"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Battle Of Hearts
Rumah Elea dan Adrian berada di sebuah kawasan elit London, dengan eksterior bergaya townhouse klasik yang dihiasi jendela besar dan pintu berwarna biru tua. Tapi malam itu, kehangatan rumah itu terasa dingin karena sebuah ketegangan.
Saat mereka masuk, Elea langsung melepas sepatu hak tingginya dengan kasar, menyisihkannya ke sudut dekat pintu. Adrian mengikuti di belakang, wajahnya tampak lelah tapi dipenuhi rasa kesal.
“Apa kau tidak pernah berpikir untuk setidaknya menghubungiku kalau kau terlambat?” kata Elea memecah keheningan, nadanya tajam.
Adrian melepaskan dasinya, meletakkannya sembarangan di sofa. “Aku sedang bekerja, Elea. Apa kau ingin aku meninggalkan rapat hanya untuk menjemputmu?”
Elea menatapnya dengan mata tajam. “Itu bukan soal menjemput, Adrian. Aku hanya ingin tahu bahwa kau peduli! Kau bahkan tidak merespons pesanku, apalagi menjawab teleponku!”
Adrian mendengus, berjalan ke arah dapur dan membuka kulkas, mengambil sebotol air mineral. “Kalau kau bisa menunggu di restoran itu selama berjam-jam, kau pasti juga bisa pulang sendiri. Jangan bertingkah seperti aku ini suami yang tidak bertanggung jawab.”
“Karena itulah yang kau lakukan, Adrian!” suara Elea meninggi, tapi ada nada frustrasi yang jelas. “Kau selalu punya alasan. Kerja, rapat, atau apa pun itu. Aku mengerti kau sibuk, tapi apakah aku benar-benar tidak masuk dalam prioritasmu sama sekali?”
Adrian, yang tadinya mencoba untuk tetap tenang, akhirnya membalas dengan nada dingin. “Kau ingin bicara tentang prioritas? Bagaimana denganmu? Bersama pria itu, Darren, sampai larut malam. Kau pikir aku tidak melihat bagaimana dia memandangmu?”
Elea mengernyit, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Darren? Astaga, Adrian, dia hanya asistenku, seseorang yang ditugaskan untuk membantu pekerjaanku! Aku tidak punya hubungan apa pun dengannya!”
Adrian meletakkan botolnya dengan keras di atas meja. “Tapi bagaimana dengannya? Apa kau yakin dia tidak punya perasaan terhadapmu? Pria muda, selalu ada di sekitarmu, menatapmu seolah-olah kau adalah pusat dunianya.”
Elea mendekat, suaranya bergetar dengan emosi. “Apa yang kau bicarakan? Aku bahkan tidak tahu apa yang ada di pikirannya! Dan aku tidak peduli! Karena satu-satunya orang yang aku pedulikan adalah kau, Adrian! Tapi lihat bagaimana kau memperlakukanku.”
Adrian terdiam, tapi rahangnya mengeras. Dalam pikirannya, ada perasaan cemburu yang ia sendiri enggan akui. Namun, rasa cemburu itu tidak datang dari cinta yang penuh perhatian, melainkan dari rasa takut kehilangan kontrol.
Sementara itu, Elea merasakan kelelahan luar biasa. Ia mencintai Adrian, tapi semua usaha yang ia lakukan untuk mempertahankan hubungan ini terasa sia-sia.
“Dengar,” kata Adrian akhirnya, nadanya sedikit mereda. “Aku tidak menuduhmu berselingkuh. Tapi aku tahu pria-pria seperti Darren. Dia pasti punya niat lain.”
Elea memalingkan wajahnya, berusaha menahan air mata. “Ini bukan soal Darren, Adrian. Ini soal kita. Tentang bagaimana kau selalu mencurigai aku, sementara kau sendiri bahkan tidak ada di sini ketika aku membutuhkannya.”
Adrian mendesah, berjalan ke arah sofa dan duduk. Ia memijat pelipisnya. “Aku lelah, Elea. Aku lelah dengan semua ini. Aku bekerja keras untuk kita, untuk masa depan kita.”
