Nadif, seorang pria tampan berusia 30 tahun yang hidupnya miskin dan hancur akibat keputusan-keputusan buruk di masa lalu, tiba-tiba ia terbangun di Stasiun Tugu Yogyakarta pada tahun 2012- tahun di mana hidupnya seharusnya dimulai sebagai mahasiswa baru di universitas swasta ternama di kota Yogyakarta. Diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya, Nadif bertekad untuk membangun kembali hidupnya dari awal dan mengejar masa depan yang lebih baik.
Karya Asli. Hanya di Novel Toon, jika muncul di platform lain berarti plagiat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernicos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadif - Bab 12: Cowok Itu di Jaga, Jangan di Rusak!
Nadif membuka matanya perlahan, merasakan kekakuan di seluruh tubuhnya. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah gorden menyorot ke wajahnya, membuatnya semakin sadar dengan situasi di sekitarnya.
Kamar hotel itu terasa asing, bau alkohol dan parfum yang samar-samar tercium, sementara suara AC yang berdengung pelan menambah kesunyian di ruangan itu.
Dia mencoba menggerakkan badannya dan merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kulitnya. Matanya melebar saat ia menyadari bahwa dirinya tidak mengenakan pakaian.
Di sebelahnya, Jessy terbaring dengan wajah yang tenang, rambutnya yang panjang terurai di atas bantal putih. Dia juga tidak berpakaian. Paras cantik dan badan Jessy yang putih mulus dan s3*y hanya tertutup sedikit oleh selimut.
Nadif menutup matanya kembali, menghembuskan napas panjang. Kepalanya masih terasa berat, efek alkohol semalam masih terasa membayangi pikirannya. Dia berusaha keras mengingat apa yang terjadi, tapi semua tampak kabur. Satu-satunya hal yang bisa ia ingat adalah Jessy yang membawanya keluar dari pesta dan menuju kamar hotel ini.
“Gila… apa yang sebenarnya terjadi?” Nadif bergumam pada dirinya sendiri, merasakan gelombang emosi yang bercampur aduk dalam dadanya.
Jessy bergerak pelan, membuka matanya dan melihat Nadif yang sudah terbangun. Dia tersenyum lemah, tapi di balik senyumnya, ada ketegangan yang tampak jelas.
“Nadif… gue bisa jelasin,” suara Jessy terdengar serak, entah karena kurang tidur atau mungkin karena terlalu banyak bicara semalam.
Nadif hanya menatapnya dengan ekspresi kosong. “Apa yang terjadi, Jessy? Kenapa lo lakuin ini?”
Jessy menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di atas tempat tidur, menutupi dirinya dengan selimut.
“Gue... gue nggak tahu harus mulai dari mana. Gue tahu lo mungkin benci sama gue sekarang.”
Nadif menatapnya tajam. “Benci? Gue bahkan nggak bisa inget apa yang terjadi semalam. Dan sekarang, gue bangun dan semua ini... sial, ini bukan hal yang gue harapkan terjadi.”
Jessy menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca.
“Gue... gue minta maaf, Nadif. Gue bener-bener minta maaf. Semalam, gue kehilangan kontrol. Gue tahu ini nggak adil buat lo, dan gue ngerasa bersalah banget. Tapi... lo harus tahu satu hal. Gue suka sama lo, Nadif.”
Nadif hanya terdiam, hatinya berkecamuk.
“Suka? Jessy, ini nggak ada hubungannya dengan suka atau nggak suka. Ini tentang apa yang terjadi semalam. Gue udah bilang, gue nggak punya perasaan apapun sama lo. Gue... gue bahkan nggak bisa percaya ini terjadi.”
Jessy menundukkan kepalanya. “Gue ngerti. Tapi... lo harus tahu, alasan gue selama ini kasar sama lo, ngehina lo pas lo masih ngamen di Malioboro... itu karena gue nggak tahu gimana caranya ngadepin perasaan gue sendiri. Gue suka lo, tapi lo deket sama Vonzy, dan dia temen baik gue. Gue ngerasa kalah, ngerasa nggak ada harapan. Jadi, gue ngerespon dengan cara yang salah.”
Nadif merasa kepalanya semakin berat. “Lo pikir itu cukup buat lo ngelakuin ini? Buat lo ngerusak semuanya?”
Jessy menggelengkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya.
“Nggak, nggak ada alasan yang cukup buat ngerusak hidup lo. Gue tahu gue salah, gue tahu gue ngelakuin hal yang nggak bisa dimaafin. Tapi... gue cuma pengen lo tahu perasaan gue.”
Jessy meraih tangan Nadif, menatapnya dengan putus asa.
“Gue minta maaf, Nadif. Gue tahu nggak ada yang bisa benerin ini, tapi gue cuma mau lo tahu kalau gue bener-bener nyesel. Gue harap lo bisa maafin gue.
”Nadif menatap tangannya yang digenggam Jessy, lalu pelan-pelan menariknya kembali.
