"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi
Keesokan paginya, selepas sarapan bersama, suasana rumah bu Sri sedikit ramai. Leyla, Jonathan, bu Mita, Murni, serta kedua adik Murni bersiap-siap pergi ke toko perlengkapan rumah. Leyla mengajak mereka membeli beberapa furnitur dasar untuk mengisi rumah baru yang masih dalam tahap pembangunan itu.
Awalnya, Aryo dan Mita menolak. Mereka merasa rumah baru saja sudah merupakan anugerah besar yang tak pernah mereka sangka, dan kini, apa mereka masih bisa menerima hadiah besar tersebut? Rasanya terlalu banyak kebaikan yang sudah mereka terima.
Namun Leyla terus membujuk dengan gaya lembut tapi tegasnya.
“Kalian berdua jangan mikir aneh-aneh. Ini bentuk rasa syukur kami juga. Kalau rumahnya kosong kan, nanti malah ribet.” Kata Leyla sambil tertawa kecil.
Akhirnya, karena tak ingin menyinggung perasaan Leyla, Aryo dan Mita pun menerima dengan penuh rasa terima kasih yang berkali-kali diucapkan.
Saat rombongan mereka berangkat, rumah bu Sri dalam sekejap berubah menjadi lebih tenang. Di sana hanya tersisa Kaan dan pak Aryo saja, sembari duduk berdua di teras rumah.
Kaan tampak duduk dengan santai, mengenakan kaos abu-abu dan celana bahan santai. Sementara pak Aryo tampak tenang menyesap kopinya perlahan. Udara pagi terasa segar, membawa aroma tanah basah dari semalam yang sempat hujan rintik-rintik.
Mereka duduk dalam diam sejenak, menikmati suasana.
“Nak Kaan,” Pak Aryo membuka suara pelan, “saya… benar-benar berterima kasih. Saya tahu dari awal kamu sama keluarga mu ndak perlu sampai segininya bantu kami.”
Kaan menoleh, dan tersenyum tipis. “Tidak perlu dipikirkan, pak. Ini juga sudah menjadi tanggung jawab saya.”
Pak Aryo mengangguk, menatap Kaan dengan pandangan penuh rasa hormat dan terima kasih. Hatinya sedikit lega, merasa menantu yang dipilihkan untuk Murni adalah pria yang benar-benar memiliki hati besar. Meskipun awalan mereka menikah dilalui dengan proses yang tiba-tiba karena sebuah insiden, tapi ternyata Kaan adalah sosok yang sangat bertanggung jawab.
Di tengah keheningan yang kembali melanda mereka berdua, Kaan akhirnya memecah suasana tersebut.
"Pak Aryo." Panggilnya dengan suara pelan.
Pak Aryo yang baru saja meletakkan cangkir kopinya, melirik ke arah Kaan.
Kaan mengusap tengkuk lehernya sebentar, dengan ekspresi tampak ragu.
"Saya tidak tahu harus mulai dari mana, pak," katanya, suaranya sedikit berat. "Tapi... saya ingin memberitahu, jika kemungkinan, minggu depan, saya akan kembali ke kota. Dan saya ingin... minta izin bapak untuk membawa Murni ikut bersama saya."
Pak Aryo tertegun mendengar itu. Ada getaran kecil di hatinya, rasa tak rela yang wajar sebagai seorang ayah, baru sekarang benar-benar terasa nyata. Di mana putrinya akan pergi meninggalkannya, dan ikut suaminya ke tempat yang jauh dari rumah yang selama ini menaunginya.
Aryo menghela napas panjang, menatap langit sejenak sebelum akhirnya menoleh pada Kaan dan mengangguk pelan.
"Nak Kaan," katanya dengan suara yang berusaha tetap tenang, "Bapak izinkan. Mau gimana lagi, kan Murni sekarang udah jadi istri mu. Suami istri itu memang harus satu rumah, satu arah."
Ia tersenyum kecil, walau senyumnya terasa berat.
"Tapi, saya mau ngasih tahu sedikit soal Murni." Aryo melanjutkan, nadanya lebih hangat.
"Anak itu kadang keras kepala. Kalau dia udah bilang A, meskipun kita bilang B, dia mungkin kelihatan nurut di ucapan... tapi di hatinya, dia tetap pegang teguh pilihannya. Apalagi kalau dia yakin pilihannya itu benar, bakal susah buat ngubah pikirannya."
Kaan mendengarkan dengan saksama, memperhatikan tiap kata yang diucapkan mertuanya.
