Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siasat
Yudis menghentikan mobilnya di pekarangan rumah Kevin. Pria itu turun dari kendaraannya, lalu melangkah menuju kediaman milik pengusaha diskotek bernama Jackson Lim. Di ruang tamu, tampak Viktor dan Andra sedang duduk di sofa menanti kedatangannya.
"Dari mana aja, Bro? Kita udah nungguin lo dari tadi," tanya Viktor melirik pada Yudis.
"Gue abis mantau situasi. Anwar sama temennya datang lagi ke rumah tua punya keluarga si Kevin," jelas Yudis, sembari duduk di sofa ruang tamu.
Dari ruang tengah, Kevin muncul melambaikan tangannya. Ketiga temannya itu beranjak dari kursi, lalu mengikuti ke mana si pemilik rumah berjalan.
Ketika tiba di halaman belakang, mereka duduk di kursi masing-masing. Sebotol wiski telah tersedia di sana. Kevin menuangkan minuman itu ke dalam empat sloki, lalu mengambil salah satunya. Lelaki bermata sipit yang tampak gelisah itu meneguk minumannya sampai habis.
"Lo nggak usah berlebihan gitu, Vin. Semuanya udah beres, lo mau mikirin apa lagi?" celetuk Yudis sambil tertawa kecil.
"Yudis, apa gue nggak salah denger? Situasi udah genting gini, tapi lo masih bisa santai aja. Otak lo disimpen di mana?" tukas Kevin bersungut-sungut.
Yudis tersenyum-senyum.
"Yudis bener, lo nggak usah berlebihan gitu. Lagipula, langkah yang kita ambil nggak bakal bikin polisi curiga," cetus Viktor membela Yudis.
"Tapi ini gila, Viktor! Gimana kalau kita sampai ketauan sama polisi? Mau taruh di mana muka kita?" sanggah Kevin, menuangkan lagi wiski di gelasnya.
"Chill, Kevin! Kita bakal lebih dicurigai kalau panik," ujar Andra.
Kevin terengah-engah, sambil menatap tajam ke arah Yudis. Pemuda berkacamata itu tampak tenang, seperti tak berdosa. Yudis tersenyum simpul pada Kevin, sambil mengambil sloki berisi wiski dan meneguknya.
Malam sebelumnya, Kevin tampak panik memasuki kamar tempat Alin dikurung. Viktor yang baru selesai meluapkan kebejatannya pada Alin, segera menghampiri Kevin bersama Andra dan Yudis.
"Ada apa?" tanya si pirang Andra.
"Rekan bisnis bokap gue mau beli rumah ini dalam waktu dekat. Kita harus cari tempat lain buat nyembunyiin si Alin," jelas Kevin dengan panik.
"Gue punya ide. Gimana kalau kita bawa ini cewek ke rumah istirahat si Anwar yang ada di Bogor?" cetus Viktor.
"Apa nggak kejauhan?" tanya Yudis merasa sangsi.
"Argh! Bikin rese aja tuh orang," geram Viktor mengepalkan tangan.
Di tengah-tengah diskusi, Yudis bergegas keluar. Kevin beserta ketiga kawannya merasa bingung dengan apa yang akan dilakukan oleh pemuda berkacamata itu. Tak lama kemudian, Yudis kembali membawa batu besar.
"Mau ngapain lo, Yudis?" tanya Andra.
Tak disangka, Yudis menghabisi Alin dengan bertubi-tubi. Berkali-kali Alin meronta dan memohon ampun, tapi Yudis seakan tidak peduli. Pemuda itu justru menyeringai melihat korbannya semakin tak berdaya.
Adapun ketiga temannya, berusaha menarik Yudis agar segera menghentikan tindakannya. Andra dan Kevin memegang tangan Yudis, sementara Viktor mendekap dan menarik pinggang temannya itu supaya menjauh dari Alin.
Menyadari korbannya sudah tak bernyawa, Yudis menghentikan serangannya dan tertawa puas. Tentu saja, hal itu membuat ketiga temannya terheran-heran.
"Lo tolol atau bego, sih? Kenapa lo malah ngabisin si Alin?" tanya Kevin bersungut-sungut.
"Kita udah nggak butuh cewek ini lagi. Emangnya kalian masih enak pake cewek kurus kayak dia?" Yudis menatap ketiga temannya, sambil menunjuk Alin.
"Tapi, Yudis. Lo tau, kan, apa akibatnya kalau sampai Alin meninggal?" sanggah Andra.
