Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Hukuman Kecil
Minggu pertama setelah Malam Pemenuhan Hak berjalan dengan ketegangan yang konstan. Arka memperlakukan Alya dengan formalitas yang ketat, seolah peristiwa intim itu tidak pernah terjadi. Di ranjang, dia memeluk Alya dari belakang, sebuah pelukan posesif yang tidak menawarkan kenyamanan, tetapi penegasan kepemilikan. Setiap pagi, dia sudah pergi sebelum Alya bangun.
Alya, setelah trauma di Bab 10, telah memutuskan untuk mematuhi Arka secara lahiriah, sambil mencari kelemahannya. Fokusnya di sekolah adalah menjadi siswa teladan, menghindari pelanggaran aturan. Namun, takdir memiliki rencana lain, yang diwujudkan melalui kewajiban sekolah yang tidak terhindarkan.
Sore itu, Alya memiliki rapat mendadak untuk pengurus OSIS. Sebagai anggota komite akademik, dia harus menyelesaikan proposal program baru sebelum batas waktu yang ketat. Rapat itu berjalan molor, ditambah dengan kemacetan di luar sekolah yang tidak terduga.
Pukul 17.15.
Alya tiba di villa Arka, lima belas menit melewati batas waktu pukul 17.00. Jantungnya berdebar kencang. Dia telah mengirim pesan singkat kepada Jeevan, memberi tahu tentang keterlambatannya, tetapi dia tahu, bagi Arka, tidak ada alasan yang bisa diterima.
Ketika ia melangkah masuk, keheningan di villa terasa mematikan. Jeevan menyambutnya dengan wajah cemas yang tidak biasa.
“Nyonya Arka, Tuan Arka sudah menunggu Anda di ruang kerja. Beliau… Beliau terlihat kurang senang,” bisik Jeevan, nadanya mengandung peringatan.
Alya menghela napas, bersiap untuk menghadapi badai. Dia naik ke atas, ke ruang kerja Arka.
Ruang kerja Arka adalah benteng yang dingin dan rapi. Dindingnya ditutupi panel kayu gelap, dan Arka duduk di kursi kulit besar di belakang meja kerja minimalis yang panjang. Di depan Arka, ada tiga layar monitor besar yang menampilkan data, grafik, dan laporan keuangan yang rumit.
Arka tidak mendongak. Dia terus menatap salah satu layar.
“Kau terlambat, Alya,” katanya, suaranya tenang, tetapi dingin. Tidak ada emosi, tetapi itulah yang paling menakutkan.
“Saya minta maaf, Tuan Arka. Saya ada rapat mendadak OSIS. Saya sudah memberitahu Jeevan. Kami harus menyelesaikan proposal akademik yang mendesak,” jelas Alya, mencoba terdengar profesional, tidak seperti siswi yang takut dihukum.
Arka akhirnya menekan tombol off pada salah satu monitor, menciptakan kegelapan tiba-tiba di ruangan itu. Dia mendongak. Matanya yang tajam menatap Alya.
“Keterlambatan 15 menit. Dan tidak ada pemberitahuan langsung darimu kepadaku. Rapat OSIS? Aku melunasi hutang lima miliar untuk memastikan kau bisa fokus, bukan untuk bermain-main di organisasi sekolah,” ujar Arka, nadanya merendahkan.
“Rapat OSIS adalah bagian dari tanggung jawab sekolah saya, Tuan Arka. Anda mengizinkan saya sekolah, jadi saya harus menjalankan tanggung jawab itu,” balas Alya, sedikit membantah. Dia harus menunjukkan batas.
Arka berdiri. Gerakannya lambat dan disengaja. Dia berjalan mengitari meja dan berhenti tepat di hadapan Alya. Pria itu jauh lebih tinggi dan besar, mendominasi Alya sepenuhnya.
“Tanggung jawabmu yang pertama adalah kepadaku, Alya. Kau adalah istriku. Kau harus memastikan keberadaanku. Kau tidak bisa menghilang tanpa konfirmasi pribadiku. Itu melanggar Aturan No. 7: Kewajibanmu adalah mematuhi semua perintahku,” desis Arka.
Alya menahan napas, bersiap untuk pukulan verbal atau fisik.
“Aku sudah terlalu lelah untuk menghukummu dengan cara yang biasa,” kata Arka. Dia menunjuk ke kursi kantornya yang besar. “Duduk.”
Alya tidak bergerak. “Saya tidak mengerti, Tuan Arka.”
Arka tersenyum dingin. “Itu bukan di kursiku, Alya. Itu di pangkuanku. Ini adalah hukuman. Kau akan duduk di sini, tanpa bergerak, tanpa bicara, sampai aku selesai bekerja. Kau akan menjadi pengingat fisik bahwa kau tidak boleh melanggar aturanku.”
Alya terkejut. Hukuman ini terasa... aneh. Bukan hukuman fisik yang keras, tetapi hukuman yang sangat intim dan memalukan. Itu adalah penegasan kekuasaan yang lembut, soft punishment, yang justru lebih efektif dalam menciptakan ketidaknyamanan.
“Tuan Arka, saya tidak bisa,” protes Alya, wajahnya memerah.
Arka tidak memberi ruang untuk negosiasi. Dia meraih pinggang Alya, mengangkatnya dengan mudah, dan menempatkannya di pangkuannya.
