Pertemuan pertama begitu berkesan, itu yang Mada rasakan saat bertemu Rindu. Gadis galak dan judes, tapi cantik dan menarik hati Mada. Rupanya takdir berpihak pada Mada karena kembali bertemu dengan gadis itu.
Rindu Anjani, berharap sang Ayah datang atau ada pria melamar dan mempersunting dirinya lalu membawa pergi dari situasi yang tidak menyenangkan. Bertemu dengan Mada Bimantara, tidak bisa berharap banyak karena perbedaan status sosial yang begitu kentara.
“Kita ‘tuh kayak langit dan bumi, nggak bisa bersatu. Sebaiknya kamu pergi dan terima kasih atas kebaikanmu,” ujar Rindu sambil terisak.
“Tidak masalah selama langit dan bumi masih di semesta yang sama. Jadi istriku, maukah?” Mada Bimantara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 - Keluarga Toxic
Moza melepas pelukannya pada tangan Arya lalu menghampiri Mada dan memeluk pria itu. Pandangannya sempat tertuju pada gadis yang tadi mengekor langkah Mada dan langsung menjauh. Gadis dengan seragam SPG.
“Kangen tau.”
“Halah, lebay. Baru dua hari lalu kita ketemu. Bang Dewa nggak ikut?” tanya Mada setelah Moza melepas pelukannya.
“Nggaklah, memangnya dia nggak ada kerjaan ngikutin aku terus.”
Mada menatap sekitar memantau kegiatan timnya, tentu saja salah satu fokusnya adalah Rindu yang sudah bergabung dengan rekannya yang lain.
“Cantik ya,” bisik Moza.
“Hm.”
“Wajahnya nggak asing deh, aku kenal dia nggak?” Mada menjawab dengan gelengan. “Kamu tuh nggak jelas,” ujar Moza lalu memukul lengan Mada. “Waktu dipesta mepetin, sekarang SPG. Mama bisa kalap tahu kamu playboy kayak gini.
“Playboy apaan, lo lihat yang bener sana.” Mada mengarahkan wajah Moza ke arah Rindu.
Dahinya mengernyit lalu memekik.
“Dia yang kemarin nyanyi?”
“Tau ah.” Mada menghampiri Arya.
“Pah, Mada udah punya pacar,” seru Moza dan refleks membuat Arya menoleh memperhatikan putranya.
“Gimana hasil penjualan s.d hari ini?” tanya Arya mengabaikan ucapan Moza. Saat ini mereka berada di lingkungan kerja, tidak elok membicarakan masalah pribadi.
Mada menjelaskan laporan penjualan dari stand pameran juga penjualan secara keseluruhan. Arya mengangguk paham, merasa puas dengan kinerja putranya. Ada saatnya Mada akan siap menggantikan peran Arya dan Ares memimpin perusahaan.
Sedangkan Rindu masih semangat menjalankan perannya.
“Gimana bu, tertarik yang mana?” tanya Rindu pada pengunjung stand yang menatap brosur sambil mendengarkan penjelasan.
“Saya keliling dulu ya mbak, cari perbandingan.”
“Boleh, semoga pilihan di sini lebih menarik ya bu. Terima kasih,” seru Rindu lalu merogoh kantong celananya mengeluarkan ponsel. Sejak tadi merasakan getaran karena panggilan masuk.
“Ini siapa,” gumamnya mendapati beberapa panggilan terjawab dari nomor baru.
Ponsel kembali bergetar, masih panggilan dari nomor yang tadi.
“Halo,” ucap Rindu.
“Selamat siang, kami dari kredit cerdas--”
“Maaf mbak, salah sambung.” Gegas Rindu mengakhiri panggilan. “Ampun dah, hidup nggak tenang amat.”
Tidak mungkin Rindu mematikan ponselnya, khawatir ada panggilan atau telepon urusan penting atau tawaran pekerjaan. Dihidupkan malah dapat teror pinjol karena ulah keluarga pakde.
“Terserah mau nelpon berapa kali, nggak akan gue jawab.”
***
Motor yang dikendarai Rindu sudah berbelok menuju komplek rumah pakdenya. Sempat melambatkan laju motor dan menekan klakson saat melewati pos ronda.
“Woi, Rindu, sini dulu.”
Rindu menghentikan motornya.
“Kenapa beh?” tanyanya pada pria paruh baya salah satu tetangganya.
