"mas belikan hp buat amira mas dia butuh mas buat belajar" pinta Anita yang ntah sudah berapa kali dia meminta
"tidak ada Nita, udah pake hp kamu aja sih" jawab Arman sambil membuka sepatunya
"hp ku kamarenya rusak, jadi dia ga bisa ikut zoom meating mas" sanggah Nita kesal sekali dia
"udah ah mas capek, baru pulang kerja udah di sodorin banyak permintaan" jawab Arman sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah
"om Arman makasih ya hp nya bagus" ucap Salma keponakan Arman
hati Anita tersa tersayat sayat sembilu bagaimana mungkin Arman bisa membelikan Salma hp anak yang usia baru 10 tahun dan kedudukannya adalah keponakan dia, sedangkan Amira anaknya sendiri tidak ia belikan
"mas!!!" pekik Anita meminta penjelasan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KALAU SUDAH TIDA BARU TERASA
"Firman, sedang apa kamu di sini?" tanya Anita.
"Ibuku kebetulan dirawat di sini," jawab Firman.
Hening sesaat.
Ada getaran hangat yang sulit dijelaskan, mengalir di antara mereka.
Mereka saling menatap, dan dalam tatapan itu, masa lalu perlahan-lahan menyeruak kembali.
Dulu, Anita mencintai Firman.
Namun ia memilih menikah dengan Arman.
Kenapa?
Karena Firman berasal dari keluarga kaya raya, sementara Anita hanyalah anak panti asuhan.
Ia takut, takut mendapatkan perlakuan buruk dari keluarga Firman.
Trauma masa kecilnya membuat ia memandang orang kaya sebagai sosok yang kejam—mampu menyakiti tanpa memikirkan akibatnya.
Dan kalau dia disakiti, siapa yang akan membela?
Dia tak punya siapa-siapa.
Akhirnya, Anita memilih Arman, pria sederhana yang dianggapnya lebih aman.
Tapi kenyataan berkata lain. Ia tetap disakiti.
"Kenapa kamu ada di sini, Ta?" tanya Firman, memecah sunyi.
"Anakku dirawat. Sudah seminggu."
"Sakit apa?" Firman tampak khawatir.
Anita lalu menceritakan kronologis kecelakaan yang dialami Amira.
"Aku turut prihatin dengan yang kamu alami, Nita," ucap Firman, tulus.
Belum sempat Anita membalas, seorang perempuan paruh baya datang mendekat. Wajahnya tampak tidak senang melihat kehadiran Anita.
"Siapa dia, Firman?" tanyanya tajam.
"Ini Anita, Bu. Yang sering aku ceritakan," jawab Firman dengan antusias.
Namun sang ibu tidak membalas. Ia hanya mendekat, menatap anaknya, lalu berkata pelan namun tegas, "Ayo, kita pergi."
Tanpa menoleh, tanpa menyapa Anita sedikit pun, sang ibu berjalan melewatinya begitu saja.
Anita diam.
Ia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti itu.
Namun tetap saja, hatinya bertanya-tanya.
Ia merasa tak pernah bertemu apalagi berbicara dengan ibu Firman sebelumnya.
Tapi kenapa sorot mata wanita itu seolah membencinya?
,,,
Arman menatap nanar layar ponselnya.
Foto mesum Lestari dalam sehari sudah dilihat lebih dari empat juta orang.
Gila.
Wajah pria dalam foto itu diburamkan,
sementara wajah Lestari diperjelas sejelas-jelasnya.
Tak ada belas kasihan.
Arman menggenggam ponsel mahalnya erat-erat. Ingin rasanya membantingnya ke lantai.
Namun ia ingat, ia tak punya uang untuk membeli yang baru.
Di sisi lain, Dewi tampak tak peduli.
Sejak Mira menjadi asisten rumah tangga, Dewi semakin malas.
Kerjanya hanya makan, tidur, lalu berselancar di media sosial.
Ia juga melihat foto itu, tapi ia tak ambil pusing.
