Irene Larasati seorang polisi wanita yang ditugaskan menyamar sebagai karyawan di perusahaan ekspor impor guna mengumpulkan informasi dan bukti sindikat penyeludupan barang-barang mewah seperti emas, berlian dan barang lainnya yang bernilai miliaran. Namun, bukannya menangkap sindikat tersebut, ia malah jatuh cinta kepada pria bernama Alex William, mafia yang biasa menyeludupkan barang-barang mewah dari luar negri dan menyebabkan kerugian negara. Alex memiliki perusahaan ekspor impor bernama PT Mandiri Global Trade (MGT) yang ia gunakan sebagai kedok guna menutupi bisnis ilegalnya juga mengelabui petugas kepolisian.
Antara tugas dan perasaan, Irene terjerat cinta sang Mafia yang mematikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Alex memandang hasil tes DNA yang masih ia genggam. Gambar janin yang masih berupa gumpalan kecil terlihat jelas begitu pun dengan tanggal berikut nama sang pemilik dari hasil USG tersebut.
"Ya Tuhan," gumam Alex, tubuhnya melemas. Terduduk dengan perasaan berkecamuk. "Jadi, Irene hamil? Dia pasti mengandung darah daging saya."
Alex memejamkan mata, rasa sesak seketika menghujam relung hatinya yang paling dalam terasa menyesakkan dada. Matanya pun mulai memerah, ia begitu mendambakan buah hati, terlebih yang lahir dari rahim wanita yang ia cintai. Namun, ada hal yang sangat ia sesalkan, mengapa Irene tidak mengatakan kehamilannya dan pergi begitu saja setelah hampir memporak-porandakan bisnis yang ia jalankan, bahkan hampir menjebloskannya ke dalam penjara.
"Kenapa kamu gak bilang kalau kamu hamil, Ren? Kenapa?" gumam Alex, dengan dada naik turun menahan sesak. "Seharusnya kamu bilang, seharusnya kamu gak pergi gitu aja. Saya pasti akan nikahi kamu, saya pasti akan tanggung jawab," gumam Alex William, buliran bening seketika luruh dari kedua matanya.
Ia tidak pernah menitikkan air mata. Sekeras apapun masalah yang menerjang hidupnya, sebesar apapun badai yang menerpa kehidupan sang mafia, Alex William tidak pernah sekalipun menumpahkan air mata. Namun, buliran bening itu benar-benar mengalir, membasahi kedua sisi wajahnya setelah mengetahui bahwa wanita yang ia cintai tengah mengandung darah dagingnya. Sialnya, ia tidak tahu di mana Irene berada saat ini.
"Maafin saya, Irene. Saya tak peka. Seharusnya sejak malam itu, saya tau kejadian seperti ini akan terjadi. Saya bahkan sempat berpikir buat ngehabisi nyawa kamu. Sekali lagi maafin saya, Irene," gumamnya seraya terisak.
Tanpa ia sadari, David masih berada di tempat yang sama. Pria itu tidak benar-benar pergi, ia berdiri di ujung tangga, memandang sang mafia dengan perasaan murka. Ternyata, Alex tidak sekuat yang ia kira. Pria itu benar-benar sudah dibutakan oleh cinta bahkan menanamkan benih di rahim wanita bernama Irene Larasati yang jelas-jelas musuh dalam selimut.
David mengepalkan kedua tangan dengan rahang mengeras kesal. "Jadi, dugaan saya benar? Wanita sialan itu hamil. Pantas aja dia megangin perutnya terus. Sial, semoga aja si Irene benar-benar mati dipatok ular!" batinnya, sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan ruangan tersebut.
***
Delapan tahun kemudian.
"Willy, Wilona, bangun, Sayang. Udah pagi, kalian harus sekolah," pinta Irene dengan lemah lembut, membangunkan kedua putra-putrinya yang masih terlelap.
Tubuh Willy menggeliat, matanya berkedip pelan dan lemah lalu membuka mulutnya lebar-lebar. "Huaaa, Ibu. Gak bolehkah aku bolos sekolah hari ini? Aku masih ngantuk banget," ucapnya perlahan membuka kedua mata dengan sangat terpaksa.
"Gak bisa, William. Bentar lagi ujian semester, kamu gak boleh bolos. Kalau kamu gak naik kelas, gimana?" tolak Irene, dengan tegas.
Sementara tubuh Wilona, kembaran William itu refleks bangkit meski masih dengan mata terpejam. Anak berusia tujuh tahun itu mengusap kedua matanya sebelum akhirnya membukanya dengan terkantuk-kantuk.
"Sekarang jam berapa, Ibu?" tanyanya, seraya membuka mulutnya lebar-lebar.
"Jam enam pagi, Wilona. Bangun dan mandi. Ibu bisa terlambat kerja kalau kalian kayak gini," pinta Iren, mengalihkan pandangan matanya kepada sang putri.
