Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3
Menjelang magrib, Janu baru sampai di rumah karena harus mampir dulu ke kantor untuk mengurus beberapa hal. Hal pertama yang menyambutnya setelah keluar dari mobil adalah si bungsu Narendra yang berdiri di depan pintu utama sambil berkacak pinggang, bibirnya cemberut dan matanya memicing tajam.
Tingkah Naren yang seperti itu sudah biasa. Janu hanya perlu mendekat dan bertanya baik-baik apa kesalahan yang telah dia perbuat sampai si bungsu menjadi murka. Malas susah-susah menebak, karena meskipun dia adalah ayah kandung Naren, pola pikir anak itu tidak pernah begitu mudah untuk bisa dia pahami—seolah ia memang datang dari dunia lain.
“Kenapa berdiri di depan pintu sambil cemberut begitu?” tanyanya segera setelah tiba di depan Naren.
“Ayah dari mana aja? Kenapa baru pulang jam segini?” cecar anak itu balik dengan nada yang ketus.
“Habis dari kantor, ada kerjaan.” Janu menjawab dengan pembawaannya yang tenang.
“Tapi ini weekend, dan kita udah sepakat buat nggak urusin kerjaan pas weekend.” Naren protes. Nadanya melemah, tapi sorot matanya justru semakin menajam.
“Urgent, lagian kamu kan tadi siang juga pergi sama Eric."
“Naren cuma pergi sebentar sama Eric, cuma sampai jam 2 dan sebelum jam 3 udah ada di rumah. Bang Mahen juga pergi sama Bang Ben nggak pulang-pulang, nyebelin! Gara-gara kalian pergi, Naren jadi harus sholat ashar sendirian!”
Oalah... ternyata itu titik permasalahannya. Janu pikir apa.
Kendati kedengarannya sepele, Janu harus akui dia memang bersalah kali ini. Sejak tiga tahun terakhir, dia dan kedua putranya sudah sepakat untuk tidak menyibukkan diri pada saat weekend supaya mereka punya lebih banyak waktu untuk quality time. Kalaupun ada urusan mendadak, mereka sepakat untuk ada di rumah ketika jam-jam sholat supaya bisa berjamaah. Dan selama tiga tahun ini pula, Naren selalu jadi yang paling cerewet agar tidak ada yang melanggar kesepakatannya.
“Iya, maafin Ayah, ya. Nah, berhubung bentar lagi magrib, kita masuk yuk. Ayah mau bersih-bersih dulu sambil nungguin Bang Mahen pulang, biar bisa magrib berjamaah," bujuk Janu, masih dengan sikap lemah lembutnya yang... beuh, idaman sekali!
“Ayah masuk duluan aja, Naren mau nungguin Bang Mahen di sini.”
“Ya udah.” Janu pasrah, daripada ngambeknya si bungsu makin parah.
Tapi baru selangkah masuk, Janu berhenti lagi. Sebab satu mobil lain baru saja masuk ke pekarangan, lantas dalam waktu singkat telah terparkir rapi di car port. Mahen muncul dari dalam mobil itu, dengan tampang innocent berjalan menuju pintu utama tanpa tahu bahwa bungsu kesayangan mereka tengah merajuk.
Enggan kena semprot untuk yang kedua kali, Janu memilih untuk segera melarikan diri. Kabur meninggalkan Mahen yang langsung menjadi sasaran empuk kemarahan si bungsu.
“Sorry, Bang, adikmu kalau marah serem,” bisiknya entah kepada siapa, lalu lari terbirit-birit ketika suara ocehan Naren semakin keras terdengar.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Selepas isya, Janu dan kedua putranya menghabiskan malam Minggu di ruang keluarga. Anak-anak duduk gelesotan di lantai, asyik bermain game konsol yang suaranya menggelegar melalui speaker. Sementara Janu sendiri hanya mengawasi dari atas sofa, sesekali menegur ketika dirasa teriakan kedua putranya terlalu berisik.
Selagi menunggu anak-anaknya selesai main, Janu iseng membuka second account miliknya di Instagram. Postingan yang muncul pertama kali di beranda adalah milik Kayanara, karena memang hanya akun perempuan itu saja yang dia follow. Postingannya sudah dibuat tiga hari lalu dan Janu juga sudah sempat meninggalkan love di sana.
Kepada tiga ribu followers yang dimiliki, Kayanara sering membagikan momen kesehariannya. Tapi, tidak seperti orang kebanyakan yang gemar menunjukkan hal-hal fancy, perempuan itu malah lebih banyak mengunggah soal humanity.
