HALIM
Di dunia yang dikuasai oleh kegelapan, Raja Iblis dan sepuluh jenderalnya telah lama menjadi ancaman bagi umat manusia. Banyak pahlawan telah mencoba menantang mereka, tetapi tidak ada yang pernah kembali untuk menceritakan kisahnya.
Namun, Halim bukanlah pahlawan biasa. Ia adalah seorang jenius dengan pemikiran kritis yang tajam, kreativitas tanpa batas, dan… kebiasaan ceroboh yang sering kali membuatnya berada dalam masalah. Dengan tekad baja, ia memulai perjalanan berbahaya untuk menantang sang Raja Iblis dan kesepuluh jenderalnya, berbekal kecerdikan serta sistem sihir yang hanya sedikit orang yang bisa pahami.
Di sepanjang petualangannya, Halim akan bertemu dengan berbagai ras, menghadapi rintangan aneh yang menguji logikanya, dan terlibat dalam situasi absurd yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar sedang menjalankan misi penyelamatan dunia atau justru menjadi bagian dari kekacauan itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ILBERGA214, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25: Kejar-kejaran yang Tak Terduga
Langit biru cerah menyambut pagi di Desa Berkela, sebuah desa kecil yang terkenal dengan pasar tradisionalnya. Suara pedagang yang berseru menawarkan dagangan bercampur tawa anak-anak yang bermain di pinggir jalan. Aroma sate bakar dan roti panggang menggoda perut siapa saja yang melintas.
Di tengah keramaian itu, Halim dan Rian duduk santai di salah satu warung makan sederhana. Di bawah tenda kain yang sedikit usang, meja kayu reyot menjadi saksi perjuangan mereka dalam menghadapi seporsi besar nasi goreng telur dadar.
"Nah, makan yang banyak, Rian," ujar Halim sambil menyendok nasi gorengnya. "Siapa tahu habis ini kita ketemu monster, perut kenyang bisa bikin tenaga nambah."
Rian yang duduk di seberangnya hanya mengangguk sambil menyuap makanannya dengan lahap. Namun, pandangan bocah itu terus bergerak ke sana kemari, menikmati hiruk-pikuk pasar desa.
"Kak Halim, lihat tuh! Ada badut yang joget-joget!" serunya, menunjuk seorang pria berbaju warna-warni yang sedang menghibur anak-anak di seberang jalan.
"Lucu juga, ya?" Halim terkekeh. "Tapi saya lebih terhibur lihat kamu makan kayak orang kelaparan."
"Yah! Kakak jahat!" protes Rian, pipinya menggembung seperti tupai.
Tawa ringan di antara mereka mendadak terhenti saat suara langkah berat terdengar mendekat. Aroma parfum menyengat memenuhi udara, menusuk hidung hingga membuat Rian terbatuk kecil.
"Halooo, manisss~!"
Suara itu melengking, memecah suasana santai mereka. Halim menoleh, dan matanya langsung membelalak.
Sosok yang mendekat adalah seorang banci dengan tubuh kekar, lengkap dengan gaun merah ketat dan wig pirang menjulang. Make-up tebal menghiasi wajahnya, dengan lipstik merah menyala yang mencolok. Di belakangnya, seorang nenek tua berbalut kain lusuh tersenyum tipis, memperlihatkan giginya yang tinggal dua.
"Ya ampun..." Halim bergidik, sudah merasakan firasat buruk.
"Kamu ganteng banget, Mas~!" ucap banci itu sambil berkedip genit. "Makan sendiri? Aduh, kasian amat. Mau temenin nggak?"
"K-kayaknya saya udah punya temen, Mbak... atau Mas... atau—"
"Panggil aja Bunga Mawar!" sahutnya riang, tangannya bergerak centil.
"Dan aku panggil aja Nenek Misem!" timpal si nenek, suaranya serak seperti gesekan pintu tua.
Halim langsung meneguk air dengan panik. "T-terima kasih, tapi kami udah cukup!"
Namun, tanpa aba-aba, si banci mendekat dan meraih tangan Halim dengan erat.
"Aduh, jangan malu-malu, Sayang~! Cinta itu datang tiba-tiba!"
"Astaga!" Halim tersentak, berusaha melepaskan diri. "Rian! Lari!"
"Eh?! Kenapa aku juga?!"
"Pokoknya lari!"
Aksi Kejar-kejaran Dimulai.
Tanpa pikir panjang, Halim langsung meloncat dari kursinya dan berlari secepat mungkin. Rian, yang masih kebingungan dengan sisa nasi goreng di mulutnya, segera menyusul.