Toh, sejak dulu ia memang tidak suka pada Lestari.
Kenapa?
Karena Lestari kuliah.
Apakah Dewi tidak pernah kuliah?
Dulu, ia kuliah. Tapi diam-diam ia ingin menjadi satu-satunya anak perempuan dalam keluarga yang mengenyam bangku universitas.
Namun karena Lestari cerdas dan selalu berprestasi, Laksmi—ibu mereka—berambisi menyekolahkan Lestari setinggi mungkin.
Dan sejak itu, Laksmi lebih sering membanggakan Lestari ketimbang dirinya.
Cemburu.
Dengki.
Perih yang dipendam lama-lama menjadi dingin.
Jadi, saat Dewi melihat foto Lestari bersama pria tua itu, ia hanya mengangkat bahu.
Tidak peduli.
Mungkin, diam-diam ia merasa puas.
“Mampus kau anak kecil” ucap dewi dalam hati dia bergembira dengan kejadian ini
Sementara itu, tubuh Laksmi gemetar.
Wanita yang sempat mengancamnya ternyata tidak main-main.
Dalam waktu tiga hari, Lestari benar-benar tak ditemukan.
Dan akhirnya, foto-foto itu tersebar secara masif di internet.
Laksmi enggan keluar rumah.
Tak sanggup menatap dunia.
Rasa bersalah, malu, dan takut menggerogoti dirinya seperti racun yang tak terlihat.
Ceklek.
Pintu rumah terbuka.
Laksmi menoleh cepat. Matanya membelalak.
Sosok yang berdiri di ambang pintu itu adalah Lestari.
Anaknya. Yang selama ini ia cari.
Namun bukannya pelukan hangat yang menyambut,
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Lestari.
Lestari terguncang. Baru pulang, langsung ditampar.
"Kenapa Ibu menamparku?" tanyanya lemah.
"Masih tanya kenapa?"
Laksmi melempar ponselnya ke arah Lestari.
Lestari memungutnya. Layar menyala.
Ia melihat foto-foto itu.
"Bu... kenapa bisa begini?" suaranya bergetar.
Plak!
Tamparan kedua menyusul, lebih keras.
"Kenapa? Kenapa?
Harusnya Ibu yang bertanya!
Kenapa kamu bisa berbuat seperti itu?!"
"Ini tidak seperti yang Ibu pikirkan. Ini editan, Bu.
Ada yang tidak suka sama aku, Bu," Lestari mencoba membela diri, suaranya panik.
"Dasar pembohong!
Bikin malu keluarga saja kamu!
Apa Arman kurang memberimu uang jajan,
hingga kamu menjual tubuhmu pada pria hidung belang?!"
"Itu semua salah Mbak Anita, Bu!" Lestari mulai mengalihkan kesalahan.
"Dia yang menghabiskan uang Bang Arman,
jadinya aku enggak bisa jajan layak kayak teman-temanku!"
Selalu begitu.
Selalu menyalahkan Anita.
Perempuan yang memang cerewet, tapi sangat peduli.
Anita selalu mengatur pengeluaran dengan ketat—kadang terlalu ketat.
Dan memang, Lestari sering kalah dalam adu argumen dengannya.
Padahal, justru karena pengaturan Anita, Lestari bisa kuliah dengan baik.
Tapi sayangnya, dia lebih memilih iri.
Iri pada teman-temannya yang bisa bergaya glamor.
Sedangkan dia? Hanya bisa menonton dari pinggir.
"Masuk ke kamar!
Dan jangan pernah tunjukkan wajahmu pada warga!
Ibu malu punya anak seperti kamu!" seru Laksmi dengan suara gemetar.
Lestari menunduk, masuk ke kamar dengan hati yang remuk.
Langkahnya pelan, napasnya sesak.
Begitu pintu tertutup, ia mengambil ponsel dan menelpon Om Feri.
Tak diangkat.
