"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Ketemuan
Ryan berdiri di halte bus dengan perasaan tak karuan. Melihat jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 8:15 pagi, ia mendengus kesal. "Sial, terlambat lagi," gumamnya sambil menggigit bibir. Jakarta pagi itu masih sejuk, tapi keringat dingin sudah mulai membasahi pelipisnya.
Ketika bus datang, Ryan langsung naik dengan tergesa-gesa, duduk di bangku paling dekat pintu. Sepanjang perjalanan, pikirannya tak bisa tenang. "Gimana kalau Hana marah? Ini pertama kalinya aku ketemu dia di luar sekolah." Jantungnya berdegup kencang, dan tangan yang memegang pegangan bus gemetar.
Setelah perjalanan yang terasa seperti selamanya, bus akhirnya berhenti di dekat Taman Suropati. Jam di ponselnya menunjukkan 8:25. Ryan berlari kecil menuju air mancur di tengah taman, tempat ia dan Hana berjanji bertemu.
Setibanya di sana, ia mendapati dirinya berdiri sendirian. Hana belum terlihat. Ryan menghela napas panjang, rasa kecewa menyelimutinya. 'Selalu aja kayak gini. Selalu bikin kesalahan,' pikirnya sambil menunduk.
"Ryan!"
Suara lembut tapi tegas memanggilnya dari belakang. Ryan menoleh cepat. Di sana, Hana berdiri, mengenakan dress pastel yang anggun, rambut panjangnya tergerai. Senyuman di wajahnya membuat Ryan merasa lega.
"Hana! Maaf aku terlambat," ucap Ryan terbata-bata, suaranya serak karena gugup.
Hana tertawa kecil. "Nggak apa-apa. Aku juga baru sampai. Maklum Jakarta, macet," jawabnya santai sambil mengedipkan mata. Sebenarnya, ia telah menunggu nya dari jam 8 tepat.
Ryan tersenyum malu. "Iya, macet," balasnya, meskipun sebenarnya ia hanya sulit memilih pakaian.
Mereka mulai berjalan pelan menyusuri taman. Udara pagi yang segar ditemani bunga yang mekar di sepanjang jalan membuat suasana terasa damai. Burung-burung berkicau riang, menciptakan suasana yang menyenangkan.
"Jadi, apa rencanamu hari ini?" tanya Hana sambil menoleh ke arahnya.
Ryan merenung sejenak, tak punya rencana pasti. "Mungkin kita bisa ke kafe dulu? Sarapan?" jawabnya hati-hati.
Hana mengangguk setuju. "Bagus juga, aku juga belum sarapan."
Mereka menuju kafe kecil tak jauh dari taman, Kafe Kopi Nusantara. Tempatnya tenang dengan suasana cozy, dikenal dengan kopi lokal yang nikmat. Ryan dan Hana memilih tempat duduk dekat jendela, memesan kopi dan roti bakar.
"Jadi, gimana Hari minggu mu?" tanya Hana sambil menyeruput kopi hangatnya.
Ryan tersenyum kecil, merasa lebih nyaman sekarang. "Baik. Aku mulai coba olahraga lagi."
Hana mengangkat alis, tertarik. "Oh ya? Olahraga apa?"
"Jogging, sama latihan ringan di rumah. Aku pikir, udah waktunya jaga kesehatan," jawabnya dengan bangga.
Hana mengangguk, tersenyum. "Itu bagus. Kesehatan memang penting."
Ryan merasa senang mendapat dukungannya. "Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan?"
"Aku sibuk latihan piano. Bulan depan ada konser kecil," jawab Hana sambil tersenyum.
Ryan terkejut. "Wah, konser? Keren! Aku mau datang kalau boleh."
Hana tertawa. "Tentu saja, aku akan senang kalau kamu datang."
Percakapan mereka mengalir lancar. Ryan merasa nyaman berbicara dengan Hana, meski sesekali rasa gugup menyelip di dalam hatinya. Setelah mereka selesai sarapan, Hana punya ide.
"Aku lagi kepingin ke Dunia Fantasi. Udah lama banget nggak ke sana," ujarnya.
Ryan tersenyum lebar. "Dufan? Ayo, itu ide bagus!"
Mereka segera menuju Dunia Fantasi di Ancol. Perjalanan lancar, dan mereka tiba sekitar pukul 10 pagi. Dufan sudah ramai dengan pengunjung, keluarga, dan teman-teman yang menikmati akhir pekan mereka.
"Permainan apa yang mau dicoba dulu?" tanya Ryan saat mereka masuk ke area permainan.
Hana melihat sekeliling, matanya berbinar. "Kayaknya aku pengen coba yang ringan dulu. Gimana kalau main capit boneka?"
Ryan mengangguk setuju, meski tak terlalu yakin dengan kemampuan capitnya. Mereka berjalan menuju deretan mesin capit, dan Hana menunjuk satu boneka beruang cokelat dengan syal merah.
