Dibesarkan oleh keluarga petani sederhana, Su Yue hidup tenang tanpa mengetahui bahwa darah bangsawan kultivator mengalir di tubuhnya. Setelah mengetahui kebenaran tentang kehancuran klannya, jiwanya runtuh oleh kesedihan yang tak tertahankan. Namun kematian bukanlah akhir. Ketika desa yang menjadi rumah keduanya dimusnahkan oleh musuh lama, kekuatan tersegel dalam Batu Hati Es Qingyun terbangkitkan. Dari seorang gadis pendiam, Su Yue berubah menjadi manifestasi kesedihan yang membeku, menghancurkan para pembantai tanpa amarah berlebihan, hanya kehampaan yang dingin. Setelah semuanya berakhir, ia melangkah pergi, mencari makna hidup di dunia yang telah dua kali merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puvi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beku, Bertahan, dan Langit Baru
Tengah malam di Air Terjun Embun Beku adalah waktu yang mengubah segalanya. Bulan purnama menyinari kabut es dengan cahaya keperakan yang dingin dan menakutkan, mengubah kolam air terjun menjadi pemandangan dari dunia dongeng yang kejam. Kegaduhan air yang tak henti-hentinya kini diselingi oleh suara lain: erangan, rintihan, dan terakhir, jeritan ketakutan yang memecah kesunyian malam.
Seorang peserta laki-laki, tubuhnya awalnya hanya menggigil, tiba-tiba terlihat jelas lapisan es putih yang menjalar dari ujung jarinya, merambat ke lengan, ke dada. Napasnya membentuk kristal es yang menempel di bibirnya yang membiru.
"Aku... aku tidak bisa... merasa..." gumamnya, matanya membelalak penuh teror. Lalu, jeritan panjang keluar dari mulutnya.
"TOLONG! AKU MENYERAH! KELUARKAN AKU!"
Dia berusaha berdiri, tapi kakinya terkunci oleh es. Dua penjaga ujian yang berdiam diri di pinggir segera turun tangan, menariknya keluar dari kolam dengan kasar, tubuhnya membeku dan kaku. Mereka segera memberinya selimut termal dan pil pemanas, wajah mereka tanpa ekspresi, pemandangan yang sudah biasa.
Tak lama, peserta lain mengikuti. Ada yang menjerit karena halusinasi dingin, melihat bayangan monster es di dalam air. Ada yang diam-diam membeku sampai kehilangan kesadaran, baru kemudian diselamatkan. Yang paling mengerikan adalah seorang peserta yang terlalu memaksakan diri, ingin mendapat manfaat besar. Dia duduk terlalu tegak, mencoba melawan dingin dengan kekuatan kemauan belaka. Perlahan, detak jantungnya melambat, napasnya semakin tipis, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Saat penjaga menariknya keluar, tubuhnya sudah kaku bagai patung es, wajahnya masih mempertahankan ekspresi tekad yang keras. Kematiannya membungkam semua yang tersisa. Itu adalah peringatan nyata.
Keteguhan hati tanpa kebijaksanaan adalah kebodohan yang mematikan.
Di tengah kekacauan ini, lima pria, kelompok yang wajah pemimpinnya masih bengkak, terlihat sangat berbeda. Mereka duduk membentuk formasi melingkar, punggung saling berhadapan. Mereka tidak hanya bertahan; mereka melawan. Asap tipis mengepul dari tubuh mereka, hasil dari teknik pernapasan dan sirkulasi Qi dasar yang mereka pelajari selama pelatihan semi-militer. Mereka memaksakan Qi mereka yang masih di level Qi Refining Awal atau Menengah untuk menghasilkan panas internal, berperang melawan dingin luar.
"Tahan! Jangan biarkan dingin masuk ke inti!" geram si pemimpin, suaranya terdengar di antara gemuruh.
"Boss, mereka... para cewek itu masih bertahan," bisik salah satu dari mereka, melirik ke arah Su Yue dan kawan-kawan.
Si pemimpin, yang wajahnya masih nyeri, menyipitkan matanya. "Biarkan saja. Mereka akan pingsan cepat atau lambat. Fokus pada diri kita sendiri!"
