“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Motor yang Syanas tumpangi akhirnya berhenti di depan sebuah toko elektronik kecil di pinggir jalan kota. Ia segera turun dan menyerahkan beberapa lembar uang kepada tukang ojek, bahkan tidak menunggu kembalian. “Terima kasih pak,” ucapnya buru-buru sebelum melangkah cepat menuju toko.
Toko itu terlihat sederhana, dengan rak-rak penuh berbagai macam ponsel dan aksesori. Syanas masuk dan langsung disambut oleh penjaga toko, seorang lelaki muda yang tampak ramah. “Selamat siang Mbak. Mau cari ponsel tipe apa?” tanyanya.
“Gue butuh ponsel keluaran terbaru, yang kameranya bagus dan memorinya besar,” jawab Syanas tanpa berpikir panjang. Ia tidak ingin ponsel biasa, kali ini ia ingin sesuatu yang benar-benar membuatnya merasa kembali memiliki kendali atas hidupnya.
Penjaga toko itu mengangguk dan dengan cekatan menunjukkan beberapa model ponsel terbaru. “Ini Mbak, ada yang ini. Kameranya 64 MP, memorinya 256 GB. Ini lagi promo juga, dapat bonus casing.”
Syanas tidak peduli soal promo atau bonus casing. Ia hanya ingin segera memiliki ponsel itu di tangannya. “Gue ambil yang ini,” ucapnya tegas, menunjuk salah satu ponsel. Ia mengeluarkan kartu ATM dari tasnya.
Setelah beberapa menit, transaksi selesai, dan Syanas keluar dari toko dengan ponsel baru di tangan. Langkahnya terasa lebih ringan, meski pikirannya masih bercampur aduk.
Begitu ia berada di tempat yang agak sepi, ia membuka kotak ponsel dan langsung mengaktifkannya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka aplikasi perpesanan dan memasukkan nomor Nindi. Nindi pasti bisa membantunya, pikir Syanas.
Syanas mengetik pesan cepat, “Nin, ini gue Syanas. Gue kabur dari pesantren. Lo dimana sekarang? Gue butuh tempat buat nginep. Gue mau numpang di apartemen lo semalam.”
Tidak butuh waktu lama sebelum balasan datang. “Ya ampun Sya, lo serius? Lo nggak kenapa-kenapakan? Gue di apartemen sekarang. Sini aja cepetan, gue tunggu!”
Hati Syanas sedikit lega membaca pesan itu. Tapi ia tahu satu orang lagi yang harus ia hubungi, Jennie. Ia segera mengetik pesan serupa untuk temannya yang satunya lagi.
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar dengan balasan dari Jennie. “Gila lo nekat banget Sya! Gue juga bakalan ke apartemen Nindi. lo hati-hati ya. Kalau butuh apa-apa, kabarin gue.”
Syanas menghela napas panjang. Ia merasa lebih tenang sekarang, meskipun tubuhnya masih lelah setelah semua yang ia alami. Ia segera memesan taksi daring untuk menuju apartemen Nindi.
Selama perjalanan, Syanas menatap keluar jendela taksi, menyaksikan pemandangan kota yang berlalu cepat di hadapannya. Hiruk-pikuk kendaraan terasa seperti dunia yang asing namun penuh janji kebebasan.
Ini hidupnya, dan ia harus ambil kendali lagi, apapun risikonya.
Beberapa menit kemudian, taksi berhenti di depan sebuah apartemen mewah di pusat kota. Syanas keluar dengan langkah yang cepat, tas kecilnya menggantung di pundak. Ia menatap bangunan tinggi itu dengan campuran perasaan takut dan harapan.
“Gue sudah bebas,” gumamnya pelan sambil melangkah masuk ke dalam lobi.
Begitu berada di lobi, ia mengeluarkan ponsel baru dari tasnya dan mengetik pesan ke Nindi. “Gue udah di lobi.”
Tidak sampai lima menit pintu lift terbuka, dan Nindi muncul. Wajahnya yang cerah dengan senyum lebar. “Lo beneran ke sini Sya!” serunya dengan nada penuh kekhawatiran sekaligus kelegaan.
Syanas mengangguk. “Gue udah nggak tahan. Gue mau bebas. Enak aja gue di jadikan bahan transaksi. Emang gue barang apa.”
Nindi memegang bahu Syanas dengan lembut. Ia menatap temannya dengan sorot mata penuh pengertian. “Udahlah lo nggak usah pikirin itu, sekarang lo aman di sini. Nggak ada yang bakal ganggu lo lagi. Nanti kita ngobrol di atas oke,” ucapnya sambil mengusap punggung Syanas pelan.
Syanas hanya mengangguk, terlalu lelah untuk berkata-kata lebih banyak. Nindi menggandeng tangan Syanas dan membawa perempuan cantik itu ke lift.
Setelah sampai mereka masuk dan Nindi menutup pintu apartemen, sedangkan Jennie langsung meledak dengan tawa, menunjuk Syanas yang masih mengenakan pakaian panjang dan hijab yang menutupi hampir seluruh tubuh Syanas.