"Apa bedanya? Toh mau hidup ataupun mati, kita bakal dipanggil polisi. Entah cepat atau lambat. Lagipula, apakah akan lebih baik jika dia tetap hidup? Enggak, Bro! Kalau dia mati, seenggaknya dia nggak bakal kasih tau ke orang-orang tentang kelakuan kita," jelas Yudis dengan entengnya.
"Terus, kita harus gimana?" Viktor tampak panik dan bingung.
"Kevin, suruh orang-orang lo buat ngubur cewek ini di tempat yang aman. Kita kaburkan jejak, dan bikin orang-orang suruhan lo mengaku di depan polisi. Kasih mereka uang dan suruh ngaku kalau mereka pelakunya," ujar Yudis.
Saat pagi buta, Kevin menelepon dua tukang kebunnya untuk menunggu di pinggir jalan raya. Adapun Viktor dan Andra, memasukkan jenazah Alin ke dalam karung yang tersedia di gudang rumah itu. Selanjutnya, karung itu dimasukkan ke dalam bagasi mobil Kevin untuk segera dikubur di tempat yang tak dicurigai oleh siapa pun.
Sepanjang perjalanan, Kevin dirundung rasa gelisah. Keputusan Yudis menghabisi Alin bukanlah tindakan yang tepat. Akan tetapi, di sisi lain, Kevin berpikir bahwa akan lebih berat lagi jika Alin tetap dibiarkan hidup. Gadis itu pasti akan bersaksi di depan semua orang, bahwa dirinya telah dianiaya sedemikian rupa oleh empat orang pemuda.
Setibanya di tempat yang dijanjikan, dua orang suruhan Kevin membuka bagasi mobil dan mengambil jenazah Alin. Salah satu dari mereka menghampiri Kevin dan menagih bayaran yang telah disepakati.
"Kubur benda itu baik-baik. Kalian nggak usah kerja lagi di rumah saya. Kalau sampai kalian melapor polisi, maka kalian akan tanggung akibatnya. Keluarga kalian nggak akan lolos dari ancaman saya. Ngerti?" tutur Kevin, sembari menyerahkan sejumlah uang pada seorang pria suruhannya.
Pria itu mengangguk, kemudian menutup bagasi mobil Kevin sebelum akhirnya menggotong karung berisi jenazah Alin ke dalam gang bersama temannya. Kevin pun melajukan mobil, membiarkan dua orang suruhannya mengubur korban di tempat yang aman.
Kendati demikian, ia tidak serta merta merasa tenang. Kematian Alin di depan mata seolah menjadi sesuatu yang mengerikan dan mengganggu setiap saat. Entah berapa teguk wiski dihabiskannya sejak semalam, ketakutan di dada Kevin terus bergemuruh bagaikan badai petir yang menyambar.
Kini, Kevin seolah tak terima dengan segala kejahatan yang telah diperbuatnya bersama teman-teman. Tatapannya pada Yudis masih tajam bak ujung tombak yang siap menusuk.
"Kenapa lo lihatin gue kayak gitu? Apa ada yang salah?" tanya Yudis cengengesan.
"Sialan! Harusnya dari awal gue nggak usah nyekap Alin," celetuk Kevin mendengus sebal.
"Namanya juga penyesalan, datangnya selalu di akhir. Kalau datang di awal, namanya pendaftaran," kelakar Viktor terbahak-bahak.
"Sekarang nggak ada gunanya lagi buat menyesal, Kevin. Kita harus memikirkan langkah selanjutnya. Bersikap santai atau menyerahkan diri pada polisi," tutur Andra.
"Gue nggak bakal mau buat masuk penjara. Si Yudis aja yang suruh menyerahkan diri ke polisi. Kan dia yang mukulin Alin sampai tewas," bantah Kevin.
"Ayolah! Apa pikiran lo sebuntu itu? Masih banyak cara buat meloloskan diri, Kevin," celetuk Yudis dengan santainya.
"Cara? Cara yang kayak gimana? Kabur ke luar negeri?" tukas Kevin merasa gusar.
"Kita cari kambing hitam buat disembelih," jelas Yudis.
"Yudis, plis deh. Ini bukan hal lucu. Gue nggak suka bercanda di saat genting," ketus Kevin, menatap sinis.
"Gue nggak lagi bercanda, Kevin. Gue serius!" tegas Yudis.
"Terus, siapa yang mau lo jadiin tumbal? Si Anwar?" tanya Andra penasaran.
Seulas senyum mengembang di bibir Yudis tatkala nama itu disebut. Diteguknya lagi sisa wiski dari sloki di tangannya sampai habis, lalu mengangguk pelan.