Gadis Peter Pan Milik Ceo Kaivan

Gadis Peter Pan Milik Ceo Kaivan

Part 1 - Menjualnya?

Di ruangan yang bernuasa gelap, hanya ada lampu redup. Dua lelaki tengah berdiskusi dengan masalah perusahaan.

"Bagaimana jika gadis itu pak Atmaja jual saja?" saran asistennya.

Atmaja yang sedang duduk di kursi kekuasannya, menatap asistennya.

"Ck kau bodoh? Saya tidak akan menjual Aruna."

"Pak, tapi ini jalan satu-satunya. Kita serahkan gadis itu kepada Ceo Group Atamadewa, saya dengar-dengar Ceonya sedang mencari wanita untuk di nikahi." Rio, nama asisten Atmaja. Asisten yang sudah mengabdi hidupnya untuk Atmaja yang sudah tua.

Atmaja menghela napas panjang. Dia tidak sepeduli itu dengan cucu musuh bebuyutan yang sudah dia besarkan dengan mengurungnya di mansion. Hanya, cucu musuhnya, Biantara. Memiliki sebuah kelainan.

"Kamu pikir dengan menjual Aruna ke Ceo tersebut dengan keadaannya seperti ini, mereka akan menerima? Tidak, mereka mencari wanita pada umumnya, Aruna tidak seperti mereka, mana mungkin dia bisa kita jual."

Rio diam sesaat, tapi soal ini dia sudah menyiapkan jawabannya, sebab dia tau Atmaja pasti akan mempermasalahkan kekurangan Aruna.

"Pak, mereka mencari wanita juga tak jauh sebagai pemuas nafs*. Aruna, dia hanya mengalami Sindrom Peter Pan, tapi dari fisik dia sempurna seperti gadis-gadis lainnya."

Atmaja terdiam mendengar ucapan Rio, dia mengetuk jari-jarinya di meja.

"Kita bicarakan ini besok lagi, kamu bisa pulang."

"Baik pak, anda bisa memikirkannya. Ini hanya jalan satu-satunya bagi kita mendapatkan dana besar untuk perusahaan dengan menjual Aruna." Setelah mengatakan hal itu, Rio menunduk sebentar lalu keluar dari ruangan Atmaja.

 

"Nona Aruna, tolong duduk dengan tenang," ucap seseorang yang dianggap pengurus gadis yang mengalami Sindrom Peter Pan tersebut.

Aruna, dia sudah berusia dua puluh tahun, tetapi pemikiran dan tingkahnya masih seperti anak-anak enam tahun.

"Non, Nona Aruna duduk dengan tenang dulu ya, jangan lari-larian, habiskan dulu makannya." Pengurusnya sudah kelelahan mengejar gadis tersebut.

"Heumm gamau." Aruna terus berputar-putar mengelilingi sofa.

"Yaudah bibi enggak kasih Nona es-krim."

Mendengar es-krim, Aruna menghentikan aktivitasnya, dia mendekati pengurus Tika.

"Oke Una akan makan." Dia duduk di sofa, Tika pun menghela napas lega.

Tika menyuapi Aruna, sedangkan sang empuh memainkan rambutnya yang sudah dikepang dua.

"Bibi, setelah makan bibi akan memberi Una es-krim kan?" tanya Aruna dengan nada merengek.

"Iya Non, makanannya di habisin dulu ya."

Aruna mengangguk, semangat untuk menghabiskan makanannya.

Saat sedang asik berceletuk di ruang tengah sambil memakan-makanannya. Sebuah suara Bariton membuat Tika dan Aruna mengalihkan perhatiannya.

Aruna yang mengatahui pemilik suara itu, refleks mendekat ke arah Tika, mengenggam dengan erat pakaian Tika.

Suara itu, suara yang Aruna selama ini takutkan. Dengan badan bergetar, Aruna memejamkan matanya.

"Apa dia tidak melakukan sesuatu yang merusak apapun lagi?" tanya Atmaja.

"Tidak Tuan, Nona Aruna beberapa hari ini sudah menurut dan tidak memberontak lagi."

Atmaja mengangguk.

Dua minggu lalu, Aruna sempat memberontak, mengacak-acak isi mansion, merusak barang ada di sana. Hal itu membuat Atmaja murka dan memukulnya, sehingga Aruna takut kepadanya.

"Jangan pukul Una lagi, Una enggak bakal nakal," ucap gadis itu dengan nada takut.

"Saya tidak akan segan-segan memukul seseorang yang mengacak-acak barang-barang mahalku, saya akan membunuhnya." Atmaja berkata begitu dengan suara yang terlihat menakut-nakuti Aruna.

Hal itu membuat Aruna semakin takut, takut di bunuh oleh kakek-kakek tersebut. Aruna memanggilnya kakek.

"Bibi, Una mau ke kamar aja," rengek Aruna yang masih memejamkan matanya.

Tika menatap Tuannya, Atmaja mengangguk. Tika pun menuntun Aruna untuk berdiri dan berjalan ke arah kamar.

"Nona buka saja matanya, sudah tidak ada lagi Tuan."

Aruna membuka matanya, lalu berjalan cepat agar sampai ke kamarnya.

Dengan rasa takut, Aruna menaiki ranjangnya, menarik selimut serta boneka besar miliknya. Memeluknya dengan erat.

Keringat di dahinya, sudah menjadi bukti setakut apa dia. Tika jadi sedih melihat gadis yang dia rawat sedari umurnya empat tahun itu.

"Nona, Tuan tidak akan memukul Nona lagi jika Nona enggak nakal dan nurut."

Aruna membuka matanya, menatap Tika yang tengah mengusap dengan lembut kepalanya.

"Tapi dia seram, Bibi. Una takut sama kakek itu. Tangan Una dipukul pakai karet tebal, Una kesakitan, sakit banget bibi." Aruna merengek dengan mata yang sudah banjir oleh air mata.

Tika mengusap air mata tersebut, dia sudah menganggap Aruna seperti putrinya sendiri. Sangat menyayangkan kondisi Aruna, padahal jika saja gadis ini tumbuh seperti gadis pada umumnya. Aruna akan begitu sempurna. Wajah yang cantik, tubuh mungil, tidak kurus lalu tidak gemuk juga. Memiliki testur wajah yang baby face mampu membuat orang-orang melihatnya akan obses dengan Aruna.

Tapi, di mansion itu hanya ada dirinya, Aruna dan beberapa penjaga. Aruna bahkan tidak mengatahui seperti apa dunia luar, dua puluh tahun hanya menghabiskan waktu di dalam mansion, itulah membuatnya cederung sering mengamuk.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!