“Ada yang cari Yanto sama bininya, dari tadi siang bolak-balik.”
“terus udah ke rumah?” tanya Rindu lagi.
“Justru nggak ketemu, makanya itu orang bolak-balik terus. Mana badannya gede-gede banget, tampangnya garang. Siapa sih?”
Rindu mengedikkan bahu meski ragu ia menduga kalau orang-orang itu adalah penagih hutang yang sebelumnya datang.
“Bude ‘kan di rumah, pakde juga nggak kemana-mana karena lagi kurang sehat.”
“Nggak ada, gue udah anter dan gue ketok pintu rumah lo nggak ada yang nyaut. Mana sepi.”
“Hah, sepi.” Rindu menatap ke arah pagar rumah pakde yang berjarak kurang lebih tiga puluh meter. “Beh, saya jadi takut deh,” keluh Rindu. Sudah lelah seharian berdiri dan pegal bukan main. Hanya ingin mandi lalu istirahat, nyatanya dihadapkan dengan drama keluarga entah genre apa.
“Motor lo parkir sini, terus lo lihat dulu sana,” ujar tetangga Rindu yang lain.
“Ya udah, titip ya.”
Berjalan menuju kediaman pakde, terlihat pintu pagar terbuka meski tidak lebar. Rumah memang terlihat sepi bahkan gelap, karena lampu depan tidak dihidupkan.
“Ck, pada kemana sih,” keluh Rindu.
Merasa situasi aman dan tidak ada orang-orang yang dimaksud tetangganya, Rindu kembali ke pos ronda mengambil motornya. Menutup pagar dan menguncinya. Rumah itu memang dikunci, tapi kunci ada di atas palang seperti biasa disimpan.
Sampai di dalam Rindu menghubungi Pakde berkali-kali tidak dijawab lalu menghubungi Maman, hasilnya sama saja. Masih berpikir positif kalau keluarga Pakde ada keperluan mendadak, mungkin mengambil uang warisan untuk bayar hutang-hutang mereka.
Esok pagi, Rindu sudah siap berangkat. Memanasi motornya lalu mengunci pintu depan dan menyimpan kembali kunci pada tempat biasa. Sempat mengirim pesan pada pakde kalau ia sudah berangkat. Namun, pesan tersebut hanya ceklis satu.
“Semangat hari ketiga, semoga hari ini menghasilkan.”
Rindu mengeluarkan motor dan berhenti di depan lalu turun dan menutup pintu pagar. Melaju pelan meninggalkan kompleks tersebut. Melewati pos ronda lalu berbelok akan bergabung ke jalan besar. Mendadak ada motor mepet ke arahnya.
“Minggir dulu!”
Rindu pun menepi, ternyata Reno.
“Kamu sadar nggak tadi tuh bahaya. Kalau aku nggak seimbang udah nabrak.”
“Tapi nggak ‘kan?”
Rindu berdecak kesal karena ulah Reno, tidak bisa melaju karena stangnya ditahan oleh pria itu.
“Lo susah amat diajak kencan.”
“Karena kita bukan pasangan, ngapain juga harus kencan.”
Reno terkekeh. “Yaelah Rindu, pake jual mahal. Gue tahu lah, SPG kayak gimana. Nanti malam kita kencan, gimana?”
“Sorry, nggak bisa.”
“Sumpah, belagu banget loh. Kalau gue mau bisa bayar Bude lo itu biar kita bisa jalan. Apalagi kalian lagi terjerat hutang.”
“Bukan urusan kamu, minggir!” Rindu menggerakan stang motor agar tangan Reno terlepas.
“Kerja di mana lo?”
“Bukan urusan kamu.”
Reno menarik sweater Rindu dan membaca tulisan serta logo dari seragam yang dikenakan gadis itu.
“Lepas, jangan kurang ajar,” sentak Rindu lalu langsung melaju meninggalkan Reno yang mengump4t padanya. “Dasar gila,” gumam Rindu.
mendingan Rindu la,jaaaauuuh banget kelakuan kamu dan Rindu...
gimana mau jatuh cinta ma kamu
😆😆😆😆
kamu gak masuk dalam hati Mada Arba,lebih baik sadar diri...
jauh jauh gih dari Mada
babat habis sampai ke akarnya...
🤬🤬🤬🤬🤬