Desa Semilir dan sekitarnya yang awalnya tenang kini berubah mencekam setelah satu persatu warganya meninggal secara misterius, yakni mereka kehabisan darah, tubuh mengering dan keriput. Tidak cukup sampai di situ, sejak kematian korban pertama, desa tersebut terus-menerus mengalami teror yang menakutkan.
Sekalipun perangkat desa setempat dan para warga telah berusaha semampu mereka untuk menghentikan peristiwa mencekam itu, korban jiwa masih saja berjatuhan dan teror terus berlanjut.
Apakah yang sebenarnya terjadi? Siapakah pelaku pembunuhannya? Apakah motifnya? Dan bagaimanakah cara menghentikan semua peristiwa menakutkan itu? Ikuti kisahnya di sini...
Ingat! Ini hanyalah karangan fiksi belaka, mohon bijak dalam berkomentar 🙏
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zia Ni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Itikad Baik
"Ya Allah Lee Le, bisa-bisanya kalian ingin melecehkan gadis yang sudah yatim dari kecil itu," Pak Nurdin merasa sangat bersalah.
"Kalau Bapak-Bapak merasa bersalah, segeralah minta maaf pada gadis itu dan Emaknya. Apalagi sewaktu aku ke rumahnya tadi, aku merasakan ada aura yang kuat di sekitar rumah itu. Karena penerawanganku tidak bisa menembus, kemungkinan besar makhluk jejadian itu ada di rumah itu," ujar Mbah Laksono yang membuat kedua bapak itu ciut nyalinya.
"Mbah yakin makhluk jejadian itu ada di rumahnya Ratri? Jangan-jangan waktu kita mau minta maaf ke rumahnya kita malah dihabisi, Mbah," Pak Nurdin jadi ragu-ragu.
"Firasatku merasa yakin jika makhluk jejadian itu ada di rumah Ratri. Kalau niat kalian baik, aku yakin makhluk itu tidak akan mencelakai kalian karena anak kalian sudah mendapat ganjarannya," kata laki-laki tua tersebut mantap.
"Baiklah Mbah, kami janji akan minta maaf secara langsung," sela Pak Ratno gamang.
"Selain Ratri, kalian juga perlu minta maaf pada korban lain yang sudah anak kalian lecehkan. Menurut penerawanganku, Heru sudah melecehkan beberapa anak perempuan tapi mereka tidak berani buka suara karena takut nama mereka tercemar," tegas Mbah Laksono yang membuat Pak Ratno semakin tambah rasa malu dan bersalahnya.
"Urusan selanjutnya aku serahkan pada kalian. Jangan lupa sampaikan pesanku pada perangkat desa agar mengingatkan warganya untuk berhati-hati dan menjaga tingkah laku mereka karena makhluk jejadian itu sudah sampai di desa ini," sebelum pamitan laki-laki tua itu memberikan peringatan.
"Inggih Mbah, nanti pesan Mbah akan saya sampaikan ke Pak RT," timpal Pak Nurdin.
2 hari kemudian...
Untuk menghindari rasa penasaran warga, kedua orang tua Heru dan Andro mendatangi rumah Mak Saodah pada malam hari seusai acara yasinan di rumah mereka seraya membawa buah tangan.
Tok tok tok.
Pak Ratno mengetuk pintu rumah Mak Saodah dengan perasaan campur aduk begitu juga dengan yang lainnya. Sesudah membuka pintu rumah, Mak Saodah dibuat kaget karena tamunya ternyata kedua orang tua Heru dan Andro.
"Maaf Mak Saodah kalau kedatangan kami mengganggu istirahat panjenengan dan Ratri. Kami datang kesini untuk minta maaf," suara Pak Ratno dibuat selunak mungkin.
"Silahkan masuk," kata si empunya rumah.
"Sebelumnya kami benar-benar minta maaf karena kami baru tahu dari Mbah Laksono kalau kedua anak kami hendak melecehkan Ratri. Kami benar-benar tidak menyangka sama sekali," kali ini yang angkat bicara adalah Pak Nurdin.
"Kami sebagai orang tua merasa sangat bersalah dan malu dengan kelakuan anak kami, Mak Saodah. Kami merasa gagal dalam mendidik anak sampai kami tidak tahu kalau anak kami ternyata punya sifat tercela," sela Bu Ratno canggung.
Suasana di rumah tersebut menjadi hening karena Mak Saodah tidak sanggup berkomentar mengingat yang mengalami kejadian buruk itu adalah anaknya.
"Ratrinya sudah tidur, Mak? Kami mau minta maaf secara langsung," kata Bu Nurdin.
