NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

LUKA HUJAN

DEADLINE tugas Seni Rupa itu tiba pada waktunya.

Semalam Nara menyiapkan sebuah filosofi untuk lukisannya yang sudah jadi. Kupu kupu yang tengah terbang di alam bebas dengan cantiknya. Lukisan itu indah sekali. Yesha menyelesaikannya dengan sangat baik. Seminggu terakhir Nara penasaran sebenarnya apa yang Yesha lukis untuk tugasnya, tapi Yesha tidak pernah memberitahu lukisan seperti apa yang lelaki itu buat. Sejujurnya Nara lebih penasaran Yesha melukis apa untuk tugas miliknya sendiri daripada akan seperti apa nilai lukisan Nara nanti.

Rania menyelesaikan presentasi didepan kelas cukup baik. Semua orang bertepuk tangan. Rania kembali ke bangku dengan wajah masih sama tegangnya seperti didepan tadi. Lukisannya lumayan menurut Nara, tidak jelek, tapi tidak sebagus itu juga. Kalau Nara jadi gurunya, Nara akan memberi nilai B plus untuk lukisan Rania. Lumayan bukan? Setidaknya Rania tidak hanya melukis gunung atau pemandangan seperti anak TK.

“Keinarra, silahkan maju.”

Giliran Nara tiba. Ia bangkit dari bangku, menoleh ke kiri. Tepatnya pada Yesha yang mengangguk meyakinkan. Bukan. Dia bukan meyakinkan bahwa Nara bisa melakukan presentasi sendirian dengan baik. Melainkan meyakinkan bahwa lukisannya keren untuk dipamerkan didepan kelas. Padahal Nara juga membantu menyelesaikannya—didetik detik terakhir saja. Lagipula Yesha menolak dibantu, katanya bisa merusak karya—walaupun akhirnya lelaki itu mengizinkan Nara melukis di sebagian kecil sketsa.

“Halo, saya Keinarra Allea, berdirinya saya disini untuk mempresentasikan hasil dari tugas Seni Rupa yang diberikan seminggu lalu, yaitu membuat lukisan,” Nara membuka presentasi lukisannya. Ia menelan ludah, semua orang jelas menaruh atensi padanya. Bisik bisik bahwa lukisan itu bagus sekali satu dua kali menyapa telinga, membuat percaya diri.

“Ini lukisan yang saya buat, dengan judul ‘Freedom’. Atau kebebasan. Kupu kupu yang ada disini memiliki makna besar. Mengajari kita sebuah kesabaran dalam sebuah proses. Semakin kita bersabar dengan prosesnya, semakin indah hasil yang menunggu kita. Buktinya, sayap sayap kupu kupu ini indah, kan? Warna warna di sayap ini melambangkan rasa cinta dan keindahan yang akan kita dapatkan dari proses yang panjang. Setelah bersabar begitu lama. Dan setelah keindahan itu, yang kita dapatkan adalah kebebasan. Terbang kemana saja sayap ini ingin menuju, mencari kebahagiaan dilangit, pada bunga bunga. Kemana saja. Semua kebebasan itu didapatkan setelah sabar, dan pada akhirnya menemukan keindahan. Juga kebebasan untuk kebahagiaan.”

Semua orang menatap Nara, mendengarkan dengan seksama. Nara tersenyum manis, menatap seisi kelas dengan tatapan tulus, ia sungguh sungguh mengatakannya. “Sekian presentasi dari saya. Terima kasih.”

Tepuk tangan terdengar menggema. Nara kembali ke bangkunya.

“Baik, selanjutnya…”

“Bu.”

“Ya, Yesha?”

“Saya boleh duluan presentasi?”

Guru Seni Rupa itu berpikir sejenak, lantas mengangguk. Bahkan sejak tadi sedikit bingung kenapa Yesha tidak minta duluan presentasi. Biasanya Yesha akan melakukannya pertama kali.

Yesha maju kedepan kelas. Bahkan belum apa apa semua atensi kompak tertuju padanya. Entahlah, setiap Yesha tampil sebagai Yesha yang begitu mencintai seni, auranya berubah. Setiap dia membawa karya nya kedepan publik, sesuatu didalam dirinya seolah bisa menyita seluruh atensi. Memaksanya menjadi pusat perhatian.

“Saya Bramasta Yeshaka, kali ini, untuk yang kesekian kalinya teman teman, izinkan saya memaknai lukisan yang sudah saya kerjakan dengan sepenuh hati ini didepan teman teman semua.”