"Imut banget!" katanya.
Ryan mengambil tantangan itu dengan percaya diri. Ia memasukkan koin dan mulai menggerakkan capit. Tapi saat capit turun, ia meleset. Boneka itu tetap di tempatnya.
"Ah, maaf," ucapnya sambil tersenyum kaku.
"Coba lagi, nggak apa-apa," dorong Hana.
Ryan mencoba lagi, tapi tetap gagal. Ia mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Kayaknya aku nggak berbakat untuk ini."
Hana tertawa kecil. "Biar aku coba sekarang."
Hana memasukkan koin dan dengan gerakan lincah, ia berhasil menangkap boneka itu dalam sekali percobaan.
"Yay!" seru Hana sambil mengambil boneka itu dari mesin.
Ryan menatapnya kagum. "Kamu hebat."
Hana tersenyum, lalu menyerahkan boneka itu kepadanya. "Ini buat kamu."
Ryan terkejut. "Buatku? Tapi kan kamu yang dapet."
Hana tersenyum lembut. "Anggap aja kenang-kenangan hari ini."
Ryan mengambil boneka itu dengan hati-hati. "Terima kasih. Aku akan menjaganya."
Mereka melanjutkan petualangan dengan mencoba berbagai permainan, dari komidi putar hingga roller coaster yang mendebarkan. Tawa dan teriakan mereka bercampur dengan suara riuh pengunjung lainnya.
Saat melewati rumah hantu, Hana tiba-tiba berhenti. "Kamu berani masuk?" tantangnya sambil menaikkan alis.
Ryan menelan ludah, merasa ragu. Tapi harga dirinya tetap harus dijaga. "Tentu aja berani," jawabnya, meski hatinya tak setuju.
Mereka masuk ke dalam rumah hantu. Suasana gelap dan seram langsung menyelimuti mereka. Di setiap sudut, ada suara-suara aneh dan bayangan menyeramkan. Ketika hantu pertama muncul, Hana langsung memegang lengan Ryan erat-erat.
"Astaga!" teriaknya, membuat Ryan juga terkejut.
Mereka terus berjalan lebih dalam, tapi suasana semakin tegang. Hantu-hantu muncul tiba-tiba, mengejutkan mereka di setiap langkah. Di dalam hatinya, Ryan terus menyesal masuk ke sana.
"Kenapa kita masuk ke sini?" gumam Ryan, setengah menyesal.
"Kamu yang bilang berani!" jawab Hana sambil tertawa tegang.
Di pintu keluar, seorang staff dengan kostum hantu paling menyeramkan muncul tepat di depan mereka. Hana dan Ryan berteriak serempak dan berlari keluar secepat mungkin.
Begitu keluar, mereka tertawa terbahak-bahak, meski wajah mereka masih pucat.
"Kita bener-bener payah," kata Hana sambil mengatur napas.
Ryan mengangguk, tersenyum malu. "Iya, kita harus hindari rumah hantu untuk sementara."
Mereka duduk di bangku taman untuk beristirahat. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang, dan matahari mulai terasa menyengat.
"Hari ini menyenangkan," kata Hana sambil memandang langit.
Ryan mengangguk setuju. "Ya, terima kasih sudah ngajak aku."
Tiba-tiba, Hana teringat sesuatu. "Aku baru ingat, sore ini ada les piano. Aku harus pergi sekarang."
"Oh, oke," kata Ryan, meski sedikit kecewa.
Hana tersenyum. "Sampai ketemu besok di sekolah ya."
"Sampai ketemu," balas Ryan.
Setelah Hana pergi, Ryan duduk sejenak, memandangi boneka beruang yang Hana berikan. 'Hari ini bener-bener menyenangkan,' pikirnya sambil tersenyum.
...----------------...
Sarah berjalan menyusuri trotoar, masih tenggelam dalam pikirannya setelah keluar dari toko buku. Tiba-tiba, aroma parfum yang familiar menyeruak. "Parfum kakak?" gumamnya.
Ia menoleh cepat, matanya tertuju pada seorang wanita yang berjalan dengan riang. Senyum lebar menghiasi wajah wanita itu, langkahnya ringan. Ada sesuatu yang menarik perhatian Sarah, meski ia tak bisa langsung mengenali apa itu.
'Mungkin cuma kebetulan,' batinnya. Namun, perasaan aneh mulai merayap di hatinya. "Apakah itu... Hana?"
Sarah menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. "Ah, nggak mungkin. Aku bahkan belum pernah lihat wajahnya."
Meski begitu, bayangan wanita tadi terus menghantui pikirannya saat ia melangkah menjauh. Ada rasa cemas yang samar, sesuatu yang ia tak ingin akui. "Kalau benar dia... aku harap kakak nggak terluka lagi," bisiknya pelan.
Di tempat lain, Ryan sedang mencari gym terdekat. "Baiklah," katanya sambil menarik napas dalam. "Sudah waktunya serius."
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