“Gila lo Sya! Jadi alim kayak begini! Nggak nyangka gue bakal lihat lo dalam mode ustazah!” ucapnya sambil terbahak-bahak. Ia memeluk Syanas dengan gerakan penuh semangat. “Lo baik-baik aja kan? Lo tuh nekat banget, sumpah.”
Syanas mendengus sambil melepas hijabnya dengan satu gerakan cepat. Rambut panjangnya langsung tergerai, terkena udara dingin dari pendingin ruangan.
“Gue pakek ini semua karena terpaksa. Kalau nggak, gue bisa dapat ancaman lagi dari si gus Kahfi itu. Dia itu nggak main-main,” jawabnya santai sambil melempar hijab itu ke sofa.
Nindi yang sedang menuang air pun tertawa kecil dan menggelengkan kepala. “Ya ampun Sya, tadi gue sebenarnya udah mikir, apaan nih, Syanas berubah total? Tapi ternyata cuma sementara. Bentar, gue ambilin baju buat lo biar lo nyaman.”
“Thanks.” Syanas melepas kancing baju panjangnya sedikit, tampak gerah. “Gue dari tadi udah pengen ganti baju. Ini semua bukan gue. Gue kayak dikurung di kostum drama sejarah!”
Jennie tertawa keras sambil memukul ringan lengan Syanas. “Lo tuh emang nggak ada lawannya ya? Serius deh, makin lo dikekang, makin lo jadi pemberontak! Gue salut banget.”
Nindi keluar dari kamarnya dengan membawa kaus oversized dan celana pendek. “Nih, pake ini. Gue yakin lo udah pengen bebas bangetkan.” ucapnya sambil melempar pakaian itu ke Syanas.
Syanas menangkap dengan senyum penuh kemenangan. “Akhirnya!” serunya. Ia langsung masuk ke kamar mandi untuk mengganti pakaian.
Ketika ia kembali, mengenakan kaus oversized yang longgar dan celana pendek, Jennie memandang sambil mengangkat alis. “Nah, ini baru lo! Tapi gue nggak ngerti deh. Gimana caranya lo bisa ninggalin si gus Kahfi itu? Cowok seganteng itu Sya, sumpah. Gue aja kalau jadi lo, pasti bakal susah banget melepaskannya.”
Nindi mengangguk setuju sambil tersenyum nakal. “Bener. Gus Kahfi tuh bukan cuma ganteng, tapi juga karismatik. Saat dia berjalan dan ngomong, kayak ada aura yang buat hati lumer. Gila lo, nggak tergoda sama dia?”
Syanas memutar mata dan mendengus. Ia duduk di sofa dengan sikap santai sambil menyilangkan kaki. “Please deh. Gue tuh bukan kayak kalian yang gampang tergila-gila sama cowok. Mau si gus itu seganteng dewa sekalipun, dia nggak akan buat gue bahagia.”
Jennie melongo. “Hah? Serius lo? Gue tuh ngeliat dia kayak karakter utama di novel romance! Gimana lo bisa nggak klepek-klepek?”
Syanas tersenyum sinis. “Karena gue nggak kayak kalian. Gue bukan tipe yang tergila-gila sama laki-laki. Gue lebih tergila-gila sama uang. Uang itu nyata. Uang itu buat bahagia. Mau secantik apa lo, mau seganteng apa pasangan lo, kalau nggak ada uang, hidup lo bakal berantakan.”
Nindi tertawa keras mendengar jawaban Syanas. “Ya Tuhan Sya, lo emang beda kelas. Uang ya? Jadi itu alasan lo ninggalin dia? Karena dia nggak bisa kasih kebebasan lo buat ngejar duit?”
Syanas mengangkat bahu. “Exactly. Gue nggak mau jadi boneka. Dia mau gue jadi istri sempurna, diem di rumah, nurut sama aturan dia. No, thanks. Gue nggak dilahirkan untuk jadi aksesori hidup orang lain. Gue dilahirkan untuk punya hidup gue sendiri, dan uang buat gue bisa punya itu.”
Jennie menggeleng sambil tertawa kecil. “Lo emang luar biasa. Gue beneran nggak ngerti gimana gus Kahfi nggak kebakaran jenggot ninggalin cewek kayak lo.”
Syanas menyandarkan diri di sofa, senyum puas menghiasi wajahnya. “Biar aja dia kebakaran jenggot, kebakaran hati, kebakaran apa pun. Gue nggak peduli. Yang jelas, sekarang gue bebas. Dan gue yakin satu hal, sekeren apa pun dia, nggak sebanding sama gue.”
Nindi mengangkat gelasnya ke udara, seperti bersulang. “Well said Sya. Cheers buat kebebasan lo!”
Ketiganya tertawa, memenuhi ruangan dengan suasana penuh semangat. Di apartemen itu, Syanas merasa seperti dirinya sendiri lagi, tanpa belenggu, tanpa Kahfi, dan tanpa aturan yang memaksanya menjadi seseorang yang bukan dirinya.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..