Nara membenahi posisi duduknya, menatap penuh pada sosok Yesha.

Lelaki itu membalik lukisannya.

Semua orang terkesima.

Itu sebuah lukisan yang menggambarkan seorang lelaki yang tampak sedang berdiri ditengah kesepian, dengan luka luka ditubuh, terlihat penuh misteri. Lelaki yang menghadap ke langit, berusaha menggapai seorang gadis dengan sayap kupu kupu, gadis yang bercahaya, yang sama sama memiliki luka. Bahkan sebelum Yesha menjelaskan makna dari lukisannya, semua orang seolah bisa membaca apa yang hendak disampaikan lelaki itu lewat lukisan yang ia buat.

Itu lukisan yang indah sekali. Seolah tidak dibuat oleh remaja berusia hampir delapan belas tahun.

“Inilah ‘The butterfly angel’. Tentang luka dan obat, tentang dia yang mengejar bukan untuk mengobati luka diri, melainkan ingin mencoba menjadi obat bagi kupu kupu yang terluka, mencoba menemukan keindahan dan kebebasan yang masih sering dipertanyakan…”

Nara termangu. Lukisan itu bukan tentangnya kan?

...***...

Wangi sabun menyeruak saat Nara baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut digulung handuk. Tepat saat ia baru berniat duduk dimeja rias, ponselnya terdengar berdering nyaring. Nara menyambar benda pipih itu, duduk diujung kasur, menggernyit saat melihat nama Yesha dilayar ponselnya.

“Apa?” Tanya Nara langsung.

“Lo dimana?”

Nara melihat pada jam dinding. Pukul enam lewat lima belas menit menjelang malam, “Jam segini menurut lo gue dimana?”

Yesha ber-hehe diseberang telepon, napasnya terdengar tersengal. “Bagus kalau gitu, gak sia sia gue lari lari kerumah lo.”

“Hah?”

Yesha mengatur napasnya sesaat, “Gue didepan rumah lo.”

“HAH?” Tidak. Nara tidak tuli untuk menangkap ucapan Yesha dari balik telepon. Gadis itu nyaris loncat mendengarnya. Heh, Yesha ini sungguhan didepan rumahnya atau hanya bergurau?

“Biasa aja sih, Mbak,” Yesha tertawa renyah diseberang telepon. “Gue masuk ya—”

“HEH MAU NGAPAIN SIH?” Semprot Nara.

“Ngapain kek.”

“Lo beneran didepan rumah gue?”

“Iya.”

“Bohong gue botakin lo besok.”

“Ah, udahlah gue masuk aja ya.”

“Heh, Yesha—”

Telepon ditutup.

Suara bel terdengar menggema ke seisi rumah. Nara melotot, kali ini sungguhan loncat dari tempatnya duduk. Bergegas ia keluar dari kamar, tidak peduli kepalanya masih dililit handuk, pakaiannya masih seadanya. Toh, hanya Yesha—kalau betulan Yesha. Bukan pangeran Charles.

“Ra! Ada temennya nih!” Suara Agatha terdengar.

Nara baru sampai ditengah tengah anak tangga, melongok kebawah dengan waspada. Agatha muncul dari ruang tamu.

“Temen kamu tuh.”

“Yesha?” Panggil Nara setengah berteriak.

“Iya, gue.” Hanya terdengar suaranya saja. Tapi itu betulan suara Yesha. Aduh, si resek ini mau apa sih?

“Katanya kalian ada janji keluar, kok kamunya belum siap gini sih?” Tanya Agatha, menatap Nara dengan aneh.

Heh, janji keluar apa? Kapan mereka membuat janji? Dasar ngarang. Nara melotot, menggeleng cepat, “Nggak ya! Siapa yang mau keluar dih?”

“Tapi itu temen kamu udah datang, udah rapi, masa mau dianggurin sih?”

“Suruh pulang aja.”

“Heh, walaupun emang gak ada janji sebelumnya mungkin dia sengaja ngajak jalannya dadakan. Udah kamu siap siap, hargain dia udah datang jauh jauh, mana nggak pake apa apa lagi datangnya. Coba kalau kamu yang diposisi itu, jadi tamu ke rumah orang tapi diusir sama tuan rumahnya, enak nggak? Nggak, kan?”

