"Dasar brengsek! Kadal burik! Seumur hidup aku gak mau ketemu kamu lagi. Bahkan meskipun kamu mati, aku doain kamu susah menjemput ajal."
"Siapa yang sekarat?" Kanya terhenyak dan menemukan seorang pria di belakangnya. Sebelah tangannya memegang kantung kresek, sebelah lagi memasukan gorengan ke dalam mulutnya.
"Kadal burik," jawab Kanya asal.
"Kadal pake segala di sumpahin, ati- ati nanti kena tulah sumpah sendiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan
Seperti biasa Kanya mengantar Dilan ke rumah Tantenya saat dia akan pergi bekerja, lalu menjemputnya saat pulang nanti.
Merepotkan, tentu saja. Beruntung adik dari Papanya itu tak protes karena dia repotkan.
Tante Mela memang baik, bahkan saat pertama kali Kanya datang ke Bali, dia tinggal disana. Hingga Kanya bisa membeli rumah sendiri, tante Mela tidak pernah merasa keberatan Kanya tinggal disana.
"Maaf ya, tante, ngerepotin," ucap Kanya.
"Gak papa, tante suka ada Dilan. Jadi ada temen di rumah."
Kanya tertawa kecil. "Tapi kalau mau protes juga boleh, bilang aja langsung sama Bang Arga, siapa suruh buang anaknya sampai kesini."
"Kamu nih. Ngomong- ngomong kapan Mily lahiran?"
"Hpl nya sih dalam minggu ini, Tan. Makanya Bang Arga lagi persiapan buat lahiran Mily katanya."
Mela mengangguk. "Kalau gitu kamu pulang dong?"
Kanya menghela nafasnya. "Kayaknya. Mama juga bawel suruh aku pulang soalnya."
Mela tertawa. "Cowok mana lagi yang dia tawarin sama kamu?"
"Gak tahu, dan gak peduli."
"Tapi Kan, mereka cuma khawatir kalau kamu terus gak mau nikah, padahal usia kamu bisa di bilang udah tua." Kanya mencebik.
"Menikah kan hak asasi manusia tante."
"Ya, emang. Tapi sebagai orang tua, mereka gak mau kalau sampai tua kamu cuma hidup sendiri, mereka takut kamu kesepian karena gak punya teman hidup."
"Kita bicara lagi nanti deh tante, aku berangkat dulu, ya Tan. Takut telat soalnya." Mela hanya menggeleng saat Kanya langsung pergi saat dia menjelaskan tentang pernikahan, seperti itulah Kanya selalu memilih menghindar, mungkin karena dia juga merasa apa yang di katakan benar dan dia akan kalah kalau memilih berdebat.
Kanya melajukan motornya dengan kecepatan sedang menuju kantornya. Sementara tangannya memutar gas agar kecepatan bertambah, pikirannya justru berkecamuk memikirkan perkataan Tantenya tentang dia yang hingga tua hidup sendiri. Benarkah dia akan kesepian?
Tapi saat ini pun Kanya hidup sendiri, dia tetap merasa nyaman.
Kenapa nanti dia akan kesepian?
Kanya memejamkan matanya sesaat ketika menyadari jika dia sedang membohongi dirinya sendiri. Ya, terkadang rasa sepi itu ada. Tapi Kanya sungguh tak ingin sakit lagi ... apa yang terjadi dulu sangat membekas. Bagaimana tidak, dia berharap pria itu akan menjadi satu-satunya, tapi ternyata dia malah berkhianat.
Brak!
Dugh, "Akh!" Kanya meringis saat dadanya membentur stang. "Astaga." Kanya membulatkan matanya saat melihat jika dia baru saja menabrak mobil yang sedang berhenti di lampu merah.
Sialan, gara-gara melamun Kanya menyebabkan masalah. Kanya mengabaikan sakit di dadanya, memilih melihat bagaimana keadaan mobil di depannya.
Kanya meringis saat dia melihat goresan di sana. Tidak seberapa sebenarnya, justru motor Kanya lah yang memiliki kerusakan lumayan parah di bagian depan. Tapi disini dia lah yang bersalah, dan harus bertanggung jawab. Jadi Kanya mengetuk pintu mobil di depannya.
"Maaf, Bli. Saya gak sengaja," ucap Kanya dengan wajah penuh rasa bersalahnya. Hingga kaca mobil itu terbuka menampakkan si pemilik mobil, membuat Kanya kehilangan ekspresinya.
"Anya."
Kanya menegang sekaligus merinding saat mendengar suara berat pria di depannya, rasanya tubuhnya mendadak kaku bahkan sekedar untuk bergerak. Kanya tak menyangka jika dia akan kembali di pertemukan dengan pria di depannya. Satu- satunya pria yang tak ingin lagi Kanya temui seumur hidup, sumber segala kesakitannya.
