Pemuda tampan itu bukan siapa-siapa, sampai di mana ia ditemui wanita yang tiba-tiba menawarkan tiga juta hanya untuk ciuman bibirnya.
Sejauh Marco melangkah, tiada yang tahu jika di balik matrenya berondong itu, ialah pewaris tahta yang dibuang oleh ayah crazy rich-nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 012
"Hanya tiga bulan, Marco. Hanya sampai istri Boss kita selesai ngidam, kau boleh kembali ke Jakarta dan melanjutkan semester akhir mu."
Pak komisaris, Dominic Brian menepuk punggung Marco. Dukungan menyertai langkah Marco tentunya.
Sejauh ini, hanya Marco; satu satunya koki yang selalu bisa menemukan resep- resep terbaru, yang bahkan tidak pernah gagal dan selalu disukai para pelanggan restoran fine dining ala Asia mereka.
Marco menatap seluruh senior. Sudah dua tahun Marco bekerja di tempat ini, bergabung menjadi seorang koki, dan sejauh ini semua orang selalu bersikap baik padanya.
Hanya restoran ini yang bisa menerima pekerja berstatus mahasiswa sepertinya, pun lewat jalur khusus karena koneksi.
Resto yang masih milik X-meria, dan Langit yang memberikannya koneksi sebelum akhirnya, Langit pindah kuliah ke London.
Pekerjaan ini salah satu bentuk apresiasi Langit karena Marco juga pernah membantu dalam hal wanita incaran.
Allura? Entahlah, sedari Langit pindah ke London, Marco sudah tidak pernah lagi mendengar kabar fotografer itu. Masih hidup kah? Atau sudah tiada kah? Marco tak tahu.
Sering juga Marco memeriksa berita di keluarga Allura. Nyatanya, tak ada informasi yang bisa dia dapatkan soal apa pun mengenai Allura yang seakan ditelan bumi.
Padahal untuk beberapa bulan terakhir, Marco sengaja mendekati keluarga Allura, dimulai dari istri Boss yang ternyata justru membuat Boss cemburu padanya hingga mengambil tindakan rolling.
Marco paham sekali, bossnya yang Killer pasti merasa jengkel dengan permintaan aneh istrinya yang sering menyuruh Marco masak di Rumah dengan alasan ngidam.
Memang begitu resikonya memiliki wajah tampan. Yah, kalau disukai lawan jenis berarti harus siap dibenci oleh sesama jenis yang merasa tersaingi.
Ah entahlah, sudah dua tahun setengah berlalu, tetapi sosok Allura belum juga bisa Marco tepis dari otaknya. Masih cukup penasaran, masih hidup atau sudah tiada.
"Kau hanya akan bekerja di Singapura, selama tiga bulan. Jadi tidak perlu sedih begitu, ini tempat mu, dan kau akan kembali ke sini lagi."
Marco mengangguk, lalu mendengus setelah sebelumnya menghela napas. "Okay, Om! Marco akan kembali tiga bulan lagi."
Dominic tersenyum, lantas menepuk punggung Marco sekali lagi. "Begitu dong!"
...\=\=~©®™~\=\=...
Singapure, di balik dinding kaca apartemen milik wanita itu. Allura menyaksikan gedung- gedung di sebarang dengan mata telanjang.
Gedung pencakar langit menghiasi cakrawala. Sore hari, dengan suasana tropis, rapi, tertata dibalut senja berkelir jingga di atas kota.
Allura masih bernapas hingga detik ini, dengan dilema yang masih tiada mudah berakhir. Tentu saja karena Emmanuellson masih sibuk bolak- balik melamar kembali untuk menjadi suaminya.
Penyesalan selalu datang di akhir memang benar nyatanya. Tapi, entahlah karena bahkan Emmanuelle belum mencerai Silviana karena tak mau dicecar wartawan.
"Nuel dari sini, Al?" Patricia baru tiba dari supermarket, melirik ke arah meja yang menampakkan dua gelas Oren jus.
"Hmm, barusan dia bilang ada klien di lantai bawah, makanya mampir ke sini." Allura duduk di sofa, begitu juga dengan Patricia.
"Dia ajakin balikan lagi?"
"Yah, selalu." Allura mengangkat kedua bahunya ringan. "Dia tidak akan menyerah sebelum aku menerimanya."
