasa aja sih, Hoon. Sewot bener."

"Lah, aku ga sewot, kamu tuh yang sewot!" balasnya.

"Kalian tiap ketemu macem tikus sama kucing, awas ntar jodoh," sungut Hera.

"Ya nggak bisa jadi jodoh lah, banyak banget faktor yang bikin ga berjodoh, ngaco emang punya keponakan satu." Jihoon menoyor Hera pelan. "Sebenarnya kalo bukan karna faktor utama itu, si Ara boleh juga dijadiin istri. Biar barbar tapi sabar banget, saking sabarnya kalo abis nyeduh teh mesti nunggu tehnya dingin baru diminum."

"Biar lidah lu ga gosong, ege!" Aku meninju lengan Hoon dengan kesal.

"Mulaiii, eh perbarui konten YTube yok, udah lama nggak ada konten bertiga," usul Hera, aku mengangguk setuju, pun dengan Jihoon.

Hera mengelola YTube dengan ratusan follower, konten yang ditampilkan random, mulai dari kesehariannya, makanan dan tempat wisata serta hal random lainnya. Terkadang Hoon akan muncul dan juga aku, ketika masih berada di negara mereka. Kami hanya sekedar iseng membuat vlog dan Hera membuat akun YTube untuk menyiarkan hasil gabut kami, walau tak banyak yang melihat.

"Tentang apa?" tanyaku.

"Bali? Lombok? Explore?"

"Boleh aja sih, tapi aku ga begitu kenal sama Bali, kalo mau ke Lombok, ayo. Tapi emak lu ijinin gak?"

"Kalo ada kakak sama Oom sih boleh aja, lagian eomma juga abis ini langsung balik, ditungguin sama pesanan. Abis Mbak Ara sholat, keluar yuk, liat laut kayanya asik. Bawa gitar yak!"

Kami keluar dari hotel menuju pantai yang ada di depan hotel, ramai. Memutar ke arah kiri, mencari spot yang agak sepi, namun masih terang. Kami menemukan satu titik, aku merenung, memandangi lautan lepas. Ingatanku kembali pada masa bahagiaku, saat semua terasa indah. Saat tawa terasa lepas, dan dada selapang samudra, tak takut terluka, karena masih ada penawar luka termanjur, mama.

Mama, malaikat tanpa sayap yang Tuhan ciptakan untukku. Aku rindu, sungguh. Tak ada satu haripun terlewat tanpa merindukan sosok lembutnya. Rindu paling berat adalah rindu pada sosok yang tak lagi bisa kita genggam raganya, tak dapat lagi kita lihat senyumnya, tak lagi bisa mendengar suara merdunya. Laut, mama mencintai laut seperti halnya aku mencintai gunung dan hutan. Mama begitu menyukai aroma laut, begitu mencintai karang dan koral, begitu menikmati halus pasir dan debur ombak serta desir halus sang angin.

Dan karena itu, aku jarang mengunjungi laut. Selain takut rindu yang takkan bisa untuk di tuntaskan, aku juga masih terlampau sakit. Aku punya rahasia yang tak pernah ku katakan pada siapapun, tentang diri yang hina ini. Aku menyerah untuk berjuang bersama mama, malam sebelum beliau pulang, kala aku bersimpuh pada Rabb ku. Aku memohon untuk menyudahi penderitaan mama, jikalau masih panjang sisa waktu beliau, segera sembuhkan. Namun jika memang sudah tak lagi ada kesempatan lagi, segerakan.

Aku memohon dengan sepenuh hati, dengan begitu berani mengadu pada Sang Maha, aku seolah menjadi perantara mama pulang. Bukan karena aku lelah, bukan. Bukan pula karena tak sayang, aku tentu sangat menyayangi beliau. Hanya saja, aku tak tega melihat perubahan drastis beliau. Tubuh yang semula segar berisi, tersisa hanya tulang berbalut kulit tipis, erangan demi erangan ku dengar selama satu tahun, ketika terbangun, beliau linglung, lupa pada semua, dan ketika itu terjadi, tangis sedih akan ku lihat dan dengar. Ingatan Mama hanya berputar saat beliau remaja dan mempunyai keponakan dari kakak pertama beliau. Sedang Mbak Ayu--keponakan mama, tak kunjung datang menampakkan batang hidungnya.