Namun, yang mengejutkan, si banci Bunga Mawar dan Nenek Misem juga berlari mengejar mereka dengan semangat membara.
"Jangan kabur, Cintaaa~!" teriak Bunga Mawar dengan penuh antusias.
"Nenek juga mau peluk cucu ganteng!" sahut Nenek Misem, tertawa terbahak-bahak.
Orang-orang di pasar yang melihat kejadian itu hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal. Ada yang sampai tersedak makanannya, sementara beberapa anak kecil malah bertepuk tangan menyemangati.
"Dasar bocah lemah! Cepetan lari!" teriak seorang pedagang yang tampaknya terlalu menikmati tontonan gratis ini.
"Hei! Saya bukan bocah lemah!" protes Rian sambil ngos-ngosan.
"Kalau gitu kenapa kamu masih di belakang saya?!"
"Karena kakak yang larinya kayak kucing kecapean!"
Halim berbelok tajam ke gang sempit, berharap bisa meloloskan diri. Namun, suara gemuruh langkah di belakangnya terus terdengar.
"Cintaaa, tunggu aku~!"
"Astaga, ini mimpi buruk!"
Saat mereka melewati pasar sayur, seorang penjual tomat tanpa sengaja menjatuhkan satu keranjang penuh. Halim yang panik tak bisa menghindar, dan —
Pluk!
Dia terpeleset. Tubuhnya meluncur seperti papan seluncur, melewati genangan air yang membuat celananya basah kuyup.
"Kakak!" Rian berlari mendekat, mencoba membantu.
Belum sempat Halim berdiri, Bunga Mawar sudah semakin dekat, tangannya terulur dengan gaya dramatis seperti dalam opera.
"Peluk aku, Cintaaa~!"
"Tidak!!!"
Dengan sisa tenaga, Halim merangkak berdiri dan berlari lagi. Rian, yang menyaksikan kekacauan ini, akhirnya tertawa sampai terbatuk. Namun tawanya seketika berubah menjadi panik saat Nenek Misem mendekat dengan langkah kecil namun cepat.
"Cucuku, ayo sini peluk Nenek!"
Rian berteriak histeris. "Tidaaak! Aku belum siap pelukan nenek bau minyak angin!"
Setelah berlari tanpa henti, Halim dan Rian akhirnya sampai di sebuah jalan buntu. Dinding batu tinggi menjulang di depan mereka, memutus semua harapan untuk kabur.
"Habis kita..." desah Halim, terengah-engah.
Bunga Mawar dan Nenek Misem mendekat perlahan dengan senyum kemenangan.
"Sudah siap menerima cintaku, Sayang~?"
"Sini, cucu ganteng!"
Namun tepat saat Bunga Mawar hendak memeluk Halim, langkah kakinya malah terpeleset pada sisa tomat yang menempel di sepatunya.
"Awawawa—"
Brak!
Bunga Mawar terguling ke depan, tepat menimpa Nenek Misem yang sudah siap membuka pelukannya. Mereka berdua jatuh bergulingan seperti bola keju, menabrak satu sama lain hingga akhirnya terkapar dengan ekspresi pusing.
Halim dan Rian saling berpandangan, lalu —
"LARI!"
Tanpa menunggu lama, mereka berdua kabur dengan kecepatan penuh. Namun di tengah perjalanan, Rian yang terlalu ketakutan malah merasa tubuhnya gemetar hebat.
"Kak... Kakak!"
"Apa lagi?!"
"Aku... aku..."
Rian menunduk dengan wajah merah padam. Celananya basah, tetesan air terlihat jelas.
"Kamu... kencing di celana?!"
"Waaaaah!!!" Rian langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis malu.
"Astaga, bocah..." Halim hanya bisa mengusap wajahnya, berusaha menahan tawa yang hampir meledak.
Dan begitulah, di bawah langit biru Desa Berkela, dua petualang melanjutkan perjalanan mereka — satu dengan rasa malu yang membara, dan satu lagi dengan cerita yang akan dikenang seumur hidup.
sekarang semakin banyak yang mengedit dengan chat GPT tanpa revisi membuat tulisan kurang hidup. saya tahu karena saya juga pakai 2 jam sehari untuk belajar menulis. Saya sangat afal dengan pola tulisan AI yang sering pakai majas-majas 'seolah' di akhir kalimat secara berlebihan dengan struktur khas yang rapih.
ya saya harap bisa diedit agar lebih natural.
Udah baca eps 1 ini, ceritanya lumayan menarik. Kapan² gue kesini lagi ya kalau ada waktu, Semangat.