"Mengemislah!"
Awalnya hubungan mereka hanya sebatas transaksional diatas ranjang, namun Kirana tak pernah menyangka akan terjerat dalam genggaman laki-laki pemaksa bernama Ailard, seorang duda beranak satu yang menjerat segala kehidupannya sejak ia mendapati dirinya dalam panggung pelelangan.
Kiran berusaha mencari cara untuk mendapatkan kembali kebebasannya dan berjuang untuk tetap teguh di tengah lingkungan yang menekan dan penuh intrik. Sementara itu, Ailard, dengan segala sifat dominannya terus mengikat Kiran untuk tetap berada dibawah kendalinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lifahli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Kedatangan Mantan Istri
...Happy reading!...
...•••...
Sepeninggalnya Ailard tanpa pembicaraan dengannya, Kiran merenung didalam kamarnya. Kegagalan untuk mendapatkan uang dari pria itu membuatnya galau, bukan karena ia ingin sekali bercinta dengan Ailard melainkan kondisi ibunya benar-benar sudah parah dan butuh dioperasi, biayanya tidak sedikit dan itu mencapai angka seratus juta. Sedangkan ia harus pandai mengelola dimana sebagian untuk hutang, ibunya, juga kebutuhan adiknya.
Mau tidak mau ia harus mendahulukan kesehatan Leyla, apapun masalah yang lainnya ia merasa tak begitu perduli selain menomor satukan terlebih dahulu kesehatan Leyla.
"Mbak..." Pintu kamarnya diketuk Rosemary, membuat Kiran tersadar dari lamunannya. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu.
"Rose? Lho bangun, ada apa sayang?" Kiran membuka pintu dengan senyuman tipis.
"Rose ngga bisa tidur lagi Mbak, mau tidur bareng Mbak Kiran boleh tidak?" Tanya Rosemary dengan tatapan mata penuh harapan. Kiran tersenyum kecil, anak ini benar-benar seperti malaikat kecil yang mampu sedikit menghapus beban pikirannya.
"Ayo masuk sini, kita tidur bersama," ajak Kiran sambil mengelus kepala Rose dengan lembut.
Rose dengan segera memeluk pinggang Kiran. "Terimakasih Mbak,"
Mereka berdua berbaring di atas tempat tidur. Rose memeluk boneka favoritnya dan menatap Kiran dengan mata polosnya. "Mbak, mbak baik-baik saja kan?"
"Baik kok, Rose kenapa bertanya begitu? Apa Mbak kelihatan sedang tidak baik-baik saja ya?"
Rose mengangguk pelan, "Mbak terlihat lelah, memang jadi dewasa itu capek ya Mbak? Soalnya aku lihat Papa, Paman Leo, Mommy Aira juga sering terlihat lelah."
Kiran terdiam sejenak, menatap lembut ke arah Rose yang begitu polos. Pertanyaan sederhana itu membuat hatinya sedikit tersentuh. "Iya, Rose. Jadi dewasa memang terkadang capek. Tapi, kalau kita ingat ada orang-orang yang kita sayangi dan yang menyayangi kita, capeknya bisa hilang sedikit demi sedikit."
"Rose sayang sama Mbak Kiran," ucap Rose sambil mendekatkan tubuh mungilnya ke Kiran. Ucapan sederhana itu memberikan sedikit kehangatan di hati Kiran, seolah memberinya kekuatan untuk terus berjuang, meski banyak masalah yang menantinya.
"Mbak juga sayang sama Rose," balas Kiran sambil mencium kening anak kecil itu. "Sekarang, tidur ya. Besok kita butuh banyak tenaga."
"Bentar dulu Mbak, selain itu ada yang ingin Rose tanyakan lagi."
Alis Kiran terangkat sedikit, terkejut namun tersenyum lembut melihat keingintahuan Rose yang tak henti-hentinya. "Apa lagi, sayang?"
Rose menarik napas dalam-dalam, seolah sedang menyiapkan diri untuk menanyakan sesuatu yang penting. "Mbak sama Papa saling sayang? Aku sempat lihat beberapa kali Papa peluk Mbak dan sun pipi Mbak."
Pertanyaan itu membuat Kiran terhenyak. Ia tidak pernah menyangka bahwa Rose yang masih kecil ini harus bertanya seperti itu, ia mencoba merangkai kata-kata yang tepat agar Rose tidak salah paham dan dapat dicerna sesuai dengan pemikiran polosnya.
"Itu, jadi Mbak beberapa kali hampir terjatuh dan untungnya ada Papa Rose yang berusaha bantu. Gitu kok, Nak," Kiran mencoba tersenyum, berharap penjelasan singkat itu cukup untuk menjawab rasa penasaran Rose.