Aku kalah oleh keadaan, Allah kabulkan do'a dari hamba hina ini, tunai. Kehilangan tetaplah kehilangan. Yang pergi, akan tetap pergi. Esok malamnya menjadi malam panjangku, mimpi buruk yang di mulai. Itulah mengapa aku tak begitu membenci Ayah, aku dan Ayah sama saja. Sama-sama menyakiti mama dengan cara kami sendiri. Sepertinya Mama mendengar doaku, tanda vital beliau menurun usai aku mengajukan permohonan pada Illahi. Ah, aku membunuh mamaku sendiri dengan cara paling halus. Aku adalah anak durjana. Aku merasa sangat kotor, dan tak pantas untuk dicintai siapapun. Aku hidup untuk diriku sendiri, biarlah nanti, aku bertanggung jawab dengan Rabb-ku.

Aku kembali ke kenyataan, saat tepukan lembut Hoon mendarat dipundakku. Walau menyebalkan, ia tahu harus bersikap bagaimana. Ia tahu saat ini aku tak baik-baik saja.

"Jangan memikirkan apapun, apapun masalahmu, aku yakin kamu mampu untuk mengatasinya. Sekalipun itu tentang dirimu sendiri, ingatlah untuk memaafkan. Dengan memaafkan, semua akan menjadi lebih baik!"

"Aku tak pantas dimaafkan," ujarku pelan.

"Tidak ada kesalahan yang tak termaafkan, Ara. Tuhan saja maha pemaaf. Kau tahu? Manusia adalah manusia. Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai macam permasalahan, tentunya dengan solusi. Pada agamamu, walau kamu tak punya manusia sebagai sandaran, masih ada tanah sebagai tempat bersujud pada Tuhanmu. Tuhanmu menyayangimu, Ara, dengan caraNya. Kamu anak baik, Tuhan pasti punya rencana terbaik untukmu. Maka mulailah dengan memaafkan dirimu sendiri, Tuhan akan tunjukkan rencanaNya."

"Ah, sudah lama rasanya aku tak mendengar itu. Tentang memaafkan diri sendiri. Dulu mamaku sering berbicara tentang itu jika aku membuat kesalahan. Aku rindu." aku tergugu, Hera dan Hoon mendekatiku, menenangkanku dalam dekap mereka dan langit.

Aku menatap langit, tersenyum pada rembulan yang mengintip malu dari balik awan. Sungguh, aku dikelilingi oleh orang-orang baik. Mungkin ini salah satu rencana baik Tuhan, di anugerahi sahabat seperti saudara.

"Sudah merasa lebih baik?" Hoon bertanya dan aku jawab.

"Ya, aku sudah merasa sedikit lebih baik. Aku teringat sebuh lagu, boleh ku pinjam gitarnya?"

"Tentu." Hera memberikan gitar yang sedari tadi dipeluknya padaku.

Aku memainkan satu lagu dari Band tanah air. Suasana yang tenang seperti sangat mendukung. Lirik lagu yang sendu, tentang betapa manusia itu sangat manusiawi. Semuanya untuk dimaklumi.

"Manusia, manusiawi. Jatuh dan bangkit lagi. Maafkanlah, maafkan diri. Karena manusiawi ...."

Aku terhanyut suasana, dingin udara malam tak lagi terasa. Aku melirik Hoon, ia terdiam mematung menatap lautan lepas, sepertinya, ia pun tengah bergolak dengan batin. Tak perlu bertanya, pada saatnya nanti ia akan bercerita dengan sendirinya, biarlah saat ini, itu menjadi rahasianya sendiri, sepertiku yang juga menyimpan satu untuk diriku sendiri. Sedang Hera? Entah apa yang sedang ia lihat sampai cengengesan seperti itu. Lama bercengkrama, kami akhirnya kembali ke kamar masing-masing.

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!