Bagaimana jika di hari pernikahan setelah sah menjadi suami istri, kamu ditinggal oleh suamimu ke luar negeri. Dan suamimu berjanji akan kembali hanya untukmu. Tapi ternyata, setelah pulang dari luar negeri, suamimu malah pulang membawa wanita lain.
Hancur sudah pasti, itulah yang dirasakan oleh Luna saat mendapati ternyata suaminya menikah lagi dengan wanita lain di luar negeri.
Apakah Luna akan bertahan dengan pernikahannya? Atau dia akan melepaskan pernikahan yang tidak sehat ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanpa Luna
Rafi pulang dengan tangan kosong dan itu membuat Bu Endah semakin kecewa. Ia menyambut Rafi dengan tatapan dingin dan penuh tanya.
"Bagaimana? Luna mau pulang, Nak?" tanya Bu Endah, suaranya dipenuhi nada harap yang terselubung.
Rafi menggeleng. "Tidak, Bu. Dia tidak ada di rumah kakeknya. Bahkan kakeknya juga tidak tau kalau dia pergi dari rumah kita. " jawab Rafi.
"Lalu di mana dia?" bentak Bu Endah, nada harapnya berubah menjadi amarah. "Semua jadi berantakan tanpa dia disini. Dia menantu macam apa, pergi seenaknya! Kamu juga, Rafi! Kenapa tidak bisa membujuknya pulang?"
"Entahlah, aku juga tidak tau. Selama ini yang aku tau hanya rumah itu saat aku mengantar dia pulang. Selain itu di cafe tempat biasa kami bertemu. Hanya itu saja," jawab Rafi, merasa frustrasi.
Bu Endah menghela napas panjang, lalu menatap Saras yang sedari tadi hanya diam. Wanita itu sungguh tidak berguna.
"Saras, kamu sekarang menantu di rumah ini. Kamu harus menggantikan Luna. Kamu harus mengurus rumah ini, memasak, membersihkan, layaknya menantu yang baik."
Saras terkejut. Ia menatap Bu Endah dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa dia mengurus rumah. Itu buka levelnya.
"Maaf, Bu, tapi aku wanita karir. Aku tidak pantas berada di dapur atau memegang sapu. Pekerjaanku adalah memegang laptop dan mengurus keuangan perusahaan, bukan alat pel seperti yang dilakukan oleh menantu ibu sebelumnya."jawabnya enteng.
"Apa? Kamu berani menolak perintah Ibu?!" Bu Endah berdiri, matanya menyala menatap istri Rafi yang tidak berguna itu.
"Aku bekerja, Bu. Gajiku juga besar. Aku tidak punya waktu untuk mengurus pekerjaan rumah. Lagi pula sebenarnya ibu itu mencari menantu apa pembantu sih. Kalau aku maaf saja, aku tidak suka disuruh-suruh." balas Saras dengan acuh.
Bu Endah menatap Rafi, wajahnya merah padam. "Rafi! Kenapa kamu menikahi wanita seperti ini?Kamu lihat sendiri kan! Aku menyesal! Aku menyesal telah menyia-nyiakan Luna selama ini!"
Bukannya mendukung ibunya, Rafi malah membela Saras istrinya. "Sudahlah, Bu. Kalau tidak ada yang mau mengerjakan, kenapa tidak mengambil pembantu saja, sih? Kita bisa merekrut pembantu baru untuk menyelesaikan semuanya."
"Pembantu ya, tapi sebelum mengambil pembantu, aku tanya padamu, siapa yang akan membayar pembantu itu. Sedangkan kamu membelikan ibu obat saja hanya dua butir. Bagaimana kalau penyakit ibu kambuh di tengah malam. " tanya bu Endah penuh sindiran.
"Itu... itu bisa diatur. Nanti aku dan Saras yang akan patungan membayarnya. Iya, kan sayang. " Rafi meminta persetujuan istrinya.
"Kok pake uang ku sih, " jawab Saras kesal sambil menatap Rafi. Rafi mengangguk agar Saras mengiyakan saja ucapan.
"Terserah." Saras menghentakkan kakinya san masuk ke dalam kamarnya.
Bu Endah terdiam, lalu menatap Pak Doni yang sedari tadi hanya menyimak. "Bagaimana, Pak?"
Pak Doni mengangguk setuju. "Ide Rafi ada benarnya. Lebih baik kita mencari pembantu saja, daripada terus bertengkar hanya untuk urusan rumah."
Mereka akhirnya sepakat untuk mencari pembantu rumah tangga, berharap masalah pekerjaan rumah akan selesai dan dia bisa bersantai seperti sebelumnya. Namun, pikiran Bu Endah masih melayang pada sosok Luna.
