Devan kaget saat tiba-tiba seseorang masuk seenaknya ke dalam mobilnya, bahkan dengan berani duduk di pangkuannya. Ia bertekad untuk mengusir gadis itu, tapi... gadis itu tampak tidak normal. Lebih parah lagi, ciuman pertamanya malah di ambil oleh gadis aneh itu.
"Aku akan menikahi Gauri."
~ Devan Valtor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan ambil roti Gauri
Baru dua hari menjadi guru baru di Royal School, Devan telah menjadi buah bibir seluruh penghuni sekolah. Mulai dari guru-guru, staf wanita, murid-murid perempuan, bahkan sampai cleaning service. Popularitas Devan naik cepat sekali.
Sampai ada guru-guru perempuan yang masih lajang yang selalu cari kesempatan buat jadi perhatian Devan. Sayangnya, pria itu terkenal killer. Tidak ada yang bisa mendekatinya terang-terangan. Bahkan saat ada guru yang caper dengan bicara panjang lebar, Devan langsung bilang jangan terlalu buang-buang waktu yang tidak ada gunanya.
Sampai satu minggu dia mengajar, tidak ada lagi murid yang berani bolos di jam pelajarannya.
Reputasi Devan sebagai guru killer sudah menyebar ke seluruh sudut sekolah seperti angin yang membawa gosip tiap kali bel istirahat berbunyi. Di kantin, para guru perempuan sering pura-pura melewati mejanya hanya untuk mengintip wajah dingin itu dari samping. Di lorong, para murid perempuan yang biasanya berisik berubah jadi patung begitu langkah sepatu kulitnya terdengar. Bahkan satpam pun mendadak tegap begitu Devan lewat.
Bukan karena Devan galak, dia jarang menaikkan suara. Tapi tatapannya … tajam, dingin, dan penuh wibawa. Seolah sekali ia menatap, semua orang tahu mereka harus berperilaku bagaimana.
Dan Devan sama sekali tidak peduli dengan popularitasnya yang mendadak meroket.
Baginya, Royal School hanya tempat kerja. Tempat ia mengajar, menyelesaikan jam mengajar, lalu pulang. Tidak lebih.
Sayangnya, murid-murid dan beberapa guru punya pendapat lain.
Di ruang guru, dua guru perempuan sedang sibuk berdandan diam-diam sambil melihat pantulan wajah mereka di layar ponsel.
"Aku dengar tadi dia lewat depan perpustakaan," bisik salah satu dari mereka, bu Raras.
"Aku harus pura-pura pinjam buku biar kelihatan ketemu natural."
Temannya, bu Mira, mendengus.
"Natural apanya? Kamu tadi pakai lipstick lima lapis."
Belum sempat mereka berdebat, pintu ruang guru terbuka. Devan masuk sambil membawa map tebal berisi tugas siswa. Tidak ada satu pun yang berani bersuara. Suasana sunyi seperti perpustakaan. Setelah menaruh map tersebut di atas mejanya, pria itu keluar begitu saja.
Bu Raras mendesah patah hati.
"Gitu doang? Nggak nyapa kita? Nggak senyum? Hufft, senyumnya pak Devan kok mahal banget ya? Aku belum pernah lihat dia senyum sejak pertama kali melihat dia ngajar di sekolah ini.
Bu Mira ikut mengiyakan. Keduanya menarik nafas panjang. Di luar, Devan berjalan menuju kebun sekolah. Tempat yang jarang sekali di datangi orang. Dia tidak ada kelas lagi hari ini, tapi entah kenapa dia suka saja ke sini. Tempat pertama kalinya dia bertemu dengan Gauri di sekolah ini.
Devan dengar murid-murid di larang datang ke sini. Guru-guru pun hampir tidak pernah ada yang datang. Ngomong-ngomong soal gadis itu, Devan tidak pernah lagi ketemu dia sudah satu minggu ini.
Gadis itu belum pernah datang lagi ke sekolah ini. Ares juga tidak pernah keliatan membawanya. Dan Agam, mereka juga belum ketemu langsung. Pria itu sibuk sekali akhir-akhir ini. Dia bilang di grup whatsapp khusus mereka bertiga. Devan, Agam, Gino.
Devan menghela nafas panjang. Kenapa dia malah kepikiran gadis itu?
Ketika ia berbalik hendak pergi, ia mendengar ada bunyi krasak-krusuk dari balik pohon pinus besar. Alis Devan terangkat.