Namun, bertentangan dengan prediksinya, Su Yue, Xuqin, dan Lanxi masih ada di sana.
Xuqin dan Lanxi sedang melalui penderitaan yang luar biasa. Mereka bukan pemanas alami seperti para pria, dan mereka tidak memiliki keselarasan dengan es seperti Su Yue. Tubuh mereka menggigil tak terkendali, gigi mereka gemeretak, bibir mereka menghitam. Tapi di mata mereka, di balik rasa sakit, ada api kecil yang tidak padam: tekad. Tekad untuk tidak kembali ke desa sebagai pecundang. Tekad untuk membuktikan bahwa gadis desa pun bisa. Tekad untuk tidak mengecewakan satu sama lain. Mereka saling menguatkan dengan pandangan sesekali, berpegangan pada ingatan akan panasnya api unggun di hutan dan kehangatan persahabatan yang baru tumbuh.
Su Yue, sebaliknya, telah memasuki keadaan yang hampir meditatif. Bagi yang mengamati dari luar, dia terlihat paling tenang, hampir seperti patung es yang indah. Lapisan es juga menutupi tubuhnya, tetapi es itu terlihat... berbeda. Lebih jernih, lebih terintegrasi, seperti perpanjangan dari dirinya sendiri. Di dalam, revolusi sedang terjadi. Fondasi spiritualnya, yang sebelumnya retak dan sempit oleh trauma, kini dimurnikan dan diperkuat oleh aliran tak henti-hentinya dari energi es murni air terjun. Akar spiritualnya, potensi bawaan untuk menyerap dan memproses Qi semakin kokoh dan melebar. Meridian-nya, yang dulunya seperti jalur sempit dan berbatu, kini dilebarkan dan dilicinkan oleh aliran energi yang dingin namun penuh kehidupan. Dia tidak melawan; dia menyatu. Dingin air terjun dan dingin di hatinya menemukan resonansi. Batu Hati Es Qingyun di dadanya hangat sekali, memandu proses ini, memastikan dia tidak tersesat terlalu dalam dan kehilangan dirinya sendiri dalam ekstasi dingin.
Waktu berjalan dengan lambat, diukur oleh setiap tarikan napas yang menyakitkan dan setiap detak jantung yang berjuang.
Saat fajar pertama mulai menyingsing, mengecat langit dengan warna merah muda dan jingga, hanya tersisa delapan sosok di kolam air terjun: lima pria yang masih mengeluarkan asap tipis, dan tiga gadis.
Su Yue membuka matanya. Cahaya biru pucat berkilat di dalam matanya sebelum menghilang. Dia merasa ringan, kuat, dan sangat sadar. Levelnya masih di Qi Refining Tahap Awal, tetapi fondasinya kini kokoh bagai batu giok yang ditempa di kutub utara. Dia melihat Xuqin dan Lanxi di sampingnya. Mereka masih bertahan, tapi tanda-tanda kelelahan ekstrem dan hipotermia sudah jelas. Bibir mereka biru, kulit mereka pucat keabuan.
"Sudah cukup," kata Su Yue, suaranya tenang namun terdengar jelas oleh mereka berdua di atas gemuruh.
Dia berdiri. Gerakannya lancar, seolah es yang menutupinya pecah menjadi serpihan halus yang berkilauan. Dia berjalan melalui air yang sedingin es menuju Lanxi, yang matanya setengah tertutup. Tanpa banyak bicara, Su Yue merangkulnya dari belakang, menempelkan tangannya di perut Lanxi.
"Su... Yue?" gumam Lanxi, bingung.
"Tenang," bisik Su Yue. Dia memusatkan perhatian, dan dengan kontrol yang mengagumkan untuk seorang pemula, dia menarik keluar hawa dingin yang telah meresap ke dalam tubuh Lanxi. Dingin itu mengalir ke tangannya, diserap oleh tubuhnya yang sudah selaras dengan es.