Nara berdecak kesal, kenapa jadi dia yang diceramahi? Harusnya si resek itu yang perlu dirukyah sekalian. Cowok gila. “Yaudah suruh tunggu aja, aku siap siap dulu.”

Agatha mengangguk, kembali ke ruang tamu.

Bergegas Nara naik lagi ke kamarnya. Secepat kilat mengobrak abrik lemari, mencari pakaian yang normal digunakan. Aduh, Nara harus pakai apa? Pun ia belum mengeringkan rambut, belum berdandan, belum ini, belum itu. Kenapa harus mendadak begini sih? Ah, tentu saja. Nara lupa. Yesha memang menyebalkan.

Setelah berhasil memilih baju—hanya celana jeans hitam dan crop cardigan berwarna biru langit, Nara bergegas mengeringkan rambut. Hairdryer-nya ia full kan, kedua tangannya sibuk bekerja seefektif mungkin. Salah satu kesulitan memiliki rambut panjang adalah ini, tidak bisa kering dadakan.

Dan walaupun secepat apapun Nara berusaha siap, pada akhirnya ia turun menghampiri Yesha satu jam setengah kemudian. Dengan rambut yang ‘dipaksa’ kering, riasan seadanya, dan pakaian yang tidak terlalu niat. Gadis itu nyengir, sedikit merasa tidak enak telah membuat Yesha lama menunggu.

Tapi diluar dugaan Nara, Yesha justru tersenyum cerah, menatap Nara lama sekali, membuat suasana jadi canggung diantara mereka.

Agatha yang sejak tadi menemani Yesha mengobrol akhirnya berdiri, menatap adiknya seraya geleng geleng kepala. “Satu jam setengah kakak kira pas turun kamu bakal berubah jadi Jennie Blackpink, saking niatnya siap siap.” Agatha sampai menyebut nama salah satu anggota girlgrup ternama Korea, tapi tetap salah ekspektasi.

Yesha terkekeh, “Gak sia sia kok, Kak.”

Agatha menoleh pada Yesha, bingung.

“Lebih cantik ini malahan.”

Eh? Nara melotot. Yesha ini bicara apa sih? Membuat wajah Nara mendadak merah saja. Pipinya rasanya keras menahan senyum.

Dan Agatha sudah sibuk ber-ehem ehem, tertawa kecil. “Yaudah, selamat nge-date ­ya. Yesha, jangan pulang kemalaman loh ya, titip Nara juga, kalau sampai kenapa napa…”

Yesha tertawa renyah, mengangguk sopan. “Siap, Kak, laksanakan. Yesha titip salam ke mama ya.”

Agatha mengangguk, “Nanti kakak sampaikan.”

“Udah yuk, jadi keluar gak?” Nara menyela percakapan.

Yesha beranjak, menyalami Agatha. “Duluan, Kak.”

“Hati hati Yesha, Ra.”

“Iya.”

Lima menit kemudian keduanya sudah berjalan bersisian menjauhi rumah Nara, menuju pusat kota. Langit diatas sana cerah, gemintang sesekali membuat Nara mendongak menatap keatas, tersenyum manis. Ia menyukai langit secerah ini, suasana disekitar mereka juga tidak begitu ramai. Mungkin karena bukan malam minggu, tidak banyak pasangan yang berlalu lalang di sekitar mereka.

“Lo nggak bawa motor?” Tanya Nara tanpa menoleh pada Yesha.

“Nggak. Sengaja.”

“Kenapa?”

“Mau jalan aja sama lo.”

Mereka keluar dari daerah komplek, mulai berjalan di trotoar, suasana semakin terlihat menyenangkan.

“Kenapa ngajak gue?” Tanya Nara.

Yesha menoleh pada Nara, membuat gadis itu juga ikut menatapnya. “Terserah gue dong mau ngajak siapa, emang nggak boleh?”

“Emang guenya mau diajak sama lo?”

“Ini lo ikut. Berarti mau.” Yesha mengedik acuh tak acuh, tersenyum penuh kemenangan. “Temenin gue jalan jalan, Ra. Anggap aja kita celebrate dapet dua nilai terbaik pelajaran Seni Rupa.”

Tadi disekolah, lukisan Yesha mendapat nilai A plus untuk pertama kali, dan lukisan Nara mendapat A minus. Dua nilai terbaik sejauh ini. Guru Seni Rupa sampai memuji filosofi yang dipresentasikan Nara dan Yesha didepan kelas. Berkata bahwa mungkin saja mereka menggambarkan lukisan itu dari kehidupan nyata, berdasar pada pengalaman.

