Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Ini bukan pertama kalinya Anton dan Lestari berada di kamar itu.
Mereka duduk bersebelahan, tubuh berdekatan, saling menatap dengan intensitas yang tidak pernah ia tunjukkan pada Nayla.
“Ini… rasanya seperti yang kemarin,” bisik Lestari, suaranya lembut tapi penuh makna.
Anton tersenyum, mengangguk. “Ya… kita selalu tahu caranya.”
Mereka tertawa pelan, bercampur dengan desah dan bisik, menikmati kedekatan yang hanya mereka berdua rasakan.
Anton lupa waktu. Ia seharusnya menelepon Nayla, menepati janji untuk memberitahunya tentang keterlambatannya.
Namun saat itu pikirannya sepenuhnya tersedot oleh Lestari.
Ponsel Lestari tergeletak di meja, siap merekam—bukan untuk dibagikan, tapi sebagai dokumentasi rahasia mereka.
Anton sama sekali tidak peduli. Setiap erangan dan tatapan Lestari seolah menutup semua rasa bersalah yang mungkin muncul di kepalanya.
“Benar-benar… luar biasa,” kata Anton pelan, matanya menatap Lestari.
Lestari tersenyum, tersipu, lalu menundukkan kepala.
Bagi mereka, ini sudah menjadi pola—sesuatu yang berulang, rahasia yang mereka pertahankan dengan hati-hati.
Namun di balik pintu hotel, dunia lain tetap berjalan.
Janji Anton pada Nayla hanyalah kata-kata kosong.
Telepon yang seharusnya ia lakukan, perhatian yang seharusnya diberikan… semua terlupakan.
Anton menatap jam dinding, baru sadar waktu telah lewat terlalu lama.
“Hah! Aku seharusnya menelepon Nayla,” gumamnya, tapi hanya sesaat.
Pikiran itu segera ia tepis, kembali tenggelam pada Lestari dan momen yang sedang mereka nikmati.
Di luar kamar, dunia tetap berjalan tanpa curiga. Nayla tidak tahu apa yang sedang terjadi, masih menunggu, cemas, menatap ponsel. Dan malam itu, Anton kembali membuktikan bahwa janji dan kepercayaan bisa dengan mudah ia abaikan, seolah itu bukan bagian dari kehidupannya.
Waktu terus berjalan. Malam menjadi larut, tapi Anton tetap tidak bergerak dari kamar itu.
Ia menatap ponsel yang tergeletak di meja, teringat pada Nayla yang mungkin sedang menunggu panggilan darinya.
Namun ia menepis perasaan bersalah itu—dengan mudah, karena saat itu perhatian dan rasa puasnya jauh lebih kuat daripada tanggung jawab yang tertunda.
Lestari duduk dekat, tersenyum tipis, matanya berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Mereka saling menatap, menyadari bahwa malam ini adalah malam yang mereka nanti-nantikan, pola yang sudah menjadi kebiasaan.
Anton sesekali tersenyum, menatap jam dinding, tapi tidak ada dorongan untuk segera pulang.
“Besok aku akan kembali seperti biasa,” ia berbisik dalam hati, mencoba menenangkan rasa bersalah yang mulai muncul di sudut pikirannya.
Semua gerakan dan bisik mereka terasa seperti ritual—intim, pribadi, dan berulang.
Anton tahu ini salah, tapi sekaligus ia menikmati setiap detik yang ada di ruangan itu.
Mereka berbagi rahasia, tawa kecil, dan desah yang hanya mereka pahami, seperti dunia di luar kamar tidak pernah ada.
Sementara itu, Nayla di rumah terus menunggu. Ia mondar-mandir di kamar, menatap ponsel, berharap panggilan yang tak kunjung datang.
Hatinya gelisah, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab.
Di luar kamar hotel, dunia tetap berjalan normal. Anak mereka, rumah, dan kehidupan sehari-hari Nayla.
Namun Anton berada di kamar hotel itu, melupakan semuanya, tenggelam dalam dunia rahasia yang ia ciptakan sendiri.
Waktu berjalan begitu lambat bagi Nayla. Setiap detik terasa lebih panjang dari sebelumnya. Dia tidak tahu bahwa Anton masih di sana, bersama Lestari, tetap berada di kamar yang sama sampai pagi.
