Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 - Dia Punya Pacar?
Baru saja ciuman singkat terjadi, Aliya sudah tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Tubuhnya berguling ke kanan-kiri di atas kasur, seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru.
Bisa dibayangkan, jika saja Bagaskara memberikan lebih dari sekadar ciuman, mungkin Aliya sudah pingsan saking tak kuat menahan debaran di dadanya.
Namun, kegilaannya tidak berhenti sebentar saja. Ia terus-terusan berguling, tertawa kecil, bahkan menendang-nendang udara dengan kedua kakinya.
Rambutnya berantakan, sprei tempat tidur sudah seperti kapal pecah, tapi ekspresi wajahnya memancarkan kebahagiaan yang meluap-luap.
Aliya baru tersadar ketika pintu kamar terbuka perlahan. Tubuhnya sontak kaku. Bagaskara berdiri di ambang pintu dengan wajah datar, menatapnya tanpa ekspresi sebelum akhirnya menghela napas panjang.
“Ck ....”
Hanya itu yang terdengar, tapi cukup membuat Aliya panik. Ia buru-buru bangkit dari kasur, merapikan sprei yang acak-acakan dengan gerakan terburu-buru. Wajahnya memerah, jantungnya seperti hendak melompat keluar.
“Kak Bagas? Se-sejak kapan Kakak di sana?” tanyanya gugup, suaranya bahkan terdengar bergetar.
Bagaskara tak langsung menjawab. Ia hanya melirik sekilas, kemudian menutup kembali pintu kamar tanpa sepatah kata pun.
Meninggalkan Aliya yang kini terduduk di tepian kasur, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Ya Tuhan … malunya. Guling-guling segala, kayak orang kesurupan,” gumamnya pelan.
Saat bertindak barusan, ia sama sekali tak berpikir. Tapi setelah sadar Bagaskara sempat melihatnya, wajahnya benar-benar terasa panas terbakar malu. Ia termenung lama, tak bergerak selain menatap kosong ke arah lantai.
Hingga suara ponselnya berdering memecah keheningan. Aliya beranjak, meraih ponsel yang tergeletak di nakas. Sebuah nomor tak dikenal tertera di layar. Tanpa pikir panjang, ia menolak panggilan itu.
Nada dering berhenti, tapi hanya sesaat. Nomor asing itu kembali mencoba menghubunginya, berkali-kali. Aliya tetap tak peduli. Baginya, jika memang penting, si penelepon pasti akan menghubungi lewat pesan singkat. Itulah kebiasaannya sejak dulu.
Aliya memilih kembali menaruh ponsel, lalu fokus merapikan tempat tidur. Ia khawatir Bagaskara enggan tidur di kamar nanti malam kalau melihat keadaan kasurnya seperti kapal karam.
Begitu selesai, ia menarik napas lega. Namun perasaan penasaran tetap mengusik. Apa yang sedang Bagaskara lakukan di bawah? Ia pun membuka pintu kamar perlahan, menuruni tangga dengan hati-hati.
Begitu hidungnya mencium aroma harum bumbu masakan dari arah dapur, langkahnya terhenti. “Wih … Kak Bagas masak?” bisiknya, seakan takut suara kerasnya mengganggu.
Dengan perasaan berdebar, Aliya menyusuri anak tangga. Setiap langkahnya terasa canggung. Ia tahu, sebentar lagi pasti akan salah tingkah lagi, karena hanya dengan melihat Bagaskara melakukan sesuatu yang sederhana saja, hatinya sudah berantakan.
Dan benar saja. Sesampainya di dapur, matanya terpaku. Bagaskara tampak begitu cekatan, mengaduk santan dengan gerakan terlatih, memarut kelapa yang sebelumnya sempat melukai jari Aliya, seolah itu hal paling mudah di dunia.
Aliya berdiri terpaku, mengamatinya tanpa berkedip. Wajah Bagaskara serius, alisnya sedikit berkerut, gerakannya mantap dan efisien. Ada daya tarik yang membuat Aliya tak bisa melepaskan pandangan.
“Kenapa turun?” Suara berat itu memecah lamunannya.