Nara manggut manggut, setuju. “Boleh juga.”

Sepanjang trotoar, Yesha sering kali mencuri pandang pada gadis yang berjalan riang disisinya. Senyum Nara membuat Yesha ikut menarik kedua ujung bibirnya. Lihat, kedua mata gadis itu terlihat berbinar indah. Seringkali Nara menunjukkan bahwa dia selalu kesal pada Yesha. Tapi terkadang dia justru terlihat riang saat bersama Yesha, mudah tersenyum, mudah tertawa karena hal hal kecil. Dibalik sosoknya yang sering marah pada Yesha, Nara adalah gadis yang selalu terlihat ceria, dia orang yang menyenangkan.

“Yesha kita mau kemana?” Tanya Nara, membuat lamunan Yesha buyar.

Yesha memalingkan tatapan, hampir tertangkap basah sedang memperhatikan Nara. “Kesana.” Yesha menunjuk ke ujung jalan.

Nara menilik arah telunjuk Yesha. Diujung jalan sana terlihat ramai, orang orang berlalu lalang, keluar masuk ke suatu tempat yang wujudnya belum kelihatan karena masih beberapa belas meter lagi. “Kemana?”

“Kesana. Ayo makanya.”

“E-eh.”

Yesha menarik tangan Nara, mengajaknya berlarian sepanjang trotoar yang tidak ramai. Lelaki itu tertawa melihat wajah Nara yang terkejut. “Ayo, Ra!”

“Heh pelan pelan!”

Mereka berlarian dengan ritme yang sama menuju tempat yang ditunjuk Yesha. Menyadari betapa menyenangkannya cara Yesha mengajaknya pergi, Nara tersenyum lebar, sesekali tertawa saat mereka hampir menabrak orang orang yang berlalu lalang. Nara hendak minta maaf dengan benar, tapi suaranya terbawa angin saat Yesha kembali menarik tangannya, mereka tertawa.

Tiba didepan tempat yang dimaksud Yesha, kedua mata Nara membelalak sempurna. Binar disana cukup memberitahu Yesha betapa gadis itu kagum dengan apa yang ada dihadapannya. Yesha tersenyum lebar melihat itu. Nara sampai tidak sadar mereka masih berpegangan tangan.

Didepan mereka adalah sebuah lapangan hampir sebesar lapangan sepak bola, yang diatasnya digelar festival besar. Gemerlap lampu warna warni terlihat sejauh mata memandang. Lagu lagu menggema ke seantero taman festival. Wahana wahana bermain, stan stan permainan dan penjual barang maupun makanan berderet seperti tidak ada habisnya. Dan Yesha serta Nara berdiri tepat dibawah gerbang masuk, menatap takjub tempat itu.

“Gue nggak tahu ada festival deket sini.” Nara menyeka anak rambut didahi, menatap lurus.

“Baru dibuka tadi sore.” Yesha memberitahu.

“Kok lo tahu?” Nara menoleh cepat pada Yesha.

“Apa sih yang gue nggak tahu?”

Nara berdecih pelan. Tidak sengaja melihat kebawah, dan menyadari tangannya masih digenggam Yesha. Segera Nara menarik tangannya, membuat Yesha menoleh cepat. Dia juga baru menyadari itu.

“Stop modus pegang pegang gue.” Kata Nara, menatap Yesha mengancam.

“Emang anak kecil nggak akan hilang ditempat rame kayak gini?”

Nara melotot. Yang Yesha maksud anak kecil itu adalah dirinya. Jika ini disekolah atau di perpustakaan, Nara sudah sejak tadi menghajar Yesha. Ia tidak suka disebut anak kecil. Tapi berhubung mereka sedang di festival, dengan suasana yang baik nan menyenangkan, Nara memilih mengurungkan dulu niatnya itu. Tidak akan merusak suasana bagus ini.

“Liat aja gue tinggalin.” Nara berjalan mendahului Yesha memasuki area festival.

“Heh, tungguin!” Yesha mengikutinya, berusaha menyamakan langkah.

Sepuluh menit mereka berkeliling. Melihat lihat semua wahana dan stan yang ada. Dan selama itu pula senyum Nara tidak pernah luntur. Matanya sibuk bergerilya kesana kemari, sesekali menunjuk kembang api yang dinyalakan, membuat langit semakin indah.