Pesan diketik dengan jari gemetar:
"Bajingan kau, Feri. Kenapa kamu sebar foto itu?"
Tak ada balasan.
Ia hendak menghubungi Andika.
Namun teringat bagaimana marahnya Andika saat terakhir mereka bicara.
Ia mengurungkan niat.
Lestari menatap layar kosong ponselnya.
Lalu bergumam dengan geram,
"Sialan. Ini semua salah Mbak Anita."
..
Arman tetap pergi bekerja,
meski ia tahu, di kantor nanti ia akan jadi bahan hinaan.
Ia menyiapkan diri, tapi tetap saja—kenyataan selalu lebih kejam dari dugaan.
Benar saja.
Begitu melangkah masuk, tatapan sinis langsung menyambutnya.
Teman-teman yang dulu menghormatinya, kini menatap seolah ia makhluk hina.
Mereka membisik, tersenyum sinis, bahkan tertawa diam-diam di balik layar komputer.
Arman tidak siap untuk ini.
Dulu, ia dikagumi. Dihormati.
Sekarang? Ia menjadi bahan olok-olok.
Dan semua ini terjadi ketika Anita tak lagi bersamanya.
Anita—perempuan sederhana yang mampu menyulap dirinya jadi pria rapi dan elegan,
padahal bajunya tak bermerek, dan gayanya tak pernah mewah.
Sekarang? Ia kembali ke mode berantakan.
"Arman itu adik lu, ya?"
Andi mendekat, menyeringai puas.
Ia memang tak pernah suka Arman.
Iri—itulah bahan bakarnya. Dan hari ini, ia sedang berpesta kemenangan.
Arman menatap tajam. "Bukan urusan lo."
"Ya, ya... ini bukan urusan gue. Tapi itu jelas urusan lu."
Andi tertawa puas, lalu pergi meninggalkan Arman yang mulai menggigil karena amarah yang ditahan.
Arman mengepalkan tangan.
Wajahnya memerah.
Ia ingin marah. Ingin berteriak.
Tapi ia tahu, itu hanya akan memperkeruh keadaan.
Diam.
Itu pilihan terbaik saat ini.
Menahan segalanya di dalam dada, meski perlahan-lahan dadanya terasa sesak.
Tatapan sinis dan bisik-bisik itu tetap terdengar.
Ia pura-pura tak mendengar, tapi semuanya menusuk telinga.
Adik-adiknya... benar-benar membuat kepalanya pusing.
Belum juga kering luka dewi sekarang lestari, adiknya terjebak ke dalam pergaulan bebas, dan terjadi saat anita mulai tak peduli dengan diriya dan keluarganya, lebih tepatnya saat arman lebih memilih membelikan salma Hp ketimbang amira anaknya sendiri. Kalau arman sadar arman pasti menemukan titik masalahnya, titik masalahnya adalah sikap tidak adil arman pada istrinya.
Padahal dulu, Lestari tampak baik-baik saja.
Ia tidak tahu kalau adiknya itu sering berdebat dengan Anita.
Dan setiap kalah, Lestari tidak berani macam-macam.
Ia tidak tahu kalau Anita pernah menghajar teman-teman Lestari yang mengajak ke klub malam.
Ia tidak tahu bahwa banyak kejadian di rumah yang ditangani oleh Anita.
Ia tidak tahu... karena ia tidak pernah benar-benar memperhatikan.
Yang ia tahu, semua terlihat normal.
Dan itu semua—karena Anita.
Kini, semua berantakan.
Sampai di ruang kerjanya,
masalah baru sudah menunggunya.
Bianka.
Perempuan yang selama ini menuntut jawaban.
Hari ini, Bianka ingin kepastian.
Kapan Arman akan menikahinya?
Arman menghela napas panjang.
Rasanya ingin membenturkan kepalanya ke tembok.
Hari ini benar-benar sial.
dah tau anaknya salah besar bukannya buat dia jera dngn perbuatannya mlah dengan sombongnya ngomong kek gitu ke kakek Wiryawan