Pikiran Nayla dipenuhi rasa cemas dan kecurigaan. Ia mencoba menenangkan diri, tapi tidak bisa.
Di kamar hotel, pagi mulai merayap. Sinar matahari menembus tirai, namun Anton masih di sana, Lestari di dekatnya.
Mereka duduk diam, membiarkan waktu berlalu tanpa harus bergerak.
Anton menatap jendela, merasakan sinar pagi menyentuh wajahnya, tapi ia tidak berniat pergi.
Di dalam hatinya, dia tahu janji pada Nayla hanyalah kata-kata kosong, kata-kata yang bisa dia lupakan begitu mudah ketika berada di sini, dalam kehangatan yang diciptakan bersama Lestari.
Momen itu selesai ketika sinar pagi semakin terang. Anton menata kembali kemejanya, tersenyum tipis pada Lestari, lalu berdiri sejenak, menatap sekeliling kamar.
Dia tahu dunia di luar sana, Nayla masih menunggu. Namun untuk saat ini, semua itu hanya bayangan yang tidak perlu ia pedulikan.
Sementara itu, Nayla menunggu di rumah, masih memegang ponsel, rasa cemas dan kecewa semakin mendalam. Dia tidak tahu apa yang terjadi, hanya merasakan ketidakpastian dan rasa sakit yang terus menumpuk.
Anton tetap di kamar hotel itu, tetap tenggelam dalam rahasianya sendiri, mengulang pola yang sudah lama terbentuk, hingga pagi menyapa dunia tanpa mereka sadari.
****
Matahari mulai menembus tirai kamar hotel, sinarnya lembut tapi cukup terang untuk menandai awal hari baru.
Pagi itu, kamar hotel terasa hening, hanya suara napas mereka yang terdengar, bercampur dengan detak jam di dinding yang perlahan-lahan menandai waktu yang terus berjalan.
Anton menyadari satu hal, dia telah lupa pada Nayla. Janji yang ia buat semalam untuk menelpon istrinya, memberitahukan keberadaan dan keterlambatannya, semua itu ia abaikan.
Dia menatap ponsel yang tergeletak di meja, layar gelap, tanpa pemberitahuan panggilan masuk dari Nayla. Rasa bersalah muncul sesaat, tapi dia segera menepisnya. Semuanya terasa terlalu jauh, seperti dunia di luar kamar itu tidak relevan bagi dirinya saat ini.
Lestari menatap Anton, tersenyum tipis, menyadari bahwa mereka masih berada dalam dunia rahasia yang hanya mereka pahami. Anton mengangguk, tanpa berkata apa-apa. Keduanya tetap diam, menikmati keintiman yang bukan sekadar fisik, tetapi juga psikologis, kedekatan yang tidak pernah fia tunjukkan kepada Nayla, istri yang menunggu di rumah.
Setiap detik yang berlalu semakin memperkuat pola lama mereka.
Anton tahu dia berulang kali melakukan ini, namun setiap kali berada di kamar hotel bersama Lestari, ada ketegangan baru yang membuatnya sulit melepaskan diri. Janji-janji, tanggung jawab, dan kesetiaan menjadi sekadar kata-kata kosong yang bisa dia abaikan sesuka hati.
Anton berdiri sebentar, menata kemejanya yang berantakan, lalu menatap sekeliling kamar. Hatinya terasa campur aduk, rasa puas, ketegangan, dan sedikit rasa bersalah yang ditekan ke sudut paling jauh pikirannya.
Matahari naik lebih tinggi, suara lalu lintas dan aktivitas kota mulai terdengar samar dari jendela. Namun bagi Anton dan Lestari, dunia itu tetap jauh, seakan mereka hidup di waktu dan ruang yang terpisah, di mana hanya rahasia mereka yang ada.
Anton menata napasnya, menatap jam dinding, dan akhirnya berkata lirih, “Aku harus pulang.”
Lestari mengangguk, tersenyum tipis, tanpa berkata lebih banyak. Tidak ada terlihat kilatan rasa bersalah di matanya karena sudah menggoda suami orang.
Sementara itu, Nayla masih menunggu di rumah, ponselnya di tangan, cemas, dan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Di bahkan tertidur meringkuk di tepi ranjang.