Dalam beberapa unggahan, Janu menemukan perempuan itu sedang berada di panti asuhan, menjadi volunteer untuk membantu menghibur anak-anak yang kesepian. Dalam beberapa unggahan lain, Kayanara terlihat begitu menikmati momen ketika dirinya melakukan street feeding. Semua kegiatan yang dia bagikan adalah hal-hal positif, dan walaupun masih ada satu atau dua orang yang nyinyir mengatai dirinya sedang pencitraan, Janu tidak pernah menemukan Kayanara membalas.
“She’s wonderful. Selama hidup, gue baru pertama kali ketemu sama cewek yang setangguh dia.” Ucapan Daniel, salah satu koleganya, kembali terngiang di kepala sehingga membuat Janu stop menggulir layar ponsel.
Janu bertemu Daniel terakhir kali sebulan lalu di dalam sebuah acara peresmian gedung studio baru miliknya. Dan pada kesempatan kali itu, Daniel untuk pertama kalinya menunjukkan foto Kayanara kepada dirinya. Kepadanya, Daniel juga bercerita banyak. Soal latar belakang Kayanara dan bagaimana perempuan itu berjuang keras agar bisa bertahan hidup sendirian.
Kedua orang tuanya direnggut dalam sebuah bencana alam, jasadnya kembali dalam keadaan tidak utuh dan anehnya, Kayanara tidak menangis ataupun meratap. Semuanya dia terima dengan lapang dada. Seakan sudah mengerti bahwa protes pun tidak akan ada gunanya.
Sosok Kayanara yang diceritakan oleh Daniel telah berhasil merebut atensi Janu. Jadi ketika Michelle, sepupu Daniel yang juga merupakan sahabat dekat Kayanara, menawarkan diri untuk menjembatani pertemuannya dengan perempuan itu, Janu langsung setuju.
Sudah empat tahun sejak dia tidak lagi mencoba dekat dengan perempuan lain setelah menduda cukup lama. Selain karena Naren yang selalu tantrum dan membuat para perempuan yang sedang dekat dengannya mundur teratur, Janu juga mulai menyadari bahwa para perempuan itu memang hanya tertarik pada dirinya, tidak kepada anak-anaknya.
Sekarang, dia hanya bisa berharap semoga Kayanara berbeda.
Janu mengembuskan napas cukup keras, tanpa sadar telah menarik perhatian kedua putranya hingga salah satu di antara mereka bangkit dari duduknya. Ketika tiba-tiba satu kepala muncul menghalangi layar ponselnya, barulah Janu tergagap dan buru-buru memencet tombol power yang seketika membuat layar ponselnya padam.
“Nggak boleh ngintip, nggak sopan.” Peringatnya pada Naren, yang serta-merta membuat anak itu menatap penuh curiga.
“Siapa yang ngintip, orang Naren mau ambil tisu!” kilah anak itu, sambil menarik beberapa lembar tisu dari meja kaca di depan Janu. Dengan langkah yang mengentak-entak, bocah itu kemudian kembali ke depan layar televisi. Tisu hasil jarahan dia jatuhkan begitu saja di atas pangkuan Mahen, dan sang abang hanya bisa pasrah menerima perlakuan adiknya yang semena-mena. Daripada bocahnya tantrum lagi, pikirnya.
Sementara di atas sofa, Janu merasakan jantungnya berdegup begitu kencang. Sensasinya seperti dia baru saja ketahuan menonton film dewasa, oleh anaknya yang masih balita. Deg-degan parah!
Naren dan Mahen sudah kembali asyik bermain game, dan Janu memanfaatkan momen itu untuk kabur—lagi. Mengendap-endap ia menuju kamarnya, berusaha tidak berisik agak si bungsu tidak memekik heboh seperti sedang kesurupan reog.
Sukses! Dia berhasil masuk ke dalam kamar tanpa terdengar suara amukan.
Eits... itu menurutnya. Sebab tanpa ia tahu, Naren telah lebih dulu sadar akan tindakan mengendap-endap bak maling yang dia lakukan. Janu lupa kalau bungsunya itu berjiwa detektif, jadi dia pasti tidak akan menyangka ketika Naren berbisik pelan kepada Mahen sambil melirik tajam ke arah pintu kamarnya.
“Kayaknya Ayah udah mulai dekat sama cewek lagi, deh."
Bersambung....