Bagi Lanxi, sensasinya luar biasa: seperti selimut beku yang menyelimuti tubuhnya tiba-tiba tercabut. Rasa sakit yang menusuk berangsur hilang, digantikan oleh kelelahan yang mendalam namun lega. Dia menarik napas dalam-dalam, yang pertama kalinya dalam berjam-jam tanpa rasa sakit di paru-paru.
Su Yue kemudian melakukan hal yang sama pada Xuqin. Xuqin, yang lebih sadar, memandangnya dengan takjub. "Bagaimana kau...?"
"Tolong jangan tanya sekarang," jawab Su Yue ringkas. Setelah rasa dingin ekstrem diserap, dia membantu mereka berdua berdiri. Kaki mereka gemetar, tetapi mereka bisa berjalan.
Pada saat yang sama, suara gong yang dalam menggema. "WAKTU HABIS!"
Zhang Tianhe dan para tetua berdiri di tepi kolam. Wajah pemimpin itu menunjukkan kepuasan yang dalam. "Kalian delapan, keluar."
Mereka berjalan keluar dari air, dijemput oleh angin pagi yang masih dingin namun terasa hangat dibandingkan dengan air terjun. Kelima pria itu berdiri dengan bangga, meski tubuh mereka gemetar dan asap dari tubuh mereka sudah hilang. Mereka menatap Su Yue, Xuqin, dan Lanxi dengan tatapan kompleks: keheranan, sedikit rasa hormat, dan dendam yang masih membara, terutama dari si pemimpin yang wajahnya semakin bengkak karena dingin.
Zhang Tianhe memandangi mereka. "Selamat. Dengan bertahan hingga fajar, kalian telah membuktikan ketenangan mental, ketahanan fisik, dan kecerdikan untuk bertahan atau beradaptasi. Kalian resmi diterima sebagai Murid Luar Sekte Qingyun."
Kegembiraan yang lelah mewarnai wajah kedelapan orang itu.
"Kini, kembalikan dua token yang kalian terima sebelumnya," perintah Zhang Tianhe.
Mereka menyerahkan token kayu dan token batu. Sebagai gantinya, seorang tetua muda maju dengan nampan berisi delapan token baru. Token ini terbuat dari kayu gelap yang diukir halus dengan simbol awan dan gunung, dan yang paling penting, di bagian belakangnya terukir nama mereka masing-masing dengan tinta perak yang berkilau.
Su Yue menerima token bertuliskan "Suyue". Jantungnya berdebar.
Xuqin dan Lanxi memegang token mereka dengan senyum lebar, hampir menangis.
"Untuk tempat tinggal," lanjut Zhang Tianhe, "karena pencapaian luar biasa kalian bertiga menjadi yang pertama sampai di puncak dan bertahan dengan cara yang unik di Air Terjun, kalian akan mendapatkan kediaman terbaik di area Murid Luar bagian wanita."
Dia menoleh ke seorang gadis senior berjubah biru-abu yang berdiri dengan elegan. "Murid Senior Song, tolong antarkan mereka ke Pavilion Bunga Plum Musim Dingin."
Pavilion Bunga Plum Musim Dingin!
Nama itu sendiri menunjukkan tempat yang tidak biasa. Para murid lain bergumam, dan kelima pria itu langsung merah padam.
"Tidak adil!" protes si pemimpin tanpa berpikir. "Mereka cuma bertahan karena... karena si aneh itu!" dia menunjuk Su Yue.
Zhang Tianhe memandangnya dengan dingin. "Keheningan. Keputusan sudah dibuat. Kekuatan luar biasa dan tekad kalian berlima juga patut dihargai."
Zhang Tianhe menoleh pada tetua muda. "Bawa mereka ke Pavilion Batu Kokoh. Itu adalah yang terbaik di area pria."
Si pemimpin dan kawan-kawannya langsung terdiam, lalu wajah mereka berseri-seri. Pavilion Batu Kokoh juga terkenal. Mereka membusungkan dada, melemparkan pandangan superior pada Su Yue dan kawan-kawan, seolah berkata 'lihat, kami juga dapat yang terbaik'.
