Tak kunjung memiliki keturunan, Amira terpaksa harus merelakan Suaminya menikah lagi dengan perempuan pilihan Ibu Mertuanya.
Pernikahan Amira dan Dirga yang pada awalnya berjalan harmonis dan bahagia, hancur setelah kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga mereka.
"Meski pun aku ingin mempertahankan rumah tangga kita, tapi tidak ada perempuan di Dunia ini yang rela berbagi Suami, karena pada kenyàtaan nya Surga yang aku miliki telah terenggut oleh perempuan lain"
Mohon dukungannya untuk karya receh saya, terimakasih 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rini Antika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 ( Surga Yang Terenggut )
Amira yang baru selesai berdo'a, terlonjak kaget melihat seseorang yang sedang bediri di ambang pintu kamarnya yang terbuka.
"Astagfirullah Rendra. Kenapa sih kamu seneng banget bikin aku kaget?" ucap Amira dengan mengelus dadanya.
Rendra menghela napas panjang melihat mata Amira yang bengkak setelah menangis, apalagi tadi Rendra sempat mendengar do'a yang Amira panjatkan sehingga membuat hatinya berdenyut sakit.
"Amira, sampai kapan kamu akan menyiksa diri sendiri? Apa kamu sadar jika saat ini Suami kamu tengah berbahagia dengan Istri barunya, sedangkan di sini kamu terus menangis karena terluka," tanya Rendra.
Amira beberapa kali mengembuskan napas secara kasar sebelum menjawab pertanyaan Rendra.
"Mungkin orang lain banyak yang berpikir kalau aku bodoh karena bertahan dalam rumah tangga seperti ini. Mereka pasti akan mengatakan jika seumur hidup terlalu lama untuk dihabiskan dengan air mata," ucap Amira dengan tersenyum getir.
"Iya benar, kamu memang bodoh. Seharusnya kamu memperjuangkan kebahagiaan kamu sendiri, bukan malah bertahan hidup dalam kesakitan," ucap Rendra.
"Rendra, bukankah menikah merupakan ibadah yang paling lama? Biarlah aku bagai hidup di dalam Neraka sewaktu di Dunia. Semoga saja setelah ragaku tidak bernyawa lagi, di Akhirat kelak aku bisa tinggal di syurganya Allah," ucap Amira.
Rendra semakin kesal ketika mendengar perkataan Amira yang hanya bisa pasrah dengan takdir yang sudah Tuhan gariskan. Dia tidak rela melihat perempuan yang sangat dicintainya tersebut sedih, karena Rendra ingin selalu melihat Amira bahagia.
"Amira, bukannya jalan menuju Surga itu banyak? Kenapa kamu lebih memilih jalan dari di poligami?" tanya Rendra.
Amira hanya diam mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Sahabat karibnya tersebut, apalagi perkataan Rendra ada benarnya juga.
"Entah kenapa, aku rasanya tidak mengenal kamu yang sekarang. Mana Amira yang dulu selalu ceria? Mana Amira yang selalu optimis ingin merubah nasib? Sepertinya diri kamu yang dulu telah hilang setelah menikah dengan Dirga," sambung Rendra, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Amira yang masih termenung.
Amira menghampiri Rendra yang tengah duduk di teras depan rumahnya, karena sebelumnya Rendra baru selesai bermain catur dengan Pak Adnan, dan kebetulan rumah Rendra dan Amira bersebelahan.
"Rendra, kamu pasti mencariku karena ingin mengajak aku makan buah kan?" tanya Amira mencoba mengalihkan pembicaraan saat melihat sepiring buah di atas meja.
Sejak dulu Rendra selalu membawakan buah untuk Amira ketika malam hari, karena Rendra tidak mau Amira merasa kelaparan saat sedang tidur.
"Buah ini bukan untuk kamu, tapi buah ini untukku. Aku tidak perlu mengkhawatirkan kamu, apalagi sekarang kamu begitu keras kepala dan sudah tidak mau mendengar perkataanku lagi," jawab Rendra dengan cemberut.
"Udah jangan cemberut terus. Sekarang kamu harus menyuapi aku makan buah," ujar Amira dengan membuka mulutnya.
Dari dulu Rendra memang selalu memanjakan Amira, bahkan dia sering menyuapi Amira makan ketika sahabat karibnya tersebut sedang mogok makan.
"Kamu memang selalu bisa meluluhkan hatiku," ucap Rendra dengan tersenyum, lalu memasukan buah ke dalam mulut Amira.
Amira tidak pernah curiga sedikit pun jika Rendra memiliki perasaan cinta terhadap dirinya, apalagi mereka tumbuh bersama dan sudah mengetahui kekurangan serta kelebihan masing-masing.
