NovelToon NovelToon
Kebangkitan Zahira

Kebangkitan Zahira

Status: tamat
Genre:Wanita Karir / Pelakor jahat / Cinta Lansia / Tamat
Popularitas:276.9k
Nilai: 4.8
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

pernikahan selama 20 tahun ternyata hanya jadi persimpangan
hendro ternyata lebih memilih Ratna cinta masa lalunya
parahnya Ratna di dukung oleh rini ibu nya hendro serta angga dan anggi anak mereka ikut mendukung perceraian hendro dan Zahira
Zahira wanita cerdas banyak akal,
tapi dia taat sama suami
setelah lihat hendro selingkuh
maka hendro sudah menetapkan lawan yang salah
mari kita saksikan kebangkitan Zahira
dan kebangkrutan hendro

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KZ 21

Rasa panik melanda Hendro. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Ia bingung harus berbuat apa di situasi seperti ini. Polisi terus menghentikan setiap mobil yang melintas satu per satu.

Hendro segera menghentikan mobilnya agak jauh dari titik razia.

"Astaga... apa yang harus aku lakukan?" gumamnya panik.

Ia keluar dari mobil, mencoba melihat situasi lebih jelas. Jalan ini satu arah—memutar balik bukan pilihan. Justru akan membuatnya terlihat mencurigakan.

Dan sialnya, di tengah kebingungan itu, Hendro teringat cerita Angga—bagaimana Zahira dulu berhasil membebaskan anaknya dari kantor polisi dengan cara sederhana dan dramatis.

"Sial... aku harus pakai trik murahan itu," gumamnya dengan nada kesal, tapi tak punya pilihan lain.

Hendro jongkok di pinggir jalan, lalu menggosokkan tangannya ke tanah. Tanpa ragu, ia mengoleskan debu itu ke wajah dan bajunya, membuat dirinya tampak kusut dan kotor.

Kembali ke dalam mobil, matanya menangkap botol kecil obat tetes mata di dashboard. Ia segera meneteskannya ke kedua matanya hingga tampak merah dan basah, seperti habis menangis.

"Sial, Zahira... aku benar-benar harus pakai caramu sekarang," gumamnya lirih, setengah menyesal, setengah putus asa.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, lalu perlahan melajukan mobilnya menuju razia.

Tak sampai lima detik, suara peluit polisi terdengar. Mobil Hendro diberhentikan.

Hendro perlahan membuka kaca jendela. Matanya merah, wajahnya kusut dan basah oleh air mata.

Seorang polisi mendekat dan memberi salam, lalu berkata tegas,

"Pak, mohon tunjukkan SIM dan surat-surat kendaraan Anda."

Tiba-tiba Hendro terisak, suaranya bergetar penuh kepanikan.

"Pak… mohon izin... saya baru saja mengantar anak saya ke rumah sakit. Dan sekarang… ibu saya juga sakit di rumah. Saya harus segera menjemput beliau dan membawanya ke rumah sakit. Tolong, Pak… kalau saya terlambat… saya akan menyesal seumur hidup saya…"

Tangis Hendro pecah. Suaranya lirih, namun menyayat—seolah seluruh penderitaan hidupnya tumpah di hadapan petugas itu.

Polisi itu terdiam sejenak, menatap Hendro dengan raut bimbang. Matanya tajam, seakan menganalisis apakah tangisan itu nyata atau hanya akting murahan.

Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu... lalu sang polisi memberi anggukan kecil.

"Oke, lanjut, Pak," ucapnya singkat sambil memberi isyarat agar Hendro melaju.

Hendro menghela napas panjang, lega bukan main.

"Sial... Zahira, cara kamu ternyata berhasil juga," gumamnya pelan sambil mengemudi, antara malu dan tak percaya dirinya bisa melakukan itu.

Tak lama setelah Hendro pergi, razia kendaraan perlahan dibubarkan. Dari kejauhan, terdengar suara gaduh. Rupanya polisi berhasil menangkap seseorang yang kedapatan membawa sejumlah besar uang tunai, diduga untuk dibagikan kepada masyarakat menjelang pemilihan kepala daerah yang tinggal tiga hari lagi.