"Tunggu sebentar nggih," Mak Saodah beranjak dari kursinya lalu melangkah menuju ke kamar Ratri yang ternyata anaknya sedang menangis. Setelah mengusap air matanya dan minum air putih untuk menenangkan suasana hatinya, gadis itu mengikuti emaknya ke ruang tamu.
"Nduk, Ratri, kami benar-benar minta maaf ya karena Heru dan Andro tega ingin melecehkan kamu," suara Bu Ratno terdengar berat karena merasa malu dan sangat bersalah.
"Ibuk benar-benar tidak menyangka sama sekali kalau Heru dan Andro berani berbuat seperti itu padamu," sambung Bu Nurdin tidak enak hati.
Suasana rumah itu hening kembali karena lidah Ratri terasa kelu, dia hanya duduk dengan kepala tertunduk yang membuat perasaan tamunya jadi campur aduk.
"Kamu mau memaafkan kami kan, Nduk?" ujar Bu Ratno penuh harap.
"Kalau kamu memang belum siap untuk memaafkan kami, tidak apa-apa Ratri, kamu pasti butuh waktu. Tapi kedatangan kami kemari murni ingin minta maaf dengan tulus. Dengan meninggalnya Heru dan Andro, itu sudah menjadi tamparan tersendiri untuk kami," sela Pak Ratno.
Karena jam sudah menunjukkan hampir pukul 10 malam, kedua orang tua Heru dan Andro pun berpamitan dengan masih belum mendapatkan maaf dari Ratri karena hati gadis itu memang berat untuk memaafkan mengingat perlakuan beringas Heru dan Andro saat hendak melecehkannya.
Keesokan dini harinya...
Merasa Ratri sudah dalam keadaan aman, kelelawar jelmaan Satrio pun melanjutkan terbangnya lagi menuju ke Desa Glagah yang saat ini mirip seperti desa mati karena tidak berpenghuni dan tetap diselimuti oleh kabut tebal.
Setelah mengelilingi desa itu, binatang tersebut terbang menuju ke pasar langganan Drajat lalu merubah wujudnya menjadi manusia kembali di tempat yang sepi sebelum masuk ke area pasar.
Sesudah selama puluhan tahun tidak berada di keramaian pasar dalam wujud manusia, hari ini Satrio benar-benar menikmati waktunya di tempat tersebut. Setelah menjual sebutir batu emasnya, laki-laki tua itu mengelilingi pasar untuk membeli bahan makan yang lumayan banyak karena dia berniat akan tinggal beberapa hari di rumah Drajat.
Dengan naik ojek, Satrio menuju ke rumah Drajat. Setibanya di rumah temannya, dia meletakkan belanjaannya di lincak bambu yang ada di depan rumah. Setelah menerawang sebentar, laki-laki tua itu tahu jika Drajat sedang berada di kebun.
"Jat!" Satrio memanggil nama Drajat yang saat itu sedang mencangkul tanah kebunnya yang akan ditanami kacang tanah. Karena rambut Satrio berubah 180°, Drajat jadi sempat pangling.
"Penampilanmu kok malah seperti Pak Ogah, Sat. Kemarin panjang seperti mbak kunti sekarang malah plontos," ledek Drajat.
"Itung-itung ganti suasana, Jat. Kamu bilang penampilanku bisa membuat orang takut," sahut Satrio santai.
"Aku kira kamu cukur plontos seperti itu karena rambutmu banyak kutunya," untuk kedua kalinya Drajat menggoda temannya.
"Ada benarnya juga sih, maklum 1 tahun tidak keramas," Satrio mengimbangi ledekan temannya.
"Masak yuk Jat, perutku lapar egh, sebelum kesini tadi aku sudah belanja di pasar kok. Rasanya aku kok pingin banget makan mie instan," lanjut Satrio.
"Ayok lah, kebetulan kayu bakarku masih banyak."
Tak lama kemudian, dua laki-laki tua itu pun melangkah menuju ke depan rumah.
"Belanjaanmu kok lumayan banyak, Sat?" tanya Drajat keheranan sambil membuka 3 kantong kresek hitam yang berisi barang belanjaan temannya.
"Aku mau nginep di rumahmu selama beberapa hari, Jat. Boleh kan?" sahut Satrio.
"Tentu saja bolehlah, aku malah seneng kok," ucap Drajat jujur.
"Kemarin kamu kok tidak pamitan langsung ke aku pas mau pulang?" lanjut si empunya rumah.
"Ya maaf Jat, pas aku tidur, tiba-tiba aku ingat kalau siangnya aku ada urusan penting yang harus kukerjakan," untuk kesekian kalinya Satrio membohongi temannya.