Aryo terkekeh kecil. "Murni itu kampungan, nak. Ndak ngerti gaya kota. Saya harap kamu bisa bersabar dan bantu dia menyesuaikan diri di sana."
Kaan tersenyum kecil, lalu mengangguk.
Pak Aryo kemudian melanjutkan sambil tertawa lebih lepas, "Satu lagi... dia itu suka makan, nak. Kalau pas pengen nyemil, ada aja akalnya. Kadang cuma ada tepung dikit, gula merah sepotong, kelapa parut, eh... tau-tau udah jadi kue enak. Kalau di rumah bahan seadanya, tetap aja dia bisa muter otak buat bikin camilan. Itu kebiasaan dia dari kecil."
Mendengar itu, Kaan ikut tersenyum kecil. Ada rasa hangat mengalir di hatinya, mendengar cerita sederhana tapi penuh kasih tentang Murni.
Pak Aryo mengusap lututnya sambil menatap jauh. "Saya titip Murni ya, nak. Dia itu anak baik, cuma butuh orang yang sabar buat ngerti dia."
Kaan menundukkan kepala sedikit, dalam gerakan penuh hormat. "InsyaAllah, Pak. Saya akan jaga dia sebaik mungkin."
.
.
.
Dua minggu pun berlalu tanpa terasa.
Pembangunan rumah pak Aryo berjalan lancar, bahkan lebih cepat dari yang semua orang perkirakan. Rumah itu kini sudah berdiri kokoh, meski baru sebatas ruang tamu dan satu kamar yang selesai sepenuhnya. Dengan bantuan tangan-tangan sukarela dari tetangga sekitar, rumah itu berhasil berdiri tegak, membawa harapan baru bagi keluarga kecil tersebut.
Dalam dua minggu itu pula, hubungan antara Murni dan Kaan perlahan terlihat mulai dekat. Keduanya mulai terbiasa dengan keberadaan satu sama lain, meski sesekali masih terasa canggung.
Namun, kedekatan itu tentu saja tidak selalu berjalan mulus. Cherry yang tampak terang-terangan menyukai Kaan, kerap datang membawa berbagai macam buah tangan, berusaha mencari perhatian pria itu. Ia seolah tak pernah kehabisan alasan untuk mendekat, entah itu sekadar mengantar makanan, menawarkan bantuan, atau hanya mencari-cari obrolan.
Meski begitu, Kaan tetap menjaga jarak dengan tegas. Ia sadar betul akan statusnya, dan tidak ingin memberikan harapan kosong kepada siapa pun, terlebih mengkhianati kepercayaan Murni dan keluarganya.
Selain Cherry, bu Lastri juga sering berkunjung. Ia berdalih ingin menemani bu Mita agar lebih kuat menghadapi cobaan. Namun di sela-sela obrolannya, tak jarang ia menyelipkan sanjungan-sanjungan tentang putrinya kepada Leyla, berharap membuka jalan bagi Cherry.
Leyla yang bijaksana hanya menanggapinya dengan senyuman tipis, sepenuhnya paham dengan maksud tersembunyi di balik kata-kata manis itu.
Tepat ketika rumah pak Aryo sudah cukup layak untuk dihuni, keluarga itu pun memutuskan untuk segera kembali ke rumah sendiri. Meski bu Sri tetap bersikap ramah dan terus menawarkan mereka untuk tinggal lebih lama, namun rasa tak enak hati itu pasti tetap ada. Bagaimanapun, rumah sendiri, seberapapun sederhananya, tetap lebih nyaman ketimbang terus menumpang di rumah orang lain.
Setelah kembali, mereka sempat mengadakan acara kecil-kecilan, mengundang tetangga sekitar untuk berdoa bersama, mengucap syukur atas berdirinya rumah baru mereka. Suasana sederhana namun hangat itu, menjadi penanda dimulainya lembaran baru.
Kini, setelah rumah sudah bisa ditempati dan semua urusan pembangunan yang tak lama lagi selesai, tinggal satu hal lain lagi yang harus dipersiapkan, yakni ketegaran hati pak Aryo dan bu Mita untuk melepaskan Murni ikut bersama Kaan kembali ke kota. Sebuah keputusan yang berat, namun harus dihadapi sebagai bagian dari perjalanan baru kehidupan mereka.
.
.
Pagi itu, suasana di depan rumah tampak haru. Murni berdiri di hadapan kedua orang tuanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan ibunya erat-erat, lalu membungkuk, dan mencium punggung tangan Mita dengan penuh rasa hormat.
