Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
Setelah kepergian keluarga mertuanya, Anjani duduk sendirian di ruang tamu. Rumah itu terasa hampa. Sunyi. Sesunyi hatinya yang perlahan retak. Jam di dinding berdetak pelan, seolah mengolok-ngolok waktu yang bergerak lambat. Ia melirik ponselnya. Tak ada pesan. Tak ada kabar dari Riki.
Malam mulai turun perlahan. Udara makin dingin, dan kesepian mulai merambat ke tulang. Ia menggigit bibirnya. Ingatan tentang ucapan ibu mertuanya siang tadi kembali menggema di kepalanya.
"Yah, tapi sampai kapan kamu jadi beban suami? Kalau kamu ibu rumah tangga terus, lama-lama bosan juga dilihat orang."
Anjani menghela napas panjang. Ia membuka aplikasi m-banking. Sebuah notifikasi baru muncul—uang masuk sebesar lima puluh juta rupiah. Ia mengecek saldonya: Rp1.350.000.000.
Ia menatap layar ponselnya lekat-lekat.
“Haruskah aku tunjukkan semua ini? Supaya mereka tahu, aku bukan beban…” bisiknya lirih.
Namun hatinya ragu. Ia terdiam lama. Tapi tekadnya mulai tumbuh.
“Baiklah. Besok aku akan bongkar siapa aku sebenarnya. Biar mereka berhenti merendahkan. Aku punya tanah, aku punya 300 pintu kontrakan. Cukup!” desisnya pelan namun pasti.
Lalu ia membuka WhatsApp. Matanya terbelalak. Di status Nina, tampak foto Riki dan Lusi duduk berdekatan, tertawa. Di foto berikutnya, Lusi menyuapi Riki dengan mesra. Anjani membeku.
Air matanya menetes tanpa bisa dibendung.
“Jadi ini alasannya…” bisiknya, getir.
Ia menatap layar itu lama. Lalu melihat status WA Nani: “Selamat ulang tahun calon kakak ipar.”
Tangannya hampir mengetik balasan. Tapi ia urungkan.
“Buat apa?” gumamnya pelan. “Kalau mereka tidak bisa menghargai aku, aku juga tidak akan memaksa diriku tetap tinggal.”
Memilih Riki bukan keputusan mudah bagi Anjani. Itu adalah sebuah pengorbanan besar—bukan hanya hati, tapi juga harga diri. Ia masih ingat betul bagaimana ia harus berdebat sengit dengan Reno dan Rini, kakak-kakaknya yang begitu menyayanginya. Mereka menolak keras saat tahu Anjani ingin menikah dengan Riki.
“Dia dari keluarga yang suka merendahkan orang lain, Jan. Kamu pantas dapat yang lebih baik,” tegas Rini saat itu.
Tapi Anjani bersikeras. Ia percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya. Ia percaya Riki bukan seperti keluarganya. Ia melihat sisi dewasa dalam diri Riki yang tak ia temukan pada lelaki lain.
Pikirannya melayang. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya saat mengingat Rizki—teman Reno—yang pernah menyatakan cinta padanya di pematang sawah. Saat itu para buruh tani sedang panen, dan Rizki berdiri kikuk dengan setangkai bunga liar di tangan.
Anjani terkekeh sendiri. “Norak banget,” gumamnya.
Tapi kenangan itu hangat. Tulus. Rizki memang pecicilan, terlalu riang dan sering bercanda. Beda dengan Riki yang kalem, pendiam, dan terlihat bertanggung jawab... setidaknya dulu.
“Astagfirullah…” Anjani tersentak, buru-buru mengusap wajahnya. Kenapa ia jadi membayangkan lelaki lain? Ia masih istri Riki. Meski disakiti, dilecehkan, ia masih terikat janji. Tapi luka ini… sudah terlalu dalam untuk terus disangkal.
Ponsel Anjani tiba-tiba berdering. Nama Reno, kakaknya, tertera di layar. Ia segera mengangkat.
“Halo, Bang,” sapanya pelan.
“Apa kabar adikku sayang?” suara Reno terdengar hangat, seperti biasa.
“Baik, Bang,” jawab Anjani mencoba terdengar ceria.
“Kenapa, kayaknya kamu sedang bersedih? Apa karena transferan dari Abang kurang? Sekarang hasil panen lagi berkurang, nih,” jelas Reno.
“Enggak kok, Bang,” ucap Anjani cepat.
“Jangan bohong, kamu. Apa Riki menyakitimu?” suara Reno berubah serius.
“Enggak, Bang. Suamiku baik, kok,” jawab Anjani lirih. Ia ingin sekali membuka luka di hatinya, tapi memilih bertahan. Bukan malam ini.
“Ya sudah, kalau kamu baik-baik saja. Sudah malam, cepet tidur ya,” ucap Reno lembut.
“Iya, Bang,” balas Anjani. Suaranya nyaris pecah.
Air mata menetes diam-diam. Kakaknya tak pernah berubah—selalu menjaga, selalu menyayanginya, meski jarak memisahkan mereka.