Elea menatapnya dengan mata yang penuh luka. “Untuk kita? Atau untuk dirimu sendiri? Karena aku tidak merasa kita ini benar-benar sebuah tim, Adrian.”
Ruangan itu hening selama beberapa saat. Hanya terdengar suara jarum jam yang berdetak dari ruang tamu.
Adrian akhirnya berdiri. “Aku tidak ingin bertengkar lagi malam ini. Aku akan tidur di kamar tamu.”
“Seperti biasa,” gumam Elea pelan, nyaris tidak terdengar.
Adrian berhenti sejenak, tapi tidak mengatakan apa-apa. Ia melangkah pergi, meninggalkan Elea berdiri sendirian di ruang tamu dengan perasaan hampa.
Elea berjalan pelan ke arah sofa, duduk dengan tubuh lemas. Ia menatap jendela besar di ruang tamu, melihat pantulan dirinya di kaca. Wanita yang ia lihat di sana tampak begitu rapuh, jauh dari sosok tangguh yang biasa ia tunjukkan di kantor.
Dalam hatinya, Elea tahu ia masih mencintai Adrian. Tapi cinta itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan. Ia merasa seperti terus berjuang sendiri dalam hubungan ini, sementara Adrian semakin jauh.
Air mata akhirnya jatuh, tapi Elea cepat-cepat menyekanya. Ia menolak untuk terlihat lemah, bahkan ketika tidak ada yang melihat.
***
Di apartemennya, Darren berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke Sungai Thames. Tangannya mengepal, pikirannya penuh dengan bayangan pertengkaran Elea dan Adrian yang ia duga terjadi malam itu.
“Aku tidak bisa diam saja,” gumam Darren pada dirinya sendiri. “Aku tahu dia mencintai Adrian, tapi pria itu bahkan tidak tahu bagaimana menghargainya.”
Ia mengambil ponselnya, membuka pesan terakhir yang ia kirimkan kepada Elea sebelumnya. Pesan itu belum dibalas.
Darren menghela napas panjang, lalu menatap pantulan dirinya di kaca. “Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa?”
Tatapannya berubah tajam. Sebagai CEO yang terbiasa memimpin, ia tahu satu hal: ia tidak akan membiarkan Elea terus terluka tanpa ia melakukan sesuatu.
Udara malam London yang dingin menyelinap dari celah kecil di jendela, tapi Darren tidak peduli. Kepalanya penuh dengan bayangan Elea—sosoknya yang selalu terlihat tangguh di kantor, tapi semakin sering ia temui, semakin ia sadar ada sisi rapuh yang tersembunyi di balik kekuatan itu.
Ia memutar tubuhnya dan berjalan menuju meja kerjanya yang penuh dengan dokumen dan laptop. Di layar, file tentang Elea dan Adrian terbuka, sebagian besar informasi itu ia kumpulkan tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia bukan tipe yang suka mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tapi cara Adrian memperlakukan Elea—dingin, tanpa rasa peduli—membuat darahnya mendidih.
Darren membuka salah satu file terbaru, laporan investigasi tentang proyek yang sedang ditangani perusahaan Adrian. Tidak sepenuhnya legal untuk ia akses, tapi sebagai seorang CEO, ia memiliki sumber daya yang memungkinkan. Ia memperbesar salah satu dokumen elektronik yang menunjukkan kesalahan fatal yang melibatkan Adrian. Rupanya, Adrian telah menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan luar tanpa mematuhi protokol internal. Dampaknya kecil di permukaan, tapi jika ditelusuri lebih dalam, itu bisa menjadi skandal besar.
“Tidak, ini terlalu ekstrem,” Darren bergumam pada dirinya sendiri, melangkah mundur dari layar. Menggunakan informasi ini untuk menjatuhkan Adrian tidak hanya melanggar etika, tapi juga membuat Elea terseret dalam situasi yang lebih buruk.
Tapi pikirannya terus kembali pada satu hal: bagaimana Adrian membuat Elea nyaris menangis malam itu.
“Aku harus membantunya. Tapi dengan cara yang benar,” Darren akhirnya memutuskan, menutup laptopnya.
***