"Mak, doain Murni sampai tujuan." Ucapnya lirih.
Mita tersenyum getir. Ia membelai pipi putrinya dengan sayang, lalu tanpa ragu menarik Murni ke dalam pelukan yang erat, seolah tak ingin melepaskan.
"Jangan lupa makan yang cukup, tidur yang cukup. Jaga suamimu baik-baik, sama jaga dirimu baik-baik juga, nak." Bisiknya dengan suara bergetar.
"Iya, mak..." Balas Murni, suaranya ikut bergetar menahan tangis, namun ia tetap tersenyum.
Pelupuk matanya memanas ketika rasa berat untuk meninggalkan keluarganya menyesak di dadanya. Lalu Murni beralih ke pak Aryo, ia menyalami dan mencium punggung tangan ayahnya. Pak Aryo diam saja, ekspresinya datar, namun ada sorot tak rela di matanya yang tak mampu ia sembunyikan. Meski hatinya memberontak, ia tahu, ini saatnya merelakan putri satu-satunya.
Adam dan Adit, yang sejak tadi menahan tangis, akhirnya maju juga. Mereka bergantian memeluk kakaknya.
"Kak, jangan lupa telpon ya..." Ujar Adam, mengacungkan ponsel pintar baru yang Kaan belikan untuk mereka.
"Iya, iya..." sahut Murni sambil mengusap lembut kepala Adam, lalu Adit, berusaha menyembunyikan rasa sedihnya di balik senyuman.
Setelah itu, Murni mengangkat tas kecilnya yang hanya berisi beberapa keperluan pribadi. Tak banyak yang bisa ia bawa, sebab hampir seluruh barang miliknya telah hangus dilalap api.
Leyla sudah berjanji, nanti di kota ia akan membelikan pakaian dan perlengkapan baru untuk Murni.
Kaan, bersama kedua orang tuanya, sudah menyiapkan tas kecil mereka juga. Mereka tidak membawa banyak barang, hanya yang penting-penting saja.
Dengan perlahan, Kaan membantu Murni naik ke atas bak belakang motor tossa, kendaraan khas kampung itu yang akan mengantar mereka ke jalan besar. Sebab mobil Kaan tidak bisa masuk sampai ke dalam kampung yang jalan tengahnya sempit dan berliku. Dan kendaraan tossa itupun hanya bisa mengantar mereka sampai setengah jalan, sebelum akhirnya mereka akan naik ojek motor lagi.
Murni melambaikan tangan ke arah keluarganya yang terus memandangi kepergiannya. Air mata yang tadi ditahan akhirnya jatuh membasahi pipinya.
Pak Aryo, Mita, Adam, dan Adit membalas lambaian itu dengan berat hati, melihat sosok Murni perlahan menjauh bersama keluarga barunya.
Sepanjang jalan, banyak mata yang memperhatikan mereka. Ada yang melambaikan tangan, dan ada yang hanya menatap dalam diam.
Beberapa orang sempat menyapa Murni, mengucapkan selamat jalan dengan suara riuh kecil yang mengiringi langkahnya meninggalkan kampung.
Namun, suasana berbeda terasa saat mereka melewati rumah Cherry. Cherry berdiri di depan teras, menatap kepergian Kaan dengan mata merah menahan marah.
Dengan kesal, ia menghentakkan kakinya ke lantai kayu rumahnya, membuat bunyi keras menggema.
"Dasar perempuan kampungan! Cuma numpang untung aja!" Gumamnya penuh amarah, disusul suara gertakan giginya dengan kasar.
Cherry merasa semua peluangnya untuk mendekati Kaan telah benar-benar hilang.
Kemarahan dan rasa sakit hati menggerogoti hatinya, sementara bayangan Kaan yang semakin jauh hanya membuat amarah itu semakin membara.
Saat tossa berguncang di atas jalanan tanah berbatu, Murni sesekali melambaikan tangan membalas sapaan warga yang mereka lewati. Kaan yang duduk di sebelahnya, juga membalas dengan anggukan sopan, menjaga senyum tipis di wajahnya.
Suasana terasa riuh namun hangat. Tanpa ada yang menyadari bahwa di tengah keramaian itu, di saku celana Kaan, ponselnya bergetar pelan pertanda sebuah notifikasi baru masuk.
Layarnya menyala sebentar, menampilkan sebuah pesan singkat. Sekilas saja, tanpa suara, pesan dalam bahasa inggris itu terbaca:
'Mereka mengetahui lokasimu.'
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