Anjani terus menatap jam dinding. Jarum panjang dan pendek menari pelan menuju angka sepuluh. Rumah masih sepi. Riki dan keluarganya belum juga pulang. Hatinya mulai resah, tapi ia tetap menunggu.
Tepat pukul sebelas malam, suara gerbang terbuka, disusul deru mobil yang tak asing lagi. Mobil itu—mobil yang DP-nya diam-diam Anjani bantu. Riki hanya setor lima juta, katanya promo dealer. Mana ada promo seperti itu? Sisanya, tiga puluh juta, Anjani tambahkan dari tabungannya sendiri. Tapi mobil itu malah dipakai untuk menghadiri pesta ulang tahun Lusi, wanita yang kini mengisi status WhatsApp dengan foto-foto mesra bersama suaminya.
Anjani membuka pintu.
"Belum tidur kamu?" tanya Riki singkat.
"Belum, Bang. Nunggu abang pulang kerja," jawab Anjani, mencoba tetap hangat.
"Pestanya mewah banget ya," komentar Nina sambil melepas sepatu.
"Mewah dong, orang kaya begitu," sahut Mirna, matanya berbinar.
"Mudah-mudahan jadi, ya," celetuk Nani dengan senyum menyebalkan.
Riki melirik tajam ke arah adik-adiknya.
"Sudah malam. Sebaiknya kalian tidur," tegur Adi.
Anjani meraih tas Riki dan menatanya dengan rapi. Ia juga merapikan sepatunya, lalu menggantung jas suaminya. Namun saat itu juga, aroma parfum perempuan menyengat hidungnya. Wangi yang sama dengan yang dipakai Lusi di foto.
Dadanya sesak. Tapi ia tahan.
"Bang, mau makan dulu atau mandi?" tanyanya lembut.
"Aku sudah makan. Mau langsung istirahat," jawab Riki dingin.
Anjani menghela napas panjang.
"Bang... emang abang nggak inget ini hari apa?" tanyanya pelan.
"Hari Rabu. Kenapa sih kamu nanya hal-hal nggak penting kayak gitu? Sudahlah, aku mau tidur!" sahut Riki ketus.
Anjani terdiam. Bibirnya bergetar.
“Bang, kamu rayakan ulang tahun wanita lain… dan melupakan ulang tahunku sendiri. Kamu tega, Bang,” ucap Anjani dalam hati, menahan isak yang nyaris pecah.
Anjani tak bisa memejamkan mata. Malam makin larut, tapi hatinya semakin gaduh. Ia bangkit dari ranjang, mencoba mencari kesibukan. Tangannya mulai memilah-milah pakaian kotor yang akan dicuci esok hari. Satu per satu ia sortir, sambil bergumam pelan.
Besok akan jadi hari yang panjang. Pekerjaan rumah tak pernah ada habisnya—menyapu, mencuci, memasak, merapikan semuanya. Tapi tak pernah ada yang melihat itu sebagai kerja. Karena tak menghasilkan uang, pekerjaan ibu rumah tangga seperti dirinya dianggap remeh. Itulah nasib sebagian perempuan yang memilih mengabdi di rumah.
Saat merogoh kantong celana Riki, tangannya menemukan selembar struk belanja dari sebuah butik ternama. Matanya langsung membulat.
“Dua juta rupiah? Gila... ini baju siapa? Apa mungkin kado ulang tahun buat aku?” Anjani memaksa dirinya berpikir positif. “Kalau iya, aku akan sangat berterima kasih. Tapi kalau itu buat Lusi… awas saja kamu, Bang,” ucapnya dalam hati.
Ia menggenggam struk itu erat, lalu kembali ke kamar. Riki tampak sudah tertidur pulas. Tapi satu hal membuat Anjani mengernyit—ponsel Riki yang biasanya tergeletak di nakas, kini tersembunyi di bawah bantal.
“Ini… benar-benar ciri orang yang sedang selingkuh,” pikirnya. “Di HP-ku ada uang miliaran, aku santai saja. Sedangkan kamu, paling isinya sepuluh juta, tapi disimpan seperti menyembunyikan emas. Kamu bukan takut hartamu hilang, tapi takut rahasiamu terbongkar.”
Anjani menatap bayangannya di cermin. Ia menyentuh pipinya, menyapu rambutnya pelan.
“Apakah aku sudah tidak cantik lagi, Bang? Aku ini dulu kembang desa, loh. Banyak pemuda kaya antre melamarku. Tapi aku memilih kamu, karena aku pikir kamu tulus…”
Ia menahan napas. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku selalu berusaha jadi istri yang terbaik. Tapi kenapa sekarang aku mencium bau-bau pengkhianatan ini?”
Anjani menarik napas panjang, menepuk pipinya sendiri pelan, lalu mencoba tidur, meski matanya masih basah. Malam itu terasa sangat panjang.
pilih siapa yaa.. ikutan bingung 😆😆
Si Riki sama Ibunya biar nyaho.. wanita yg di elu-elu kan taunya adalah simpenen bapak/suami mereka 😜😜😜😆
Lanjuuttt kakakkkk....
Ditunggu kehancuran mantan suami Anjani...