"Ngomong-ngomong, Rafi," Bu Endah memulai topik lain, nada bicaranya berubah penasaran.
"Sebenarnya, Luna itu kerja apa, sih? Bagaimana dia bisa membeli obat jantung Ibu yang harganya sampai lima ratus ribu per butir itu setiap bulan? Uang yang kamu berikan kan tidak seberapa."
Rafi mengernyit, memikirkan kembali sosok Luna.
"Aku juga tidak tahu, Bu. Selama ini Luna sangat tertutup tentang pekerjaannya. Aku hanya tahu Luna sering datang ke kafe langganannya dan di sanalah kami bertemu. Rumahnya juga sederhana, jadi aku pikir dia hanya gadis biasa yang suka nongkrong di kafe."
Ia melanjutkan, "Aku juga tidak terlalu penasaran dengan pekerjaannya atau siapa dirinya, Bu. Jadi aku tidak bertanya lebih. Asalkan dia penurut bagiku sudah cukup."
Jawaban Rafi itu membuat Bu Endah terdiam. Mereka ternyata tidak tahu apa-apa tentang Luna, tentang wanita yang selama ini sudah mereka manfaatkan. Dia memiliki uang banyak, bahkan sanggup mengeluarkan uang lima belas juta dalam sebulan hanya untuk biaya operasinya, dan juga biaya operasinya yang berkisar seratus jutaan itu Luna mampu membayarnya dengan mudah, tanpa memikirkan apapun.
Kini mereka mulai penasaran tentang siapa Luna, dan apa pekerjaannya.
Di apartemennya, Luna sedang menikmati kesendiriannya. Ketenangan yang ia rasakan begitu nyata, tanpa harus mendengar omelan Bu Endah, tanpa harus melihat wajah dingin Rafi, dan tanpa harus menahan rasa jijik melihat kemesraan Rafi dan Saras. Ia membiarkan pikirannya berkelana, membayangkan kembali masa-masa ia masih bebas, sebelum terjebak dalam pernikahan yang penuh drama ini. Ternyata cinta dan kesetiaan saja tidak cukup untuk membuktikan apakah seseorang itu layak untuk berada di sisi kita.
Keesokan harinya, dengan semangat baru, Luna mulai bekerja di kantor pengacara. Kehadirannya disambut hangat oleh timnya. Rian, salah satu rekannya, menghampirinya.
"Naura sudah menceritakan semuanya, Lun. Aku turut prihatin," ucap Rian dengan tulus. "Tapi aku salut dengan keberanianmu."
Luna tersenyum. "Terima kasih, Rian. Aku hanya ingin mendapatkan kembali kehidupanku."
"Baiklah. Aku sudah siapkan beberapa berkas klien yang bisa kamu tangani. Ya setidaknya dengan kesibukan kamu bisa sedikit melupakan masalah yang sedang kamu hadapi," kata Rian sambil menyerahkan sebuah map.
"Kamu masih punya banyak klien yang menunggu di luar sana. Mereka hanya mau di tangani olehmu. Sepertinya kamu menajadi penasehat favorit mereka, terutama perusahaan Adiguna. Mereka menunggumu Minggu depan untuk hadir di perayaan ulang tahun perusahaan mereka, sekaligus memperkenalkan CEO baru mereka." jelas Rian panjang lebar.
"Benarkah, "
Luna mengambil map itu, matanya berbinar. Ini adalah dunianya. Dunia di mana ia dihargai, di mana kemampuannya diakui, bukan dunia di mana ia hanya dianggap sebagai pembantu yang bisa diinjak-injak.
"Aku akan kembali ke tim lama kita," kata Luna, suaranya penuh tekad. "Dan aku siap menerima klien lagi."
"Itu bagus, Kami akan dengan senang hati menyambut kedatangan mu. "
"Terima kasih. "
Luna segera menyibukkan diri. Dia mulai membaca berkas-berkas klien, menganalisis masalah hukum yang dihadapi, dan menyusun strategi penyelesaian. Selama ini, Dia memang tetap bekerja, tetapi secara daring dari rumah. Kini, dia kembali merasakan atmosfer kantor yang dinamis, berinteraksi dengan rekan-rekan kerjanya, dan menggunakan kemampuannya untuk membantu orang lain.
Dia merasa sangat bersyukur. Di saat-saat terpuruk, ia masih memiliki pekerjaan yang dia cintai dan sahabat-sahabat yang selalu mendukungnya. Dia tidak sendirian. Luna sudah merasa kuat, merasa bebas. Dia tahu, setelah semua ini berakhir, Dia akan kembali menjadi Luna yang dulu, Luna yang mandiri, sukses, dan penuh kebahagiaan.