"Kalau aku jadi kau, aku tidak akan pernah mau lagi menemuinya, Al." Patricia meletakkan belanjaannya di meja makan.
Ah benar, Allura masih belum tega mengerasi Emmanuellson. Kemarin- kemarin, Papinya sudah cukup keras menghukum mantan suaminya hingga babak belur.
Namun, Emmanuelle masih kekeuh melamarnya berulang kali. Seolah sedang menunjukkan keseriusan penyesalannya.
"Kau mau masak?" Allura bangkit dari sofa, berjalan mendekati Patricia. Wanita itu tidak memasak apa pun, justru tengah malas.
Patricia hanya memindah barang belanjaan ke lemari es. "Aku bosan dengan masakan ku sendiri, jadi, kita makan di luar saja, ya."
"Baiklah ... sekarang saja kalau begitu, aku sudah lumayan lapar." Allura melangkah menuju kamar demi meraih dompet, dan hoodie yang segera dipakainya.
Keluar-keluar, Patricia menatap protes padanya. "Konsep fine dining, Al! Apa kau serius akan makan dengan hoodie mu?"
"Aku malas memakai heels."
"Itulah kenapa kau tidak bisa mencari pengganti Emmanuellson. Kau terlalu cuek dengan penampilan!" tegur Patricia.
"Terserah deh." Allura tetap kukuh keluar dengan keadaan hanya mengenakan dress pendek yang dibalut sweater hoodie, bahkan hanya beralaskan sendal jepit.
Restorannya tidak jauh, keluar dari apartemen, ada bangunan besar bertema luxury fine dining. Allura sudah memiliki pengenal, maka apa pun pakaiannya, Allura tetap bisa masuk ke dalam restoran tersebut.
Restoran milik keluarga ibunya. Banyak yang melirik ke arahnya, jelas itu karena pakaian yang begitu mencolok, yang bahkan terkesan tidak sesuai dengan tema restorannya.
Allura tak pedulikan tatapan itu, hingga duduk di kursi VVIP. Dan, lirikan sinis berhenti di seketika itu juga, sebab tak seorangpun bisa duduk di sana jika bukan naratetama.
Dua orang pelayan datang menyatroni, memberi tablet menu touchscreen. Patricia menghela napas karena pakaian Allura membuatnya tidak berselera makan.
Di fine dining selalu disajikan satu set secara berurutan, dari makanan pembuka hingga makanan penutup, tetapi ada satu set menu yang membuat Patricia berceletuk.
Patricia menunjuk sebuah gambar pada tablet menunya. Dua makanan yang sering dilihatnya saat di Indonesia. Risoles basah dan risoles kering.
"Spring roll yang ini baru?"
Pelayan mengangguk. "Yah, Nona ... seminggu yang lalu kami kedatangan chef dari Indonesia. Dan kami ada menambah menu baru untuk hors d'oeuvres, Amuse bouche, Appetizer bahkan main course."
Patricia melebar senyuman. "Berikan kami makanan yang bertema Indonesia."
"Baik." Allura tak bicara karena Patricia sudah memesan dua. Lagi pula, Patricia tahu sekali apa saja yang menjadi selera sahabatnya.
Makanan dihadirkan secara step by step, di mana di setiap kali Allura memakan satu jenisnya, dari sup, salad hingga krimnya, wanita itu seperti tercenung sesaat seolah merasainya terlalu dalam.
"Kenapa?" tanya Patricia. Bahkan, pelayan yang masih berdiri di sisi mereka untuk hidangan selanjutnya, sedikit memberikan jeda untuk bicara.
"Aku kayak kenal sama makanan ini." Allura yakin, Allura pernah memakan makanan ini, tapi, entah di mana dia lupa.
"Ya iyalah, hanya konsepnya saja fine dining, tapi, makanannya masih sejuta umat yang ada di Indonesia! Risoles, nasi goreng!"
Tidak, bukan karena makanan itu familiar di negaranya, tapi, lebih kepada siapa yang memasaknya. "Ah, sudahlah. lupakan!"
Allura menepis yang ada di dalam pikirannya.
kalo anaknya Allura ya cucunya cucu, cucunya Snowy, apa namamya? dan Snowy barulah Cucunya Hilda