"Sekarang kamu juga harus makan buahnya," ucap Amira dengan menyuapi Rendra juga.
Waktu rasanya berlalu begitu cepat ketika Amira bersama Rendra, apalagi Rendra selalu berusaha membuat Amira merasa nyaman dan tersenyum bahagia.
"Rendra, Amira, kenapa kalian masih belum tidur? Sekarang sudah jam dua pagi. Cepat tidur !!" teriak Pak Adnan dari jendela kamarnya.
"Lho, perasaan barusan baru jam sembilan deh," gumam Rendra ketika melihat jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangannya.
"Iya ya. Saking asyiknya ngobrol sama kamu, aku juga sampai lupa waktu. Yuk tidur, jangan sampai Ayah ngamuk," ucap Amira dengan melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah.
"Amira," ucap Rendra sehingga menghentikan langkah kaki Amira yang sudah berada di ambang pintu.
"Apa?" tanya Amira dengan tersenyum manis sehingga membuat jantung Rendra berdetak kencang.
Deg deg deg
Rendra beberapa kali mengembuskan napas secara kasar untuk menetralkan debaran dalam dadanya.
"Kamu harus selalu ingat kalau kamu tidak sendirian. Jika kamu butuh Teman untuk bercerita, aku akan menjadi pendengar yang baik untukmu. Jika kamu butuh bahu untuk bersandar, aku juga akan selalu meminjamkannya. Jadi, jangan pernah memendam semuanya sendirian lagi," ucap Rendra dengan tulus.
"Terimakasih banyak Rendra. Kamu memang saudara dan Teman terbaik ku," ucap Amira dengan tersenyum haru.
Amira, sebenarnya dari dulu aku berharap kita bisa lebih dari Teman atau saudara. Aku ingin menghabiskan waktu seumur hidupku untuk selalu berada di sampingmu serta membahagiakanmu. Meski pun sekarang aku sudah tidak bisa memilikimu, yang penting aku bisa selalu melihatmu bahagia. Biarlah cinta ini aku simpan di dalam hatiku, ucap Rendra dalam hati.
......................
Waktu rasanya berjalan begitu cepat. Tidak terasa Amira sudah tinggal di Bandung selama lima hari, begitu juga dengan Rendra yang terus menemani Amira sehingga membuat hari-hari Amira bahagia.
Lain hal nya dengan Amira, selama lima hari ini Dirga merasa tersiksa karena harus menahan rindu kepada Amira, bahkan Dirga yang baru tiba di Bandara, meminta Supir yang menjemputnya supaya langsung mengantarnya ke Bandung untuk menjemput Istri pertamanya tersebut.
"Mas, kita mau kemana dulu? Kenapa tidak langsung pulang ke rumah?" tanya Regina yang sudah merasa lelah setelah turun dari pesawat.
"Kita mau jemput Amira dulu ke Bandung," jawab Dirga dengan antusias sehingga membuat Regina cemberut.
Kenapa sih yang Mas Dirga pikirkan hanya si mandul itu? Padahal jelas-jelas hari ini masih jatah ku, gerutu Regina dalam hati yang semakin membenci Amira.
"Regina, kamu tidak keberatan kan?" tanya Dirga.
"Tidak kok Mas. Aku ikut Mas Dirga saja," jawab Regina dengan pura-pura tersenyum supaya Dirga tidak curiga jika sebenarnya Regina membenci Amira.
Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam. Dirga dan Regina akhirnya sampai di halaman rumah Pak Adnan.
Dirga tersenyum bahagia ketika melihat Amira yang tengah duduk di atas ayunan, bahkan Dirga langsung berlari meninggalkan Regina untuk menghampiri Amira.
Langkah kaki Dirga terhenti ketika melihat seorang lelaki tampan yang tengah duduk di samping Amira.
Hati Dirga berdenyut sakit melihat Amira yang tersenyum bahagia ketika berbicara dengan Rendra, apalagi sebelumnya Dirga dan Rendra belum pernah bertemu sehingga membuat Dirga berpikir yang tidak-tidak tentang Istri pertamanya tersebut.
"Mas Dirga," ucap Amira dengan mata berbinar ketika melihat kedatangan Suaminya.
"Sepertinya aku sudah datang di waktu yang tidak tepat," ucap Dirga dengan tersenyum sinis.
"Apa maksud Mas Dirga?" tanya Amira yang merasa heran.
"Seharusnya aku yang bertanya. Siapa lelaki yang berada di sampingmu sehingga membuat kamu tertawa bahagia, padahal sebelumnya kamu tidak pernah tertawa lepas seperti itu," ucap Dirga yang terlihat emosi.
*
*
Bersambung