“He-hem?” Aliya tersentak. Matanya membelalak, pipinya langsung bersemu.
“Aku tanya, kamu ngapain turun? Sudah selesai jingkrak-jingkraknya?” Nada bicara Bagaskara datar, tapi ada nada menyindir di balik ucapannya.
Aliya semakin salah tingkah. “Eh? Emang kedengaran ya, Kak?” tanyanya dengan suara nyaris berbisik.
Bagaskara hanya menghela napas panjang, tak menjawab. Dalam hatinya, ia mengumpat pelan. Seberisik itu sampai aku kira lantai dua runtuh. Apa dia nggak sadar sama sekali?
“Kak Bagas ....”
“Hm?”
“Ih … ngomong kok setengah-setengah. Jawab dong … aku berisik ya?”
“Menurut kamu?” Bagaskara balik bertanya, kali ini matanya sekilas melirik istrinya.
Aliya langsung menunduk, merasa bersalah. “Maaf … aku kelepasan,” ujarnya lirih.
Bagaskara tidak menanggapi lebih jauh. Ia kembali fokus pada santan di dalam panci, mengaduknya perlahan. Uap harum menyeruak, memenuhi dapur dengan aroma gurih yang menenangkan.
“Kak Bagas jago juga masaknya. Siapa yang ajarin?” tanya Aliya lagi, mencoba mencairkan suasana.
“Otodidak,” jawab Bagaskara singkat, tanpa menoleh.
“Oh ….” Aliya mengangguk-angguk, meski jelas suaminya tidak sedang butuh komentar. Baginya jawaban itu sudah lebih dari cukup untuk membuat hatinya berbunga.
Sesaat kemudian, Bagaskara berkata, “Kamu bisa jagain santannya? Jangan sampai pecah. Aku mau ke atas sebentar.”
“Bisa, Kak, bisa!” sahut Aliya cepat, terlalu semangat.
“Yakin?”
“Yakin! Diaduk-aduk kan?”
Bagaskara hanya mengangguk tipis sebelum berbalik meninggalkan dapur. Langkah kakinya terdengar mantap menaiki anak tangga, menuju kamar.
Sesampainya di sana, ia segera meraih ponsel di atas nakas. Ternyata ada satu hal yang ia lupakan, menghubungi Rajendra.
Adiknya itu sudah sejak kemarin meminta kabar, dan bila tak ada balasan, kemungkinan besar Rajendra akan datang menjenguk.
Bagaskara tak ingin itu terjadi. Kehidupannya sudah cukup penuh dengan kehadiran Aliya. Jika ditambah Rajendra, kepalanya bisa pecah. Maka ia mengetik pesan singkat, sekadar memastikan Rajendra tidak perlu repot datang.
Selesai, ia menaruh kembali ponsel ke atas nakas. Namun seketika, ponsel lain yang berada di sisi berbeda bergetar berkali-kali. Ponsel Aliya.
Kening Bagaskara berkerut. Getarannya tidak berhenti, terus berulang-ulang. Ragu sempat menghampirinya, tapi pada akhirnya ia mengulurkan tangan. Untuk pertama kalinya, ia merasa perlu memeriksa.
Layar ponsel menampilkan angka-angka asing. “Dua puluh lima panggilan tak terjawab?” Bagaskara bergumam, alisnya bertaut.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sebuah notifikasi pesan masuk. Secara refleks matanya membaca baris demi baris tulisan di layar.
|| Hai, Al … ini aku, Zikry. Bagaimana pernikahanmu? Bahagia? Suamimu gimana? Apa dia memperlakukanmu dengan baik?
Bagaskara terdiam. Kedua matanya menatap layar itu lama, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, meski wajahnya tetap tampak tenang.
“Apa maksudnya?” gumamnya rendah, hampir tak terdengar.
Sorot matanya mengeras. Ada sesuatu yang mendesak di dadanya, perasaan asing yang tak ia mengerti. “Bocah itu … punya pacar atau gimana?”
.
.
- To Be Continued -
Ewh ... katanya nggak peduli, Kak?