Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemani dalam Luka
Sejak kecelakaan itu, Marsha memutuskan untuk mengambil cuti kuliah. Ia tidak ingin pikirannya terbagi. Saat ini, yang terpenting baginya adalah Sean.
Selama dua hari pertama, Sean masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Marsha selalu ada di sampingnya, memastikan setiap kebutuhan pria itu terpenuhi. Ia bahkan jarang tidur, khawatir jika sesuatu terjadi saat ia lengah.
Sean yang awalnya keberatan melihat Marsha begitu cemas akhirnya menyerah. Tatapan wanita itu penuh dengan ketulusan, dan untuk pertama kalinya, Sean merasakan bagaimana rasanya dijaga oleh seseorang yang benar-benar peduli.
Setelah dokter memastikan kondisi Sean stabil, perawatannya dilanjutkan di rumah. Sebuah kamar di rumah mereka diubah menjadi ruang perawatan sementara. Seorang dokter dan perawat berjaga, siap sedia kapan saja jika dibutuhkan. Namun, meskipun ada tim medis, Marsha tetap ingin melakukan sebagian besar perawatannya sendiri.
Hari-hari berlalu dengan lambat. Sean lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat tidur. Tubuhnya masih lemah, tetapi kondisinya berangsur membaik. Setiap pagi dan malam, Marsha dengan telaten mengganti perbannya, membantunya duduk, bahkan menyuapinya ketika pria itu terlalu lelah untuk makan sendiri.
"Aku bukan anak kecil, Marsha," keluh Sean suatu pagi ketika Marsha bersikeras membantunya makan.
Marsha hanya menatapnya tanpa ekspresi. "Kamu masih pasien. Jadi, diam dan makan."
Sean menghela napas pasrah, tetapi tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ada sesuatu dalam perhatian Marsha yang membuat dadanya terasa hangat. Perhatian yang tidak pernah ia dapatkan dari siapa pun sebelumnya.
Sore itu, hujan turun dengan deras. Rintik-rintiknya menghantam jendela kamar dengan ritme yang menenangkan. Marsha duduk di kursi dekat ranjang, membaca buku, tetapi pikirannya tetap melayang pada Sean. Pria itu sudah tertidur, napasnya teratur, tetapi wajahnya masih sedikit pucat.
Marsha menatapnya lama. Jari-jarinya tanpa sadar menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhnya. Kecelakaan itu... nyaris merenggut Sean darinya. Ia masih ingat perasaan hampa yang menyergap saat mendengar kabar itu.
Apa jadinya jika Sean tidak selamat? Apa jadinya jika ia kehilangan pria ini selamanya? Pikiran itu membuatnya merinding. Ia tidak ingin membayangkannya.
Hari ini, dokter akhirnya akan membuka perban di kepala Sean. Marsha duduk di sampingnya, jari-jarinya saling bertaut di pangkuannya. Ia berusaha tidak terlihat tegang, tetapi jauh di dalam hatinya, ada rasa takut.
Bagaimana jika luka itu meninggalkan bekas yang dalam? Bagaimana jika ada sesuatu yang salah? Dokter dengan hati-hati membuka perban yang melilit kepala Sean. Setiap lapisan yang terlepas membuat napas Marsha semakin tertahan.
Hingga akhirnya, perban terakhir dilepas. Luka di kepala Sean sudah mengering, hanya menyisakan garis kemerahan yang mungkin akan meninggalkan sedikit bekas.
Marsha menatapnya dengan mata berkilat. "Apa masih sakit?"
Sean menoleh dan menatapnya dengan lembut. "Nggak terlalu. Jangan khawatir."
Tetapi Marsha masih terlihat cemas. Tangannya terangkat, nyaris menyentuh luka itu, tetapi ia ragu.
Sean menangkap tangannya, menggenggamnya erat. "Aku baik-baik aja, Marsha."
Marsha menelan ludah. Ia tidak tahu mengapa, tetapi hatinya terasa begitu sesak. Ia masih ingat bagaimana ia hampir kehilangan pria ini. Bagaimana perasaannya saat menerima kabar kecelakaan itu.
"Aku benar-benar takut kehilangan kamu, Sean..."
Suara Marsha begitu pelan, nyaris seperti bisikan. Sean terdiam. Ia tidak menyangka Marsha akan mengatakannya dengan begitu jujur. Ia menatap mata wanita itu, melihat ketulusan dan ketakutan yang belum sepenuhnya hilang. Perlahan, ia menarik Marsha ke dalam pelukannya.
"Kamu nggak akan kehilangan aku," bisiknya. "Aku masih di sini."
Marsha menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan itu. Pelukan Sean terasa begitu nyata, begitu menenangkan. Seolah meyakinkan Marsha bahwa ia tidak perlu lagi takut.
"Aku nggak tahu sejak kapan, tapi... aku nggak bisa bayangin hidupku tanpa kamu," lirih Marsha, hampir tidak percaya dirinya mengucapkan hal itu.
Sean tersenyum kecil. "Kalau begitu, jangan pernah mencoba untuk menjauh lagi."
Marsha tidak menjawab, tetapi ia menggenggam lengan Sean lebih erat. Mungkin ia masih belum siap mengakui perasaannya, tetapi setidaknya... ia tahu bahwa Sean sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Di luar, hujan mulai mereda. Meninggalkan aroma tanah basah yang menyegarkan. Dan di dalam ruangan itu, dua hati yang terluka perlahan menemukan jalannya untuk kembali menyatu.
...***...