"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
cahaya ditengah kegelapan
Haifa membuka pintu rumah dengan hati-hati, memastikan engsel tidak berderit. Ia tahu benar Pak Jek, penjaga rumah, tidur di sofa ruang tamu. Pria paruh baya itu sangat peka terhadap suara. Jika ketahuan, pasti akan ada rentetan pertanyaan yang enggan Haifa dengar malam ini.
“Pelan, Haifa... pelan,” bisiknya pada diri sendiri sambil berjalan berjinjit melewati ruang tamu.
Pak Jek masih tertidur pulas dengan napas teratur. Sesekali dengkur halus terdengar, membuat Haifa merasa lega karena misinya sejauh ini sukses. Setelah memastikan aman, ia bergegas menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.
Begitu sampai, Haifa langsung melempar tas ke sudut kamar dan menjatuhkan diri ke kasur. “Ahhh... nyaman banget,” gumamnya, membenamkan wajah di bantal. Kelelahan yang menghimpit seharian seolah sirna begitu tubuhnya menyentuh tempat tidur.
Namun, pikiran itu tidak bertahan lama. Suara hati yang lebih tegas muncul, menggugah kesadarannya. “Astaghfirullah... bangun, Haifa! Jangan nurutin malas,” tegurnya pada diri sendiri.
Dengan tekad yang dipaksakan, Haifa memaksa bangkit dari kasur. "Nggak boleh kalah sama godaan," ucapnya lirih sambil melangkah ke kamar mandi. Guyuran air dingin menyentuh wajahnya, membangkitkan kesegaran sekaligus mengikis kantuk yang menggelayut. Setelah selesai mencuci muka, ia menata sajadah di pojok kamar yang tenang.
Kakinya berdiri tegap, tangan terangkat menghadap langit. Dalam heningnya malam, Haifa menyerahkan segala keluh dan syukur yang tersembunyi di hatinya. Setiap doa yang ia lantunkan terasa seperti benang-benang yang menghubungkan dirinya dengan Sang Pemilik Semesta.
Setelah sholat malam selesai, Haifa duduk bersimpuh, air mata tanpa sadar menetes di pipinya. Hatinya terasa lega namun masih dibayangi berbagai perasaan tak menentu. Bayangan Nathan yang menggoda pikirannya tadi malam kembali muncul. Senyuman licik cowok itu dan pernyataan mengejutkannya terulang-ulang di ingatan.
“Haifa...” ia berbicara pada dirinya sendiri, "jangan goyah. kamu bukan cewek yang gampang kebawa perasaan."
Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu ada sesuatu yang mulai tumbuh, sesuatu yang berusaha ia abaikan namun tak bisa sepenuhnya ia tolak. "Kalau memang ada rasa... biarkan Allah yang atur jalan hidup gue," bisiknya dengan penuh keyakinan.
Setelah berdoa panjang dan mencoba meredakan kekacauan dalam hatinya, Haifa merasa tubuhnya semakin berat. Kantuk yang sempat terhalau kini datang kembali dengan lebih kuat, membungkusnya dalam kelelahan yang tak tertahankan.
Tanpa sadar, tubuhnya perlahan merunduk. Kepala yang semula tegak akhirnya bersandar pada lutut yang terlipat. Sajadah di bawahnya menjadi tempat bersandar dalam keheningan malam.
“ yaa Allaah udah jam dua, Haifa belum tidur sama sekali.Sebentar aja, Fa... cuma istirahat sebentar,” gumamnya lirih sebelum matanya benar-benar terpejam. ia takut kebablasan saat subuh menjelang.
......................
DI sudut diskotik yang penuh gemerlap dan hiruk-pikuk, Nathan masih duduk bersama Cleo dan sahabat-sahabatnya. Musik yang menggema seolah memabukkan suasana, membuat malam seakan tak mengenal akhir. Di tangannya, gelas minuman berisi cairan beralkohol bergoyang seiring detak jantung yang resah.
“Beb, kok lama banget sih tadi? Hampir sejam aku nungguin kamu di sini,” Cleo mengeluh dengan nada setengah sadar, tubuhnya bergerak mengikuti irama musik yang menggoda.
Nathan menarik napas panjang, mencoba menjaga ketenangan. “Papah nelpon, ada keperluan mendesak. Makanya aku lama,” jawabnya dengan suara serak. Dalih itu terlontar demi menyembunyikan kenyataan: dia baru saja mengantar Haifa pulang yang tersesat di malam buta tanpa ada transportasi yang bisa diandalkan.
“Oh, gitu...” Cleo mengangkat bahu, kemudian kembali berjoget tanpa memedulikan kegelisahan yang terpancar dari Nathan.
Nevano menyodorkan botol baru. “Santai aja, Nath. Nikmatin malem, Bro.”
Nathan menggeleng pelan, hatinya terasa berat. “Gue cabut aja. Udah jam 2 pagi,” ucapnya dengan nada getir yang tersamar.
“Kemana lu, Nath?” Arsen melirik heran.
“Pulang ke apartemen. Ngantuk,” jawab Nathan datar meski hatinya tahu kantuk bukan alasan sebenarnya. Ada dorongan tak kasatmata yang memintanya menjauh dari kehidupan semacam ini.
Cleo meraih lengannya, bergelayut di leher Nathan dengan manja. “Sayang, jangan ninggalin aku dong... Aku belum puas di sini.”
Nathan tersenyum tipis, matanya redup. “Kamu pulang sama Nevano aja kalau masih mau di sini. Aku ngantuk, Sayang.” Kalimat itu terdengar seolah menyimpan sesuatu yang belum terungkap.
Tanpa menunggu jawaban, Nathan beranjak pergi. Udara malam yang dingin menyapa wajahnya begitu dia keluar dari gemerlap diskotik yang dimurkai Allah itu. Saat tangannya hendak menyalakan motor sport-nya, bayangan Haifa melintas di pikirannya. Ada sesuatu dalam tatapan dan senyuman gadis itu yang mulai mengusik hatinya, meski dia belum sepenuhnya menyadarinya.
Nathan melajukan motornya menuju apartemen. Hatinya masih bergemuruh, seperti ada pertempuran antara kesadaran dan penyesalan. Begitu tiba, dia menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu tanpa melepas jaket. Pandangannya menerawang ke langit-langit yang gelap, sebelum akhirnya tertidur dengan pikiran yang penuh tanda tanya—tentang dirinya dan perasaannya yg tidak karuan.