“Yesha liat!”

“Iya, Ra. Gue nggak buta.”

Nara tertawa, “Indah banget ya?”

Yesha tersenyum lebar, mengangguk.

Mereka kembali berkeliling. Nara bahkan sampai rela berjongkok untuk memperhatikan beberapa anak kecil yang sedang bermain ikan pancing. Ia menyapa anak anak kecil itu dengan riang, menyemangati mereka supaya dapat ikan mainan lebih banyak. Atau Nara menonton orang orang yang bermain tembak gelas, ikut berseru semangat saat mereka mendapatkan hadiah. Atau melewati penjual aksesoris, gadis itu sibuk berdecak kagum, berkata bahwa ini lucu, atau yang itu bagus. Memegang lalu mengembalikannya ke tempat semula.

“Lo mau itu?” Tanya Yesha.

“Nggak.” Nara mengembalikan lagi sebuah jepit rambut yang lama sekali ditatapnya. “Yuk keliling lagi.” Ajak Nara.

Yesha mengangguk, mengikuti langkah Nara yang senantiasa ceria. Lihatlah gadis itu, Yesha jadi seperti mengasuh anak kecil disini.

Hampir tiga puluh menit mereka berkeliling. Yesha sempat membelikan Nara permen kapas yang terlihat lebih besar dari kepala Nara. Hingga gadis itu berhenti menikmati permen kapas, menunjuk bianglala yang tinggi menantang langit. Dengan kerlap kerlip lampu yang menyilaukan mata, Nara justru semangat sekali ingin menaikinya, mendongak menatap ujung bianglala.

“Ayo, Yesha. Pemandangan dari atas indah banget loh, masa lo nggak mau naik sih?”

“Gue nggak bilang gak mau ya, bocah.”

Nara cemberut, “Terus apa?”

“Gue nanya, lo seriusan mau naik itu langsung? Nggak mau keliling lagi?”

Nara menggeleng cepat, “Nggak, naik itu aja, ya Yesha, ya?” Bujuknya.

Yesha menghela napas, mengangguk. Demi melihat sorakan senang Nara, dan wajah cantiknya yang semringah. Jangan lupakan, dia sangat bersemangat.

Lima menit kemudian mereka sudah berada disalah satu ‘sangkar’ bianglala. Ya, bentuknya memang mirip sangkar, tapi dengan dua tempat duduk berhadapan didalamnya. Hanya muat untuk dua orang, dan satu permen kapas besar yang merepotkan.

“Lo mau habisin ini berapa lama lagi, Ra? Ngalangin aja nih permen kapas.” Yesha menggerutu. Sebab dia yang memegangi permen kapas itu setelah Nara berkata hendak mengambil foto pemandangan diluar sana.

“Sabar Yesha. Itu tuh makanan buat dinikmatin, bukan dimakan kayak nasi. Lagian suruh siapa lo beliin yang segede itu? Perut mungil gue harus berproses makannya.” Balas Nara tidak mau kalah. Masih sibuk memotret dengan ponselnya.

“Ini cuma permen kapas. Gue celupin sekarang ke air juga habis.”

“Gak boleh lah, itu, kan, belinya pake uang.”

“Uang gue.”

Nara tertawa. “Iya. Uang lo.”

Yesha tiba tiba merebut ponsel Nara yang masih teracung, membuat si pemilik berjengit kaget, menoleh hendak protes.

“Heh apaan, sih?”

Bukannya menjawab, Yesha justru menjauhkan tangannya, memasang kamera depan, membuat wajahnya dan wajah Nara terlihat dilayar ponsel.

“Ngapain, sih?” Tanya Nara.

“Foto lah, lo nggak liat?” Yesha menunjuk ponsel Nara dengan dagu, menyuruh gadis itu melihat pada kamera. “Nggak ada yang bisa foto sama gue se-gratis ini.”

Nara berdecih. Tapi lalu menghadapkan wajah pada kamera ponsel, memasang senyum terbaiknya. Yesha ikut melakukan hal yang sama, mulai menekan tombol shutter. Lima foto dengan gaya berbeda berhasil di abadikan.

“Udah ah, penuh memori gue.”

“Lumayan di hape lo ada foto orang ganteng.”