“Gue perlu waktu, Jess. Gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin sekarang. Tapi gue nggak bisa pura-pura semua ini nggak pernah terjadi.
”Jessy mengangguk dengan berat hati, menyadari bahwa apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah.
“Gue ngerti, Nadif. Gue kasih lo waktu. Dan… sekali lagi, gue minta maaf.”
Nadif berdiri, mengenakan pakaiannya dengan cepat sambil menghindari tatapan Jessy.
“Gue butuh ruang buat mikir, Jess. Gue harap lo bisa ngerti.”
Jessy hanya bisa menatapnya dengan sedih, menyadari bahwa ia mungkin sudah kehilangan Nadif untuk selamanya.
Kamar itu terasa begitu sunyi dan penuh ketegangan, dan meskipun sinar matahari menerobos masuk, rasanya seakan-akan ada awan gelap yang menggantung di atas mereka.
Nadif berjalan keluar dari kamar itu dengan perasaan campur aduk, meninggalkan Jessy yang masih tenggelam dalam rasa penyesalannya.
Setelah keluar dari kamar, Nadif berjalan menuju balkon kecil di luar villa. Angin pagi yang sejuk menyapu wajahnya, tapi tidak mampu menenangkan pikiran yang kalut. Ia bersandar pada pagar balkon, memandang jauh ke hutan yang mengelilingi hotel itu. Meski udaranya segar, di dalam dirinya justru terasa panas oleh amarah dan kebingungan yang mendidih.
“Gila, kenapa semua jadi kayak gini?” gumamnya pada diri sendiri. “Kenapa gue bisa sebodoh ini sampai nggak sadar apa yang terjadi semalam?”
Dia mengingat kembali hidupnya sebelum semua ini—hidup di dunia yang lain, yang sekarang terasa begitu jauh. Di sana, dia sudah menikah dengan Nia, punya dua anak, Vino dan Veny. Dia sudah melewati semua fase hidup itu, dengan segala suka dan dukanya.
Tapi sekarang, di hidup yang baru ini, dia belum pernah merasakan apapun seperti itu. Dia masih perjaka. Atau setidaknya, dia adalah perjaka sampai semalam.
“Gue udah kehilangan perjakaan gue... Dan parahnya lagi, bukan sama cewek yang gue punya perasaan sama sekali,” dia bergumam sambil meremas pagar balkon, seakan mencari pelampiasan untuk amarah yang terus mendesak.
“Dan itu bukan sama cewek yang gue sayang… Jessy, kenapa lo harus lakuin ini?”
Dia mengingat kembali wajah Nia, cinta yang dulu pernah begitu kuat dalam hidupnya yang lama.
“Dulu gue udah nggak perjaka, bahkan udah punya anak dua. Tapi itu hidup yang berbeda, dengan orang yang bener-bener gue cintai. Sekarang, semua udah hilang, dan gue ngerasain ini semua lagi… di waktu yang nggak seharusnya.”
Nadif menutup matanya, mencoba menahan gejolak di dadanya.
“Gue ngerasa marah, kesal, dan kosong sekaligus. Perasaan ini... sial, nggak ada kata yang bisa ngejelasin.”
Nadif membuka matanya dan menatap langit pagi yang mulai cerah. Ia tahu dia harus melanjutkan hidupnya, tapi perasaan kekosongan dan kekecewaan ini tetap ada. Dia telah kehilangan sesuatu yang seharusnya berharga, sesuatu yang tak bisa diulang atau dikembalikan lagi.
“Gue harus gimana sekarang? Nggak ada jalan buat kembali… cuma bisa jalan terus. Tapi jalan terus buat apa?”
Dia menghela napas berat, merasa sendirian dalam kebingungan yang melanda dirinya. Perasaannya campur aduk antara marah pada dirinya sendiri, kecewa pada Jessy, dan frustrasi dengan situasi yang tidak bisa dia kendalikan.
“Gue nggak bisa tinggal di sini lagi, gue nggak bisa pura-pura semuanya baik-baik aja. Gue harus pergi, harus ninggalin ini semua dan nyari cara buat ngelupain apa yang terjadi.”
Nadif kemudian berbalik dan meninggalkan balkon, dengan langkah berat tapi tegas. Satu hal yang dia tahu pasti—hidupnya nggak akan pernah sama lagi. Dan dengan itu, dia meninggalkan Jessy sendirian hotel dan pulang ke kontrakannya di Kaliurang.
Kita sebagai pembaca seolah dibawa oleh penulis buat ngerasain apa yg Nadif alamin. Keren bangettt 🌟🌟🌟🌟🌟
semangat berkarya ya thor🙏🏽
#Gemes aku bacanya klw MC-nya Naif kaya gini.
Harusnya MC lebih Cool dan benar2 fokus memperbaiki diri, bahagiain keluarga, memantapkan karirnya. Jangan diajak2 RUSAK, malah mau...🙄