Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Aksi Balas Dendam
Arga berdiri di depan kaca, menatap bayangannya sendiri. Pikirannya penuh dengan dendam yang telah lama ia pendam. Setelah semua yang terjadi—pengkhianatan, fitnah, dan berbagai rintangan yang dihadapkan padanya—ia merasa sudah waktunya untuk mengambil tindakan. Kali ini, dia tidak akan tinggal diam lagi.
---
Arga mendengar langkah kaki seseorang mendekat dari belakang. Itu Dira, yang terlihat cemas dan gelisah. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
Dira: (dengan nada khawatir) “Arga… Apa yang kau rencanakan? Aku melihat kebencian di matamu. Jangan lakukan sesuatu yang akan kau sesali.”
Arga: (menatap tajam ke arah Dira, mengangkat dagunya dengan penuh ketegasan) “Aku sudah memikirkan ini dengan matang, Dira. Ini bukan hanya tentang aku. Mereka sudah keterlaluan. Jika aku tidak bertindak sekarang, maka mereka akan terus menindas dan menghancurkan apa yang kita punya.”
Dira: (berusaha menahan air mata) “Tapi, Arga… Jika kau melakukan ini, apa bedanya kau dengan mereka? Dendam hanya akan menghancurkanmu perlahan.”
Arga memalingkan wajah, menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Dia tahu Dira benar, tetapi luka yang tertinggal di hatinya sudah terlalu dalam. Baginya, hanya dengan membalas semua yang telah diperbuat padanya, dia bisa merasa lega.
Arga: “Aku sudah memutuskan, Dira. Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan hidup kita lagi.”
---
Setelah meyakinkan dirinya, Arga berjalan keluar rumah. Di depannya, sahabat lamanya, Bima, telah menunggu. Bima adalah satu-satunya orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Arga dan musuh-musuhnya.
Bima: (menyeringai sambil menepuk bahu Arga) “Jadi, sudah siap, Bro? Waktunya memberi mereka pelajaran yang tak akan pernah mereka lupakan.”
Arga: (mengangguk tegas) “Ini bukan sekadar balas dendam, Bim. Ini tentang keadilan. Aku hanya mengambil kembali apa yang telah mereka rampas.”
Bima: “Aku mendukungmu, Arga. Tapi ingat, ini bisa berbahaya. Mereka bukan orang sembarangan. Kau siap dengan risikonya?”
Arga: (mengeras) “Aku siap. Kalau aku harus jatuh untuk ini, setidaknya aku jatuh dengan alasan yang benar.”
Bima mengangguk, mengetahui bahwa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk menghentikan Arga. Mereka kemudian bergegas menuju lokasi di mana semua akan dimulai. Arga tahu bahwa ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh ketegangan.
---
Arga dan Bima tiba di lokasi yang mereka incar, sebuah bangunan tua yang digunakan sebagai tempat rapat rahasia oleh kelompok yang telah lama menindas Arga dan keluarganya. Dengan berdebar, mereka menyiapkan rencana dengan matang. Setiap langkah sudah diperhitungkan.
Arga: (berbisik) “Kita harus masuk dengan hati-hati. Aku tidak ingin mereka mengetahui keberadaan kita sebelum waktunya.”
Mereka melangkah perlahan, memasuki ruangan gelap itu. Di dalam, mereka melihat sosok-sosok yang sedang berbicara dengan nada serius, sosok yang selama ini berdiri di balik semua rencana jahat yang menghancurkan hidup Arga.
Arga merasa darahnya mendidih. Namun, ia menahan diri. Ini bukan waktu yang tepat untuk bertindak gegabah. Mereka bersembunyi, menunggu momen yang tepat.
---
Tiba-tiba, mereka mendengar salah satu dari mereka menyebutkan nama Arga dan keluarganya dengan nada menghina. Percakapan itu penuh dengan kebencian, dan Arga mulai memahami bahwa kebencian mereka jauh lebih mendalam dari yang ia bayangkan.