“Kebangetan ya pede lo.” Nara merebut permen kapasnya dari tangan Yesha. Selagi bianglala ini berputar lambat, menikmati permen kapas dan pemandangan kota yang menakjubkan dari atas sini adalah pilihan yang tepat.

Diam diam Yesha mengeluarkan ponselnya. Nara yang sibuk menikmati kegiatannya tidak sadar bahwa beberapa kali kamera ponsel Yesha berhasil mengabadikan paras cantiknya. Dengan rambut panjang yang beterbangan terkena semilir angin, ditambah pemandangan kota dibelakang sana, itu foto terindah yang pernah Yesha ambil dengan kamera ponselnya.

“Cantik ya.”

Nara menoleh, mengangguk semangat. “Iya, kan? Cantik banget pemandangannya.”

Yesha terkekeh, ‘dasar polos’, batinnya. “Iya.”

...***...

Pukul setengah sembilan malam. Setelah puas bermain tembak gelas selama satu jam yang tidak membuahkan hasil.

Nara berdiri diluar gerbang terbuka festival. Menunggu Yesha yang entah sedang apa didalam sana. Sepuluh menit lalu lelaki itu pamit hendak membeli sesuatu, mungkin minum atau apalah. Nara hendak ikut, tapi malah disuruh menunggu disini. Sebentar katanya.

Gadis itu mendongak ke langit. Tidak ada bintang lagi diatas sana, entah langit mendung atau apa. Tidak terlihat.

Sembari menunggu Yesha, Nara memilih memainkan ponsel. Hingga tiba tiba suara seseorang membuat Nara mendongak dari ponselnya.

“Nara!”

Nara termangu. Tubuhnya mematung lama.

Sementara didalam festival. Yesha mempercepat langkah meninggalkan penjual aksesoris. Ditangannya tergenggam sebuah jepit rambut dengan aksen kupu kupu kecil yang terlihat cantik. Itu jepit rambut yang sama dengan yang Nara tatap cukup lama tadi. Yesha hanya menebak gadis itu menginginkannya, jadi ia bermaksud membelikan satu tanpa sepengetahuan Nara. Karena jika tahu akan dibelikan, Yesha yakin Nara akan menolak.

Dengan penuh percaya diri dan senyum simpul, Yesha berjalan membelah kerumunan, menuju tempat dimana Nara menunggunya.

Yesha tiba disana. Dan langkahnya terhenti hitungan meter dari tempat Nara berdiri. Senyum Yesha luntur, matanya terpaku pada Nara. Dan sosok lelaki yang tengah memeluk gadis itu.

Atmosfer disekitar Yesha terasa melambat. Udara disekitarnya terasa disedot habis, membuat rongga dada Yesha sedikit menyempit. Ada sesak yang menjalar di dalam dadanya. Ada sesuatu yang seolah meremas hatinya. Sesuatu yang membuat Yesha mengepalkan tangannya tanpa sadar, rahangnya mengeras menahan sesuatu itu.

Langkah Yesha yang terasa melayang dipaksa mendekat pada Nara dan lelaki yang masih memeluknya. Tangan Yesha gemetar, nyaris menarik lelaki itu yang telah lancang menyentuh Nara.

“Yesha…”

Nara melihat Yesha mendekat. Bahkan lelaki yang memeluk gadis itu ikut menoleh, pelukannya terlepas, tapi kedua tangannya masih memegang lengan Nara.

“Lo siapa?” Yesha membalik bahu lelaki itu—yang segera ditepis kasar oleh si pemilik bahu.

“Harusnya gue yang nanya. Lo siapa deket deket Nara?”

“Gue temennya.”

“Gue pacarnya. Mau apa lo?”

Yesha termangu. Pacar? Lelaki itu menoleh cepat pada Nara, meminta penjelasan sekarang juga.

Nara menelan ludahnya kasar. Mengangguk samar namun cukup dimengerti oleh Yesha.

“Pacar lo?”

“I-iya.” Angguk Nara gugup.

“Lo bohong, kan?”

“Yesha—”

“Kenapa, Ra? Kaget liat aku ada disini? Tadi aku kerumah kamu, kak Agatha bilang kamu jalan keluar sama ‘temen’ kamu. Aku lebih kaget lho liat kamu bareng cowok gak jelas ini.” Reno menunjuk Yesha.

“Apa sih, Ren?”

“Kamu nggak seneng aku ada disini?”