Alan.
Kanya ingin lari, namun dia justru terpaku dengan wajah tampan di depannya, hingga suara seruan di belakangnya terdengar.
"Woy, pinggirin mobilnya dong!"
"Maaf, Bli ..." Kanya menoleh kembali pada Alan yang juga terpaku dia sepertinya juga terkejut melihatnya. "Maaf, bisa pinggirin mobilnya dulu." Kanya bahkan berusaha membuat suaranya tak bergetar sebab rasanya ingin menangis. Kanya kembali pada motornya dan melaju saat mobil di depannya melaju lebih dulu menuju pinggir jalan agar tak menghalangi laju kendaraan lain.
Kanya menghentikan motornya dan kembali menghampiri mobil Alan. "Maaf, saya gak sengaja, saya bisa ganti rugi, biar saya bayar biaya perbaikannya."
"Kamu sendiri gak papa?" Terlihat wajah Alan penuh kekhawatiran menatap ke arah Kanya.
Kanya mendengus dalam hati, namun dia tak membiarkan emosinya nampak dan hanya menatap Alan seolah dia tak mengenal dan baru bertemu hari ini.
"Saya gak papa. Kita bisa langsung ke bengkel untuk memperbaiki kerusakan." Kanya melihat jam tangannya, dia terlambat. Tapi dia juga harus menyelesaikan masalahnya sekarang.
Alan melihat motor Kanya dimana spakbor depannya patah mungkin karena benturan tadi, bahkan kaca spionnya pun patah.
"Oke."
"Kalau begitu saya akan duluan." Kanya kembali menaiki motornya menahan sakit di dada bagian bawahnya yang tadi terbentur. Baru saja akan melaju Alan mencegahnya.
"Kamu yakin kamu gak papa? Kamu bisa naik mobilku, kita ke dokter dulu," tawarnya.
Kanya menaikan alisnya menatap Alan dengan sedikit kesal. "Saya sudah telat. Jadi bisa tolong cepat."
Alan menelan ludahnya saat melihat wajah acuh Kanya. Gadis di depannya ini sedang bertingkah seolah tak mengenalnya sama sekali. Dia bahkan bicara dengan nada formal.
Alan melihat ke arah kepergian Kanya lalu mengikuti kemana mantan kekasihnya itu pergi hingga dia berhenti di sebuah bengkel mobil.
"Bli bisa tolong lihat mobil di belakang?"
Alan melihat Kanya menghampiri pegawai bengkel dan menanyakan detail kerusakan.
"Saya lihat dulu." Kanya mendudukkan dirinya di sebuah kursi dan Alan pun berjalan menghampiri.
"Kamu gak perlu khawatir, sebaiknya kita juga perbaiki motor kamu." Kanya mendongak menatap Alan.
"Gak perlu." Kanya beranjak untuk menghampiri pegawai bengkel demi menghindari Alan.
"Gimana Bli?"
"Ini cuma gores sedikit, saya perbaiki sekarang."
"Bisa buat tagihannya dulu, gak, Bli, saya mau bayar di muka?"
"Bisa, langsung ke kasir saja."
"Makasih Bli." Kanya berniat pergi ke kasir saat Alan kembali menghadangnya.
"Anya, bisa kita bicara sebentar?"
"Gak. Dan urusan kita selesai sampai disini, saya akan bayar kerugian anda."
"Anya, itu gak perlu, aku gak butuh."
"Ini bukan soal butuh, gak butuh. Ini tanggung jawab saya atas kesalahan yang saya lakukan."
"Anya, aku tahu kamu masih marah sama aku, tapi-" Kanya mengangkat tangannya menghentikan ucapan Alan.
"Tolong jangan bertingkah seperti kita saling kenal. Tolong hormati saya."
"Anya..." tak peduli Alan kembali memanggilnya, Kanya segera menghampiri kasir untuk menyelesaikan urusannya, lalu pergi begitu saja.
Alan menatap kepergian Kanya dengan hati mencleos, mungkin dia akan merasa lebih baik kalau Kanya marah saja, dan bila perlu melampiaskannya dengan memukul atau menamparnya, daripada harus berpura-pura tak mengenalnya, dan bersikap seolah mereka tak memiliki hubungan apapun di masa lalu.
Alan tak menyangka jika pertemuan mereka benar-benar terjadi secara kebetulan. Tentu saja bukan ini kebetulan yang Alan rencanakan.
Alan menghela nafasnya lalu menghampiri kasir. "Saya bisa lihat nomer telepon yang perempuan tadi tinggalkan?"
semangat..
semangat..💪
alan sj blm cerai kasian kanya bs di blng pelakor wlu pernikahan alan tnpa cinta.
bisa laku tinggi, gk lama lg kan idul adha/Silent/