Rose menatap Kiran dengan mata besarnya yang polos, masih tampak berpikir. "Papa cuma bantu Mbak supaya ngga jatuh ya?" tanyanya memastikan.
Kiran mengangguk cepat. "Iya sayang, Papa kamu orang yang baik dan perhatian. Dia selalu siap membantu siapapun yang perlu Papamu tolong."
Rose tersenyum kecil mendengar itu. "Iya, Papa memang baik banget Mbak, tapi Kiran ngga suka kalau Papa sudah marah-marah sama om-om gagah, aura Papa jadi serem."
Kiran tertawa kecil, mengusap lembut kepala Rose saat tahu maksud perkataan gadis kecil ini adalah saat Ailard memarahi para pengawalnya. "Papa Ailard melakukan itu untuk pekerjaan sayang, nggaa usah takut lagi ya. Sekarang kita tidur saja, biar besok kamu punya tenaga buat sekolah dan main sama teman-teman."
Rose mengangguk, akhirnya berbaring di samping Kiran dengan nyaman. Tak lama kemudian, napas kecilnya mulai teratur, tanda ia sudah tertidur.
Kiran tetap terjaga untuk beberapa saat, memandangi wajah tenang Rose yang sudah terlelap. Meski hatinya masih terasa berat dengan masalah yang ia hadapi, setidaknya malam ini, Kiran merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran gadis kecil ini yang menemani tidurnya.
•••
"Sialan!"
Ailard bergegas menuju bar pribadinya yang berada di sudut ruang. Setiap hentakan langkahnya menggetarkan lantai marmer di sepanjang koridor. Begitu tiba di bar, ia meraih botol whiskey favoritnya dengan kasar, menuangkan minuman ke dalam gelas besar, dan langsung meneguknya tanpa berpikir panjang.
Amarah dan frustrasi yang terus berputar dalam pikirannya membuat kepalanya terasa berat menyala. Penasaran, Kirana memutuskan untuk menuruni tangga dan menuju ke arah bar pribadi di lantai dasar. Sesampainya di sana, ia melihat Ailard yang sedang duduk dengan gelas whiskey di tangannya, ekspresi wajahnya gelap dan penuh frustrasi.
“Mas?” suara Kiran lirih, mencoba tidak mengganggu terlalu banyak.
Ailard mengangkat kepalanya sedikit dan menoleh kearah Kiran, "jangan ganggu saya!"
Kiran tak menggubris perintah pria itu begitu melihat sudut bibirnya berdarah, "Mas kamu terluka." Hendak mendekat, Ailard sudah memasang tampang berang yang memperingatkan Kiran untuk tidak mendekat. "Saya bilang jangan ganggu!" suaranya semakin keras, nada amarah di dalamnya jelas.
"Sebentar, aku ambilkan kotak P3K," ucap Kiran dengan nada pelan, meskipun Ailard sudah mempringati ia tetap bebal.
Ailard menggeram, matanya memicing penuh amarah. "Tidak perlu!" suaranya terdengar serak, hampir seperti gertakan, namun Kiran tetap tak menggubrisnya.
Ketika kembali, Kiran segera membuka kotak itu dan perlahan mendekat, meski tahu Ailard bisa saja menolak. Dengan gerakan hati-hati, dia mengambil kapas dan antiseptik.
"Diobati ya Mas, sini aku bantu." Begitu tangannya ingin menyentuh wajah pria itu, Ailard langsung bersingkut menjauh.
"Kamu tidak dengar apa yang saya bilang? Perlu saya tegaskan dengan cara saya?"
Tentu saja Kirana tak terpengaruh oleh ancamannya, karena ia sudah tahu watak Ailard ini seperti apa. Begitu perintahnya tidak di penuhi ia pasti akan berbuat sesuatu yang membuat Kiran sering mendapatkan kejutan tak terduga darinya.
"Mas..." Kiran mengulangi dengan nada lembut, seolah mencoba menenangkan binatang liar yang siap menyerang kapan saja. Ailard menatapnya tajam, tetapi kali ini, ekspresinya sedikit melunak.
Kiran mendekat lagi, kali ini lebih perlahan, memberi ruang bagi Ailard untuk mundur jika ia mau, tetapi dia tidak bergerak. Dengan tangan yang lihai, Kiran berhasil menyentuh bibir pria itu, mengelap darahnya dengan hati-hati.
Ailard tersenyum sinis. "Begitu keinginanmu tak terpenuhi, begini caramu terus merayu saya, hmm?"
"Tidak Mas, aku hanya membantu membersihkan lukamu. Biarpun katamu kecil dan tidak terasa sakit sama sekali, tetap saja ini namanya luka."