Anggota Kelompok: (tertawa sinis) “Arga itu terlalu naif. Dia pikir dia bisa melawan kita? Anak muda itu bahkan tidak tahu siapa yang dia hadapi.”
Arga mengepalkan tangannya, menahan amarah yang berkobar. Namun, ia tetap berusaha menjaga kesabarannya.
Arga: (berbisik kepada Bima) “Sudah cukup. Kita tidak bisa terus bersembunyi.”
Bima: (mengangguk) “Kau siap?”
Arga: “Lebih dari siap.”
Dengan keberanian yang terkumpul, mereka melangkah keluar dari tempat persembunyian. Saat musuh-musuhnya menyadari kehadiran mereka, seketika ruangan dipenuhi dengan ketegangan yang bisa dirasakan semua orang.
---
Arga: (dengan suara dingin) “Aku tidak akan membiarkan kalian merusak hidupku lagi. Ini adalah akhir dari semua kebohongan dan penghinaan yang kalian lakukan.”
Pemimpin kelompok itu menatap Arga dengan mata menyipit, tampak terkejut namun tetap tenang.
Pemimpin Kelompok: “Berani juga kau datang ke sini sendirian, Arga. Kau kira bisa melawan kami?”
Arga: “Aku tidak sendiri. Dan aku bukan anak bodoh yang dulu kalian hancurkan.”
Suasana semakin panas, dan perdebatan antara Arga dan pemimpin kelompok itu memuncak menjadi pertarungan emosional. Setiap kata yang diucapkan dipenuhi dengan dendam yang sudah terpendam begitu lama.
---
Tanpa aba-aba, situasi berubah menjadi kacau balau. Arga dan Bima berusaha bertahan dan melawan setiap serangan yang datang dari anggota kelompok. Meskipun fisik mereka tidak sekuat lawan, tekad dan amarah mereka membuat mereka terus berjuang.
Bima: (berteriak kepada Arga di tengah pertarungan) “Ingat tujuan kita, Arga! Jangan biarkan mereka menghancurkanmu!”
Arga teringat pada semua yang telah ia lalui, dan itu memberinya kekuatan tambahan untuk melawan. Namun, ia juga sadar bahwa dendam bisa membakar segalanya, bahkan dirinya sendiri.
Di tengah pertarungan, Arga berhasil mengunci pemimpin kelompok itu. Dengan suara serak, ia berbicara langsung ke wajah orang itu.
Arga: “Ini bukan hanya tentang aku, ini tentang semua orang yang pernah kalian sakiti. Kau pikir kau bisa lolos dengan semua kebusukan ini?”
Pemimpin Kelompok: (mencibir, mencoba tetap tenang) “Kau masih terlalu lemah untuk melawan kami. Bahkan jika kau menang hari ini, kau tidak akan pernah bisa merubah apapun.”
Arga: (dengan tatapan tegas) “Aku tidak perlu mengubahmu. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku tidak akan pernah menyerah pada ketidakadilan.”
---
Setelah pertarungan sengit itu, Arga berdiri di tengah ruangan dengan napas tersengal. Beberapa anggota kelompok terlihat tergeletak, sementara lainnya melarikan diri. Arga merasakan campuran kepuasan dan kehampaan yang sulit dijelaskan.
Namun, saat ia hendak meninggalkan tempat itu, terdengar suara langkah berat mendekat. Seorang pria yang lebih tua dan lebih berpengaruh dari pemimpin kelompok itu masuk ke ruangan. Wajahnya penuh amarah.
Pria Tua: “Kau kira kau bisa datang ke sini dan menang begitu saja, anak muda? Kau belum tahu siapa yang sebenarnya kau hadapi.”
Arga menatap pria itu, menyadari bahwa pertarungan ini jauh dari selesai.
Mampukah Arga menghadapi musuh yang lebih besar dan lebih berkuasa, atau justru dendam ini akan menjadi kehancurannya?
To be continued...