Salah satu petugas berbisik,

"Kayaknya ini bagian dari serangan fajar..."

Beberapa wartawan mulai berdatangan, suasana mulai ramai. Namun Hendro sudah melintas sebelum semua itu terjadi—selamat, tapi nyaris celaka.

Hendro memutar arah dan melajukan mobilnya menuju rumah Hermawan, atasannya.

Sesampainya di sana, seorang anak buah Hermawan segera membukakan pintu.

Dari luar, rumah itu tampak sangat sederhana—tidak mencolok, bahkan terkesan sempit bila dibandingkan dengan rumah Hendro. Sangat jauh berbeda. Tapi itulah Hermawan, pemain cerdik yang tahu cara menyembunyikan jejak.

Tak satu pun aset berharga atas nama dirinya. Rumah-rumah mewah yang ia miliki pun tak pernah ia tempatkan di dalam kota. Semuanya tersebar rapi di lokasi-lokasi yang tak mudah dilacak.

"Lama sekali?" tanya Hermawan dengan nada sedikit kesal.

"Tadi ada razia, Pak," jawab Hendro tenang.

"Terus, kamu aman?"

"Aman, Pak," balas Hendro singkat.

Hermawan mengangguk, lalu tersenyum kecil.

"Kamu memang bisa diandalkan," ucapnya dengan nada puas.

Tanpa banyak kata, Hendro membuka bagasi mobil dan mengambil satu karung kecil berisi hasil gratifikasi. Ia menyerahkannya langsung ke tangan Hermawan, yang menerimanya dengan wajah puas dan mata berbinar.

Hermawan tersenyum bangga, matanya berbinar melihat isi karung yang baru saja diterimanya.

"Benar-benar cerdik. Kamu ambil setengahnya," ucapnya ringan, tapi penuh arti.

Hendro mengangguk pelan.

"Terima kasih, Pak," jawabnya singkat, menahan senyum puas.

Dalam hati, ia tahu risiko pekerjaan ini besar—tapi imbalannya pun sebanding

Hendro belum juga beranjak pergi.

"Pak, besok saya nggak masuk dulu. Saya benar-benar lelah," ucapnya dengan nada lesu.

Hermawan tertawa kecil.

"Kamu ini, suka sekali bikin iri yang lain. Tapi ya sudahlah... untungnya atasan kamu itu aku," balasnya sambil menepuk bahu Hendro.

Dalam hati, Hendro bergumam sinis,

"Yang beruntung itu Bapak... punya anak buah kayak saya yang selalu rajin setor uang haram."

Tak ingin berlama-lama, Hendro akhirnya pamit dan meninggalkan rumah Hermawan. Malam terasa makin larut, dan tubuhnya benar-benar minta istirahat. Tapi pikirannya belum tentu bisa tidur.

Hendro sudah sangat mengantuk. Kelopak matanya berat, tubuhnya lelah, dan pikirannya pun mulai mengabur. Di satu persimpangan, nyaris saja ia menabrak seorang pejalan kaki.

Itu menjadi peringatan serius baginya.

Karena jarak hotel lebih dekat daripada harus pulang ke rumah, Hendro memutuskan untuk menginap di sana. Namun, sesampainya di parkiran, ia justru ragu: apakah akan tidur di kamar hotel atau tetap di dalam mobil?

"Kalau aku tidur di kamar, bagaimana dengan uangku?"

gumam Hendro, matanya menatap gelapnya langit malam.

"Kalau harus membongkar satu per satu karung bau itu, pasti malah menimbulkan kecurigaan..."

Ia mendengus kesal.

"Sial... kenapa juga uangnya harus disamarkan pakai pupuk kompos, sih?"

Tubuhnya terasa remuk. Ingin pulang pun rasanya mustahil—ia sudah terlalu lelah.