Arka kembali duduk di kursi kulitnya, tubuh Alya kini diposisikan erat di pangkuannya. Alya bisa merasakan kehangatan Arka di bawah piyama longgar yang ia kenakan.
“Diam,” perintah Arka. Ia meraih mouse komputernya dan mulai menggeser-geser data di layar.
Alya duduk kaku, berusaha membuat dirinya sekecil mungkin. Ini terasa sangat intim, tetapi tanpa sentuhan vulgar. Arka hanya duduk, bekerja, dan Alya terperangkap dalam pelukannya.
Alya bisa merasakan jantung Arka berdetak di punggungnya. Dia bisa mencium aroma kayu cendana dan mint yang selalu melekat pada Arka. Ini adalah posisi yang ambigu: hukuman yang dipaksakan, tetapi menciptakan kedekatan yang tidak diinginkan.
Alya mencoba bergeser sedikit untuk mencari posisi yang lebih nyaman.
Arka segera menegang. Tangannya yang bebas kini diletakkan di paha Alya, tidak membelai, tetapi hanya menahan, memastikan Alya tidak bergerak.
“Aku bilang, diam. Kau harus merasakan setiap menit ketidakpatuhanmu,” desis Arka.
Alya menyerah. Ia duduk diam, mendengarkan bunyi klik keyboard dan gesekan pena Arka di kertas. Dia melihat ke layar, berusaha berpura-pura tertarik pada grafik-grafik yang tidak ia mengerti, hanya untuk menghindari menatap langsung ke Arka.
Sentuhan Arka di pahanya terasa sangat intens. Itu bukan sentuhan gairah, tetapi sentuhan kendali. Sentuhan itu mengingatkan Alya bahwa dia adalah miliknya, bahwa dia bisa menyentuhnya sesuka hati, bahkan saat dia sedang menyelesaikan laporan kuartalan perusahaannya.
Setelah sekitar tiga puluh menit, Alya mulai merasa lehernya pegal. Keintiman yang dipaksakan ini mulai mengganggu konsentrasinya. Alya merasakan rasa panas yang aneh menjalar. Itu bukan gairah, tetapi perpaduan antara malu, marah, dan... sesuatu yang lebih membingungkan.
Alya membenci Arka karena menjadikannya objek. Dia membenci dirinya sendiri karena tubuhnya tidak sepenuhnya menolak kehangatan dan kekuatan pria itu.
Tiba-tiba, Arka menghentikan pekerjaannya. Dia memiringkan kepalanya, wajahnya mendekat ke telinga Alya.
“Kau gemetar, Alya,” bisiknya, nadanya hampir lembut, tetapi ada kepuasan tersembunyi di sana. “Dingin?”
“Tidak,” jawab Alya kaku. “Saya hanya lelah. Saya sudah duduk lama.”
Arka membalikkan tubuh Alya, memaksanya untuk menghadapnya. Arka tidak bergerak dari kursinya, jadi Alya kini duduk menghadap Arka, kakinya melingkari pinggang Arka. Wajah mereka sangat dekat.
“Lelah? Atau kau mulai bingung dengan perasaanku?” tanya Arka, matanya menembus Alya.
“Anda tidak punya perasaan, Tuan Arka. Anda hanya punya aturan dan kendali,” balas Alya, dengan sedikit keberanian.
Arka tersenyum. “Tepat sekali. Kendali. Dan hukuman kecil ini memberiku semua kendali yang kubutuhkan. Aku ingin kau terbiasa dengan kehadiranku. Aku ingin kau terbiasa merasakan kehangatanku, Alya. Agar kau tidak lagi gemetar karena takut, tetapi karena alasan lain.”
Dia mengangkat tangan Alya, dan mencium lembut cincin kawin di jarinya.
“Hukuman selesai. Kau bisa pergi sekarang. Jangan terlambat lagi,” kata Arka, lalu dengan cepat, dia mengangkat Alya dari pangkuannya dan meletakkannya di lantai.
Alya terhuyung sedikit. Setelah dua jam duduk di pangkuan Arka, lantai terasa dingin dan asing.
Dia bergegas keluar dari ruang kerja, mengambil napas dalam-dalam.
Dia tidak dihukum dengan cambukan. Dia dihukum dengan kedekatan intim, yang membuat pertahanannya runtuh dengan cara yang jauh lebih efektif.
Alya berjalan menuju kamarnya. Dia menyentuh pipinya yang masih panas. Dia bingung. Arka kejam dalam dominasinya, tetapi dia menahan diri untuk tidak kasar. Dia memaksakan keintiman, tetapi tanpa sentuhan yang tidak senonoh.
Mengapa?
Alya menyadari, Arka adalah labirin. Dia kejam, posesif, tetapi dalam cara yang sangat terencana. Dia tidak hanya ingin memiliki tubuh Alya, dia ingin memiliki pikiran dan perasaannya.
Rasa jijik Alya mulai bercampur dengan rasa penasaran yang berbahaya. Siapa pria ini sebenarnya?
Alya melihat cincin di jarinya. Dia harus mulai mencari tahu. Dan satu-satunya cara untuk mencari tahu adalah dengan masuk lebih dalam ke dunia Arka. Dia harus menerima tantangan Bab 13.