Wilona menganggukkan kepala, perlahan turun dari ranjang lalu melangkah menuju kamar mandi seraya membuka mulutnya lebar dan menahan rasa kantuk. Sementara Willi, kembali menutup mata, meringkuk dibalik selimut dengan perasaan malas membuat Irene merasa kesal.
"Astaga, William. Kenapa malah tidur lagi? Bangun, nggak!" pinta Irene penuh penekanan. "Ibu harus kerja, Willi. Ibu bisa terlambat kalau kamu kayak gini."
"Aku masih ngantuk, Bu," rengek William, kembali membuka matanya dengan sangat terpaksa.
"Oke, kalau kamu gak mau sekolah, Ibu bakalan sita hp kamu biar kamu gak bisa maen game lagi!"
William mendengus kesal, bangkit dari tidurnya dengan bibir dikerucutkan sedemikan rupa. Anak itu mengusap matanya secara perlahan lalu memandang wajah sang ibu dengan kesal.
"Ya udah iya, aku mau sekolah, tapi hpku jangan disita," rengeknya dengan manja.
"Iya, Ibu janji gak akan nyita hp kamu. Sekarang bangun dan mandi, Ibu mau siapin sarapan buat kalian."
William menganggukkan kepala, turun dari ranjang lalu melangkah menuju kamar mandi dengan perasaan sangat malas. Sedangkan Irene, memandang tubuh sang putra dengan helaan napas panjang. Meskipun William dan Wilona kembar, tapi keduanya memiliki sifat yang sangat berbeda.
Wilona, berjenis kelamin perempuan dan lahir lebih dulu, memiliki sifat yang lebih dewasa seolah mengerti dengan keadaan ibunya yang merupakan seorang single. Sementara William, anak laki-lakinya itu terlalu manja, agak pemalas, nilai sekolahnya pun berada di bawah sang kakak.
"Semoga kalian jadi anak-anak sukses, Ibu akan berjuang untuk memenuhi kebutuhan kalian," batin Irene, tersenyum bahagia.
Meskipun kehamilan mereka sempat ia sesalkan, tapi kelahiran si kembar menjadi anugrah yang tidak terhingga. Ia bahkan masih melajang sampai sekarang, mengurus dan bekerja keras guna menghidupi kedua buah hatinya.
***
Siang hari pukul 11.00, William dan Wilona berjalan di trotoar usai bersekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kediaman mereka. Keduanya nampak berpegangan tangan, di tengah teriknya sinar matahari yang berada di atas kepala. Willi tiba-tiba menghentikan langkahnya, mulai kelelahan.
"Kenapa, Will? Bentar lagi nyampe rumah," tanya Wilona, sontak melakukan hal yang sama, menoleh dan memandang wajah sang adik.
"Aku capek, Kak," rengek William, melepaskan genggaman tangan sang kakak berjongkok dengan wajah muram.
"Tanggung, Will. Bentar lagi nyampe rumah lho. Istirahatnya di rumah aja, ya."
"Kenapa sih kita gak punya Ayah kayak anak-anak lain? Kalau kita punya Ayah, Ibu gak perlu kerja, kita gak akan ditinggal terus kayak gini."
Wilona menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan, menarik telapak tangan sang adik dan memintanya berdiri. "Bangun, Willi. Kata Ibu, Ayah kita udah meninggal. Emangnya bisa ngehidupin lagi orang yang udah meninggal?"
William menepis telapak tangan Wilona dengan kesal seraya berdiri tegak. "Nggak, aku gak percaya. Mana mungkin Ayah kita udah meninggal. Kenapa gak ada satu pun poto ayah di rumah? Kenapa gak ada poto pernikahan Ayah dan Ibu di rumah kita, Kak?"
"Ya udah, kita tanyain nanti sama Ibu kalau Ibu pulang kerja. Sekarang kita pulang, Kakak laper tau!"
William terdiam, menunduk, menatap kedua kakinya yang dibalut sepatu sekolah berwarna hitam. Selama ini, ia begitu kesepian, mendambakan sosok sang ayah dan kerap dibuat iri melihat teman-teman sebayanya yang hidup dengan keluarga lengkap. Ia bahkan tidak tahu seperti apa rupa ayahnya. Lama terdiam, William akhirnya menoleh dan memandang wajah Wilona yang masih berdiri tepat di sampingnya.
"Gimana kalau kita cari Ayah kita, Kak? Percuma nanya sama Ibu, Ibu pasti bakalan marah."
"Cari ke mana, Will? Emangnya kamu tau seperti apa muka Ayah kita, hah?" Wilona menaikan nada suaranya, ini bukan kali pertama sang adik mengatakan hal yang mustahil. "Udah, sekarang kita pulang!"
"Nggak, aku gak mau pulang. Aku mau cari Ayahku!" teriak William, tiba-tiba berlari ke tengah jalan hendak menyebrang. Sialnya, sebuah mobil melaju dengan kencang dan menabrak anak berusia tujuh tahun itu.
Wilona berteriak histeris. "Haaa! William!"
Bersambung ....
mampus kau david,habis ni kau akan liat kemurkaan dan kemarahan bang alex 🤭😅😅