Zhang Tianhe kemudian mengeluarkan sebuah benda dari cincin penyimpanan di jarinya. Sebuah perahu kayu sepanjang sepuluh meter muncul di udara, melayang di atas tanah. Itu adalah perahu spiritual, diukir dengan formasi rumit yang bersinar lembut.
"Naik. Aku akan mengantarmu kembali ke kompleks utama sekte," kata Zhang Tianhe.
Mereka yang belum pernah melihat keajaiban seperti itu terpana. Su Yue, Xuqin, dan Lanxi naik dengan hati-hati, diikuti oleh kelima pria yang mencoba terlihat biasa saja namun gagal menyembunyikan keheranan mereka juga.
Perahu itu melesat ke depan begitu halus, meninggalkan tanah. Mereka melayang di atas ngarai, gunung, dan hutan. Angin berhembus kencang, tapi sebuah perisai energi transparan melindungi penumpangnya.
Su Yue, Xuqin, dan Lanxi berdiri di tepi, memandang ke bawah. Kota Mata Air terlihat seperti miniatur, dengan kanal-kalannya seperti garis perak. Pegunungan membentang hijau dan biru. Bagi Su Yue, yang hidupnya penuh dengan pandangan reruntuhan dan kesedihan, keindahan ini terasa menusuk. Ini adalah dunia yang luas, dan dia akhirnya memiliki tempat untuk memulai.
"Luarbiasa..." bisik Lanxi, matanya berbinar.
"Kita terbang," gumam Xuqin, tak percaya.
Perjalanan itu singkat namun tak terlupakan. Mereka mendarat di pelataran luas di dalam kompleks Sekte Qingyun, dikelilingi oleh paviliun-paviliun indah, taman yang tertata, dan udara yang dipenuhi dengan Qi yang jauh lebih kental daripada di luar.
Kelima pria dibawa ke arah lain oleh tetua muda. Sebelum pergi, si pemimpin melemparkan tatapan terakhir pada Su Yue, sebuah tatapan yang jelas mengatakan 'ini belum berakhir'.
Lanxi, yang sudah pulih cukup untuk bersikap lancang, menjulurkan lidah pada mereka dengan cepat sebelum berbalik mengikuti Senior Song yang sudah berjalan.
Senior Song adalah wanita yang anggun dengan wajah cantik namun dingin. "Ikuti aku," katanya singkat.
Mereka mengikuti Senior Song melalui jalan berliku yang indah, melewati taman batu dan kolam teratai, hingga tiba di sebuah area yang lebih sepi. Di sana, berdiri tiga pondok kayu kecil namun elegan, dibangun di sekitar sebuah taman pribadi yang ditanami, sesuai namanya, beberapa pohon bunga plum. Udara di sini sejuk dan segar.
"Ini Pavilion Bunga Plum Musim Dingin. Masing-masing punya pondok sendiri," kata Senior Song. "Fasilitas dasar ada. Pelajaran untuk Murid Luar dimulai besok pagi di Aula Utama. Jangan terlambat." Dia memberikan peta sederhana lalu pergi tanpa basa-basi.
Mereka bertiga berdiri di depan pondok mereka yang baru. Matahari pagi yang hangat menyinari wajah mereka yang lelah namun berseri.
"Kita... berhasil," kata Xuqin, suaranya bergetar.
"Kita punya rumah!" seru Lanxi, melompat kegirangan, meski kakinya masih lemah.
Su Yue memandangi pondoknya, lalu memandang kedua temannya. Di hatinya yang masih diselimuti es, sebuah kehangatan yang nyata, bukan dari Qi atau sihir, tetapi dari pencapaian bersama dan persahabatan yang baru lahir, mulai mencairkan sedikit sudut yang beku. Dia mengangguk, dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, sebuah senyum kecil yang tulus dan tidak dipaksakan muncul di bibirnya.
"Ya," katanya, suaranya lembut. "Kita berhasil."
Mereka memasuki babak baru kehidupan mereka sebagai kultivator pemula di Sekte Qingyun, dengan pondok di antara bunga plum musim dingin sebagai titik awal dari jalan mereka yang panjang dan berliku di dunia yang kejam namun memesona ini.