Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BABAK IV: KEMBALI MENUJU TRAGEDI ADIEGAN 15: MEMBURU KENANGAN DI BANDUNG Reza
Reza menepati sumpahnya. Pagi-pagi sekali, ia meninggalkan hiruk pikuk Jakarta. Ia tidak memilih moda transportasi publik seperti dulu; ia mengendarai mobil pribadinya yang mewah, sedan berwarna gelap yang memancarkan aura kesuksesan yang matang—kendaraan yang sangat kontras dengan gambaran dirinya sepuluh tahun lalu.
Perjalanan ke Bandung terasa seperti perjalanan waktu. Saat ia memasuki kota yang dingin, hatinya mulai berdebar kencang. Udara sejuk khas pegunungan segera menyambutnya, membawa kembali aroma kenangan—bau tanah basah, aroma bunga sedap malam dari rumah tetangga, dan yang paling penting, aroma masakan ibunya.
Reza mengemudikan mobilnya perlahan, meninggalkan jalanan utama yang modern dan memasuki kompleks perumahan sederhana yang dulu menjadi dunianya.
Akhirnya, ia tiba di jalan kecil, gang yang dulu ia lewati dengan sepeda roda tiga. Reza memarkir mobilnya di sudut jalan, menarik perhatian beberapa warga yang langsung mengintip dari balik tirai jendela mereka. Ia mematikan mesin, keheningan yang mendadak terasa menusuk.
Reza keluar dari mobilnya. Kini ia bukan lagi Reza yang mabuk dan ketakutan; ia adalah Nahkoda Reza, pria dewasa berusia 25 tahun, mengenakan sweater kasual yang mahal dan celana chino yang rapi.
Ia berdiri di tengah jalan, memandangi sekelilingnya. Matanya memancarkan rasa kangen yang mendalam. Ia berjalan perlahan, mondar-mandir, berusaha mencocokkan ingatan masa kecilnya dengan realitas yang ada.
Dunia yang Berubah
Sepuluh tahun telah mengubah segalanya. Rumah-rumah lama telah dicat ulang, beberapa lahan kosong kini berdiri bangunan baru yang tinggi. Pohon mangga besar di sudut gang telah ditebang, digantikan oleh tiang listrik baru. Perubahan ini membuat hati Reza tercekat. Ia sadar, sementara ia sibur berjuang di lautan, dunia di Bandung terus bergerak tanpa menunggunya.
Reza berjalan menuju tempat yang ia yakini sebagai rumah masa kecilnya. Jantungnya berdebar kencang, ia merasakan keringat dingin membasahi telapak tangannya.
Ketika ia berdiri di depan alamat itu, Reza merasakan kekecewaan yang menusuk. Rumah itu benar-benar berbeda.
Rumah sederhana dengan cat kusam yang ia tinggalkan telah dirombak total menjadi sebuah mini-market modern. Jendela tempat Nawangsih biasa mengintipnya bermain telah diganti kaca lebar untuk pajangan barang dagangan. Pagar kecil tempat ia menyandarkan sepeda kini menjadi tempat parkir motor pelanggan.
Reza berdiri mematung. Gudang belakang tempat ia diusir—tempat kenangan terakhirnya bersama Nawangsih—kini telah menjadi gudang penyimpanan dus-dus minuman. Semua kenangan fisik telah terhapus.
Ia berjalan mondar-mandir di depan toko itu, berharap menemukan sisa-sisa petunjuk. Ia sangat ingin tahu, ke mana Nawangsih pergi? Apakah ibunya menjual rumah ini, ataukah ia diusir juga?
Reza memberanikan diri. Ia masuk ke dalam mini-market itu, pura-pura mencari minuman. Di kasir, ia melihat seorang wanita paruh baya yang tidak ia kenal.
"Maaf, Bu," tanya Reza sopan. "Saya mencari rumah ini. Dulu, rumah ini milik seorang wanita bernama Nawangsih."
Wanita kasir itu mengerutkan kening, mencoba mengingat.
"Nawangsih? Wah, setahu saya, rumah ini sudah dibeli pemiliknya yang sekarang sejak lima tahun lalu. Sebelumnya, rumah ini sempat kosong lama. Tapi kalau Nawangsih... saya tidak kenal, Mas. Saya baru pindah ke kompleks ini sekitar tiga tahun lalu."
Jawaban itu menghancurkan harapan Reza. Ia berjalan keluar, lalu mencoba mencari warga yang lebih tua.
Ia menghampiri seorang tukang cukur yang sedang menggunting rambut di warungnya.
"Pak, permisi. Saya mencari Nawangsih. Wanita yang dulu tinggal di rumah ini," Reza menunjuk ke arah mini-market itu.
Tukang cukur itu menghentikan pekerjaannya, memandangi Reza dari atas ke bawah.
"Nawangsih? Saya sudah tinggal di sini dua puluh tahun. Setahu saya, rumah itu dulu memang ada seorang wanita muda dengan anak laki-lakinya. Tapi namanya... saya lupa. Yang saya ingat, anaknya nakal. Mereka pergi begitu saja, mendadak. Seperti menghilang ditelan bumi," kata tukang cukur itu, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu karena melihat pria tampan mengendarai mobil mewah sedang mencari wanita dari masa lalu.
"Dia tidak pernah kembali, Pak?" desak Reza.
"Tidak pernah. Itu sudah lama sekali, Nak. Mungkin sepuluh tahun yang lalu. Dia jual rumahnya murah-murah ke makelar, terus hilang. Saya dengar-dengar, dia pindah ke Jakarta. Tapi ya, hanya isu."
Reza mengucapkan terima kasih, tetapi hatinya terasa kosong. Nawangsih benar-benar menghilang, seolah ia ingin memastikan Reza tidak akan pernah menemukannya.
Reza kembali ke mobilnya. Ia duduk di kursi kemudi, menatap mini-market yang dulunya adalah rumahnya. Ia merasa sakit. Ia telah meraih kesuksesan, ia telah memenuhi sumpah ibunya, tetapi ia datang terlambat.
Obsesi yang Semakin Kuat
Kekecewaan ini tidak melumpuhkan Reza; justru memicu api obsesi yang selama ini ia kendalikan.
Aku Nahkoda. Aku menemukan Ayah yang meninggalkanku di tengah laut. Aku pasti bisa menemukan Mama di tengah kota.
Reza menyalakan mesin mobilnya. Ia meninggalkan Bandung, membawa serta kerinduan yang semakin dalam, tekad yang semakin kuat, dan sebuah pertanyaan abadi: mengapa Nawangsih yang awet muda memilih untuk menghilang tanpa jejak? Ia harus menemukan Nawangsih.