Hanya untuk tidur saja, Hendro harus berhadapan dengan berbagai pilihan. Pikiran dipaksa terus bekerja, sementara tubuh sudah berteriak minta istirahat.

Dua hari dua malam ia belum tidur, sejak Zahira pergi, seakan seluruh dunianya runtuh.

Ratna, istri yang ia banggakan,—justru tak hadir di saat-saat krusial seperti ini.

Akhirnya, Hendro menarik napas panjang, lalu merebahkan diri di kursi mobil.

Ia memilih tidur di sana—di samping karung-karung berisi uang haram yang disamarkan dengan pupuk kompos.

Bau menyengat, badan nyeri, hati kacau. Tapi malam itu, itulah satu-satunya tempat yang terasa aman “zahira kalau kamu mengira hidupku hancur gara-gara menceraikanmu, kamu salah besar ada uang 400 juta di mobilku” gumam hendro

Untuk sementara, Hendro mencoba melupakan segalanya—

Melupakan kekesalannya pada Anggi, anak perempuannya, yang sejak pagi membawa mobil mewahnya entah ke mana, tanpa kabar hingga malam.

Melupakan Angga, yang kini terbaring di rumah dengan luka bekas tawuran.

Melupakan ibunya yang masih dirawat di rumah sakit.

Bahkan melupakan Ratna—istri barunya—yang justru tertangkap basah bergandengan tangan dengan pria lain.

Namun, sebelum memejamkan mata, bayangan Zahira kembali datang—wajah yang selalu muncul di saat-saat ia tak ingin mengingat.

Wajah perempuan yang  ia tinggalkan, ia campakkan, kini hadir menghantuinya. Dan itu menyiksanya. Dan sialnya dia merindukan pelukannya

Akhirnya, Hendro tertidur di dalam mobil, ditemani bau pupuk dari karung berisi uang haram, dan beban dari hidup yang ia bangun sendiri.

Ia lupa bahwa bos galian telah memesankan kamar hotel mewah untuknya.

Ia memilih tidur di dalam mobil—bersama kegelisahan, rasa bersalah, dan tumpukan pencapaian kotor yang perlahan-lahan akan menghancurkannya dari dalam.

1
Alif
bisa2nya ank kandungnya mau di jual
Alif
apa yg kau tanam itulah yg akan kau petik
Alif
klo otak kalian bs mikir psti gk percaya tp klo otak kalian dangkal tamat lah kalian kena jaring siluman rubah
Alif
sukma dan langit kyaknya anak kandung zahra yg di adopsi adit
Alif
oh bner klo bukan anak nya zahira lha wong modelnya dan kelakuanya kyk emak bpknya, ksian aj zahira telah di tipu
Alif
katanya di suruh bw Adit, apa aq gagal faham yaa
Alif
emang ibunya sudah mendiang ya, la yang di rmh itu siapa😇
Alif
itulah hasil didikanmu oke kaan..
Darma Taksiah
keren
Naning Naning
bener2 tamat thorrr..... ga ada bonchap nya
muthia
cm bs 😭😭😭😭😭😭😭😭
muthia
klau td cm g di sukai sama mertua sih di selingkuh u suami mungkin msh bs di tahan nah ini anak sendiri yg kaya gitu ya Allah sedih nya😭😭
Purnama Pasedu
cinta yg sejati,akan bertemu walau berliku
Maharani Rania
kaya nya anak kandung Zahira yg di buang
SOPYAN KAMALGrab: ka tolong kasih ulasannya ka...
total 1 replies
Sonya Nada Atika
ceritanya keren bgt.baru ini novel yg tak ku skip halaman nya...dr awal smp akhir
SOPYAN KAMALGrab: tolong kasih ulasan ka/Pray/
total 1 replies
Raden
keluarga tocix kecuali zahira
Earlyta a.s Salsabila
👍
Erna M Jen
dasar anak durhaka kau anggi
Zainuri Zaira
trus ratna gimna mati atw selamat..kok udh tamat
Zainuri Zaira
mungkin uangx digunakan zahira utk modal melawan balik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!