Ia tidak jadi pergi. Kakinya melangkah ke arah pohon besar itu, perlahan namun pasti.
Devan berhenti dua langkah dari batang pinus besar itu. Suara krasak-krusuknya berhenti, seperti ada seseorang yang mendadak menahan napas. Namun hanya berhenti sebentar, lalu bunyi lagi. Tanpa ragu Devan pun segera melangkah lebar.
Ia tertegun begitu mendapati Gauri di sana. Mulut pria itu terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar. Pemandangan di depannya terlalu… absurd.
Gauri duduk di tanah, bersandar pada batang pohon pinus, roti besar isi cream hampir habis di tangannya. Cream belepotan di pipi, dagu, bahkan sedikit mengotori ujung rambutnya. Gadis itu tampak seperti anak kecil yang baru saja kabur dari pesta ulang tahun dan menyerbu meja dessert.
Begitu melihat Devan, Gauri terdiam sebentar. Ia tidak segera menyerang Devan, lari dipelukan atau naik ke tubuh pria itu seperti biasanya, gadis itu malah cepat-cepat menyembunyikan beberapa rotinya yang lain ada di dalam kantong plastik, seakan kalau tidak dia sembunyikan, roti itu akan di rampas oleh Devan.
Setelah itu, Gauri kembali memakan roti tanpa mempedulikan Devan di sana. Entah kenapa hati Devan rasanya aneh melihat pemandangan itu. Penyakit mental yang di alami gadis remaja itu, benar-benar membuat Devan ikut merasa emosional.
"Gauri,"
Devan mendekatinya, berjongkok di depan gadis itu. Tapi Gauri segera menyamping.
"Kakak ganteng Gauri lagi makan, jangan gangguin, jangan ambil roti Gauri."
Devan menahan napas. Nada Gauri terdengar waspada, seperti anak kucing liar yang takut makanannya direbut. Padahal roti-rotinya banyak sekali, bahkan terlalu banyak untuk tubuh sekecil itu.
"Kakak nggak ambil," ucap Devan pelan, kedua tangan terangkat sedikit sebagai tanda damai.
"Kakak cuma mau lihat kamu. Lihat, muka kamu belepotan semua." tanpa sadar tangan Devan terangkat menghapus cream-cream roti yang menempel di pipi dan sudut-sudut mulutnya.
Devan tidak lagi sedingin pertama kali ia bertemu gadis itu. Ia terus mengusap sisa cream dengan hati-hati, seolah takut menyakiti gadis itu. Sentuhannya pelan, hampir seperti membelai. Gauri terdiam, matanya berkedip cepat, seakan otaknya sedang menimbang apakah ia harus marah, kabur, atau … membiarkan Devan.
"Kamu makan dari tadi?" tanya Devan, suaranya rendah, terkontrol.
Gauri mengangguk.
"Gauri dapat di sana. Tadi ada kakak cantik yang taroh di sana, terus Gauri ambil. Enaak ..."
Pandangan Devan mengikuti ke arah yang di tunjuk oleh Gauri dan dia seketika kaget.
Tempat sampah?
"Kamu ambil roti ini dari sana?"
Gauri mengangguk dengan senyuman lebarnya yang polos sekali. Tanpa pikir panjang, Devan langsung mengambil kantong plastik berisi roti itu dan menjauhkan dari Gauri.
Gauri kaget. Matanya langsung liar.
"Itu roti Gauri!"
Devan mengangkat kantong plastik itu lebih tinggi, menjauhi jangkauan Gauri.
"Gauri, kamu nggak boleh makan yang dari sana. Itu kotor," ucapnya tegas, tapi suaranya tetap lembut.
Gauri langsung bangkit setengah berdiri, tubuhnya condong ke depan seperti anak kecil yang mau merebut mainannya.
"Tapi enak! Gauri masih mau! Kasih balikin!" teriaknya, suara mulai bergetar.
Devan menahan napas. Kalau ia memarahi gadis itu, Gauri pasti makin panik dan tantrum. Ia meletakkan kantong itu jauh di belakangnya lalu memegang kedua bahu Gauri, menunduk agar sejajar dengan tatapan gadis itu.
"Dengar," ucapnya, perlahan.
"Gauri bisa sakit kalau makan itu, dengerin kakak ya?"
"Gauri mau ituu!"
Gadis itu mulai tantrum.
semoga imbron nya kuat ...😜🤭