“Gak gitu Reno—”

“Jadi dia cowok baru kamu itu? Yang bikin kamu ngelarang larang aku nyamperin kamu kesini? Yang bikin kamu selalu lupa kabarin aku? Yang sampe bikin kamu lupa sama aku selama berminggu minggu itu? Ini? Dia orangnya, Ra?”

“Apa sih, Ren? Yesha itu nggak ada hubungannya sama kita—”

“Iya, nggak ada sama kita. Adanya sama kamu.” Reno menatap Nara dengan kecewa. Padahal ada yang lebih ia kecewakan terlebih dahulu. “Aku jauh loh kesini, Ra. Buat apa? Buat minta maaf sama kamu, buat selesain masalah kita! Tapi ini yang aku dapat? Aku kecewa sama kamu!”

Nara termangu. Ia tidak tahu kalau Reno menyiapkan kalimat sebodoh itu untuk minta maaf padanya.

Kedua tangan Nara mengepal, emosinya memuncak, sudah tidak bisa dibendung lagi. “Yang minta kamu datang kesini itu siapa? Apa kata kamu? Kecewa? Dari awal pacaran kamu itu gampang marah! Tempramental! Sedikit sedikit aku yang salah! Apapun aku yang salah! Kamu yang selalu marah sama aku! Kapan aku marah sama kamu empat bulan ini? Hah? Kapan?! Kamu nggak pernah nerima apapun alasan aku kalau aku lupa ngabarin kamu! Dan malah nuduh aku selingkuh gak jelas! Kamu tuh nggak pernah percaya sama aku Reno! Dan cowok mana yang tega ngatain pacarnya cewek murah?? Yang harusnya kecewa disini itu aku!”

“FAKTA!” Reno justru balas membentak, membuat Nara berjengit kaget. Ia menatap Nara dan Yesha bergantian. “Emang mau digimanain juga barang murah itu tetep MURAH!”

BUGH!

“YESHA!”

Reno tersungkur di trotoar. Yesha melangkah mendekat padanya. Napas lelaki itu saling memburu. Yesha terlihat marah sekali. Kedua tangannya bahkan gemetar, emosinya tidak tertahan mendengar kalimat brengsek Reno.

“Bukan gitu cara ngomong sama cewek, bangsat!” Yesha menarik kerah baju Reno, memaksanya berdiri, lalu menghantamkan lagi satu tinju mentah ke wajahnya. Lagi lagi Reno tersungkur, menyeka ujung bibirnya yang berdarah. “NGOMONG GITU KE NARA SEKALI LAGI GUE BISA HABISIN LO DETIK INI JUGA!”

“YESHA! UDAH!” Nara menarik lengan Yesha, memaksanya mundur. Dengan emosi semarah ini Yesha bisa sungguhan menghajar Reno lebih parah.

Orang orang mulai berkerumun, penasaran dengan apa yang terjadi.

Susah payah Nara menarik Yesha menjauh, menahan tubuh lelaki itu. “Udah, Yesha!”

Reno bangkit berdiri. Sedikit terhuyung, ia tidak melakukan perlawanan. Lelaki itu terkekeh remeh, menatap Nara seolah gadis itu makhluk paling picik dimatanya. “JALANG MURAH LO!”

DEG.

Air mata Nara jatuh. Ribuan belati seolah baru saja menusuk dadanya dan mengoyak luka besar disana. Dibelakang Nara, Yesha hendak bergerak menghajar Reno lagi. Tapi suara Nara menghentikan pergerakannya.

“KITA PUTUS! DASAR SAMPAH!”

Nara melangkah cepat membelah kerumunan yang mulai terbentuk. Tangisnya pecah. Bahkan terlalu sakit untuk menggambarkan seberapa menusuknya ucapan Reno. Hari menyenangkannya berubah suram. Bahkan langit seolah tahu keadaan itu. Rintik hujan perlahan turun, tapi Nara tidak peduli. Saat ini ia hanya ingin segera pulang. Sesak, rasanya sakit sekali.

Nara hendak berbelok ke kanan, tapi mendadak lengannya ditahan dari belakang. Seseorang menarik tubuh Nara, tiba tiba membawa gadis itu kedalam sebuah dekapan. Bahkan tanpa melihat siapa yang memberikan pelukan itu, Nara tahu dari wangi parfum yang menyapa indra penciumannya bahwa pelukan hangat ini berasal dari seorang Yeshaka.

Usapan lembut dipunggung dan rambut panjangnya justru membuat Nara semakin terisak.