Kini Ailard tertawa pelan, lucu sekali dengan kelakuan perempuan yang ia sebut dengan kata 'rendahan' itu.
"Saya tidak bisa dibohongi, kamu benar-benar ingin saya masuki kan? Tapi sayangnya saya tak berminat bercinta denganmu untuk malam ini," Ailard menepis tangan Kiran yang menyentuh pipinya sedikit menekan. "Enyah kamu dari hadapan saya! Tak ada bantahan!" Interupsi kali ini yang pria itu ucapakan cukup untuk membuat Kiran mundur satu langkah, ia bereskan kotak P3K kemudian pergi dari hadapan Ailard.
•••
"Kirana, dimana iPad saya?" Bertanya begitu Kiran segera memberikan iPad pria itu yang ia simpan dengan baik selepas semalam tergelak begitu saja diatas sofa.
Ailard menerima iPad dari tangan Kiran tanpa banyak bicara, segera membuka beberapa laporan yang dikirimkan oleh sekretarisnya. Matanya fokus pada layar, membaca setiap detail yang tersaji di sana. Sementara itu, Kiran dengan cekatan membantu memasangkan dasi pria itu. Gerakannya hati-hati, memastikan dasi terikat rapi di leher Ailard.
"Mas..."
"Hmm?"
"Aku mau bicara tentang Rosemary,"
Mata pria itu seratus persen tertuju pada wajah Kiran, "kenapa dengan Rose?"
"Semalam Rose ingin tidur denganku, jadi aku ajak dia tidur bersama. Rose sempat bertanya Mas, tentang apa yang ia lihat saat kamu cium aku dimanapun—"
"Shit! Dia lihat?"
"Makannya itu aku bicarakan ini sama kamu Mas," ada jeda sebentar dari pembicaraannya kala pria itu duduk di sofa diikuti gerakan tangannya yang menepuk bagian disebelahnya.
Kiran duduk di sebelahnya. "Apalagi yang ia bicarakan atau tanyakan? Saya ngga mau dia terlepas kontrol awasnya dari kamu. Saya ini tidak sebodoh itu melakukannya kalau kamu gak becus jaga anak saya." Begitulah Kiran disalahi padahal pria ini yang selalu tidak sabaran mencu*bunya dimanapun mereka memiliki tempat.
"Kamu yang selalu tarik dan bawa aku Mas, aku punya kewajiban jaga Rose tapi kamu yang begitu saat aku sedang bekerja." Kiran menyela, ia tak ingin soal pekerjaannya yang menjadi baby sister putrinya pria ini di kritik buruk, bukan karena ia tak mau ikut disalahkan hanya saja ia tak memiliki ruang bisa menerima kalau pria ini tidak mau mengaku bersalah juga.
"Sudah berani menyela ucapan saya kamu? Sok merasa paling benar begitu?" Pedas sekali setiap kata yang diucapkan pria ini, kadang ia mengumpat kadang ia mencela. Semua yang Kiran bicarakan selalu salah dimatanya, tak hanya itu mungkin nafas saja Kiran tetap salah bagi pria ini.
"Bukan begitu Mas, aku bicarakan ini supaya kita berdua hati-hati kedepannya. Kamu boleh lakukan apapun yang kamu mau sama aku tapi ada situasi yang ngga bisa kamu kuasai, yaitu jika anakmu sedang aktifitas bermain."
Ailard tetap tak terima apalagi Kiran berani sekali mengatakan begitu, "saya bisa kuasai apapun yang saya mau. Kamu jangan buat saya marah Kiran!"
Kalau sudah begini lagi, Kiran hanya bisa berkata maaf padanya, namun tetap saja ia ingin memberinya pengertian bahwa perlakuan tak senonoh tak boleh sampai dilihat anak kecil apalagi putrinya sendiri.
"Yasudah, solusinya bagaimana?"
Tak butuh lama Ailard berpikir karena ia sudah mendapati solusi nya. "Tambah satu baby sister."
•••
Hendak pergi menuju kantor, Ailard dikejutkan dengan kedatangan seorang perempuan yang sudah lama tak pernah muncul dalam penglihatannya bahkan mulutnya tak pernah sebut lagi setelah tiga tahun meredam dalam hatinya.
"Mas..."
"Apa kabarnya kamu dan putri kita, Rosemary?"
Lilyane Roseline Walker, begitu namanya kembali Ailard sebutkan dalam hatinya tatapan tegas itu jadi melembut. Namun, mengingat perlakuan perempuan itu padanya, ia kembali menunjukkan tatapan tajamnya.
"Mau apa kamu datang kemari Lilyane?"