“S-sakit, Sha…sakit banget…”

“Iya, Ra…gue tahu.”

“Reno jahat…”

“Sstt…udah ya, jangan dibahas lagi.”

Rinai hujan mulai menderas. Yesha menghela napas berat, seolah bisa merasakan betapa rapuhnya gadis didalam dekapannya ini.

...***...

Sepanjang jalan menuju rumah Nara, tidak ada percakapan apapun diantara Yesha dan Nara. Mereka lebih banyak diam. Sibuk berkelahi dengan pikiran masing masing. Kejadian didepan festival itu masih berputar dikepala Nara seperti kaset rusak. Membuat rongga dadanya semakin sakit ketika bayangan wajah Reno melintas. Walaupun sudah tidak menangis lagi, ekspresi wajah Nara menunjukkan betapa sedih gadis itu sekarang. Betapa ucapan Reno melukai relung hatinya.

Hujan sudah tidak sederas sebelumnya. Tapi Yesha dan Nara tetap berjalan bersisian dibawah payung yang Yesha beli secara mendadak. Ia tidak mau Nara kehujanan dengan keadaan seperti ini. Melihat Nara yang masih sedih, tangan Yesha perlahan bergerak menggenggam tangan gadis itu lembut, berusaha memberikan semua kehangatan yang ada untuk menguatkannya.

Sejenak keduanya saling tatap. Yesha melempar senyum tulus, seolah berkata bahwa semuanya akan baik baik saja. Nara membalas senyum itu, dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Tidak apa. Setidaknya gadis itu sudah bisa tersenyum walau sedikit.

Mereka tiba di rumah Nara. Berdiri berhadapan didepan gerbang.

“Ra.”

“Hm?”

“Gue mau bilang makasih.”

Nara menggernyit tidak mengerti. Seharusnya Nara yang berterimakasih bukan?

“Buat apa?”

Yesha tersenyum tulus, mengeratkan genggaman tangannya pada Nara. “Makasih udah jadi cewek termahal yang gue kenal. Yang gak bisa disentuh sembarang orang. Yang susah diajak ngomong. Inget ya, lo itu mahal. Jauh lebih berharga dari apapun. Dan maaf gue udah lancang peluk lo tadi, genggam tangan lo juga. Gue minta maaf ya.”

Nara menyeka pipi, air matanya jatuh lagi. Yesha berhasil membuatnya benar benar tersentuh, menyelipkan sebuah ketenangan di hati Nara. Gadis itu tersenyum lebih baik, mengangguk. “Makasih Yesha.”

Yesha mengangguk.

“Maaf juga nggak ngasih tahu lo kalau gue punya pacar.” Kata Nara merasa bersalah.

“Nggak apa apa. Lagian lo nggak punya alasan buat ngasih tahu gue. Tapi udah putus, kan? Ck, emang cowok brengsek kayak gitu nggak pantes dapetin lo, Ra.”

Nara terkekeh, mengangguk setuju.

“Oh iya,” Yesha teringat sesuatu yang penting. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik sakunya. “Semoga bisa ngobatin sedikit rasa sedih lo.” Sebuah jepit rambut tersodor kehadapan Nara.

Nara termangu. Itu jepit yang diinginkannya. “Yesha…lo…”

Yesha merapikan rambut Nara yang sedikit tidak beraturan, lalu perlahan memakaikan jepit itu pada rambut Nara, tersenyum tulus. “Lo itu cantik kalau senyum, apalagi kalau ketawa. Dan gue seneng liatnya. Jadi jangan sedih lagi ya, Ra, gue nggak suka liat lo nangis. Kalau ada yang buat lo sedih lagi, atau ada yang perlu lo bagi, gue mau jadi tempat lo cerita. Jangan pernah ngerasa sendiri, selalu ada orang yang mau nemenin lo ngelewatin hujan. Dan kalau itu gue orangnya, gue siap nemenin lo, Ra.”

Nara tertegun lama. Matanya beradu tatap dengan mata Yesha yang selalu terlihat menawan. Jantung Nara berdebar keras merasakan sentuhan lembut Yesha dikepalanya, melihat senyum lelaki itu, sesuatu seolah memberikan Nara sebuah sengatan kecil.

Yesha kembali menggenggam jemari Nara, menatap gadis itu hangat. “Gue boleh peluk lo sekali lagi nggak?”

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!