NovelToon NovelToon
The Second Wife

The Second Wife

Status: sedang berlangsung
Genre:nikahmuda / Poligami / Cinta setelah menikah
Popularitas:13.2k
Nilai: 5
Nama Author: Gilva Afnida

Pergi dari rumah keluarga paman yang selama ini telah membesarkannya adalah satu-satunya tindakan yang Kanaya pilih untuk membuat dirinya tetap waras.

Selain karena fakta mengejutkan tentang asal usul dirinya yang sebenarnya, Kanaya juga terus menerus didesak untuk menerima tawaran Vania untuk menjadi adik madunya.

Desakan itu membuat Kanaya tak dapat berpikir jernih hingga akhirnya dia menerima tawaran Vania dan menjadi istri kedua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gilva Afnida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Vania tengah tertidur pulas saat Kanaya masuk ke dalam kamar inapnya. Kanaya duduk di samping ranjang, menatap Vania yang begitu tenang terbaring di atas ranjang pasien. Wajahnya tetap ayu meski tanpa mengenakan makeup. Usia mereka terpaut cukup jauh, Vania berusia sepuluh tahun diatasnya namun kecantikannya luar biasa.

Kecantikan Vania begitu natural, menurun dari sang ibu yang juga tak kalah cantiknya meski usianya sudah menginjak kepala lima. Hidung Vania mancung, berkulit putih bersih, memiliki gigi gingsul dan lesung pipi saat tersenyum. Tak hanya itu, surainya lurus, tebal dan kehitaman. Badannya kurus namun beberapa bagian penting menonjol sempurna karena rajin berolahraga dan menjaga pola makan.

Tak ayal, Adnan membandingkan dirinya yang seperti tidak ada apa-apanya dengan Vania.

Kanaya mengingat ucapan Vania tentang kecantikan yang berasal dari perawatan dan kepercayaan diri yang harus dibangun secara perlahan. Itu semua modal agar menjadi wanita yang cantik dan mempesona. Dalam benaknya, dia sangat menginginkan hal itu agar kelak dia tak menjadi wanita yang mudah diremehkan orang-orang.

Menunggui Vania yang masih tertidur lelap, Kanaya membuka ponsel dan memilih aplikasi berwarna hijau. Beberapa pesan dari Kevin perlahan mulai berkurang. Kanaya menghela napas pendek, berpikir mungkin saja Kevin sudah lelah untuk menanyakan keberadaannya.

Setelah berpuas diri membuka pesan satu persatu di aplikasi tersebut, Kanaya teringat dengan secarik kertas yang berada di balik saku jaketnya. Kanaya pun mengambil dan memasukkan nomer yang tertulis ke dalam ponsel, menamakan kontak dengan nama om Hilman.

Sebenarnya saat Kanaya melihat wajah Hilman, dia merasa usianya sepantaran dengan Vania dan Adnan atau hanya selisih beberapa tahun saja. Namun karena saat percakapan tadi pagi di kantin Hilman mengatakan Kanaya sepantaran dengan keponakannya, jadilah Kanaya memilih untuk memanggilnya om saja.

Kanaya memilih mengontak Hilman lewat aplikasi hijau.

[Siang, Om. Ini aku Naya.]

Tak lama setelah centang abu-abu dua, dia melihat pesannya centang biru dan Hilman sedang mengetik.

[Senang kamu menghubungiku, Nay.]

Di bawah pesan itu ada sebuah gambar kotak-kotak bekal yang sudah kosong.

[Anakku makan nagetnya sampai habis. Katanya enak banget. Sisanya bapaknya yang nge-habisin.] Selanjutnya Hilman mengirim emoticon jempol.

Perasaan Kanaya menghangat membaca pesan yang dikirimkan Hilman disertai gambar kotak-kotak bekal yang sudah kosong.

[Sampaikan salam ku untuk anak om. Sekitar jam dua nanti aku akan ke ruangan anak om untuk daftar jadi pendonor.]

[Siap. Nanti aku sampaikan ke Zara salamnya, ya. Kebetulan dia lagi tidur.]

Hilman mengirimkan lagi sebuah gambar yang kali ini merupakan foto dari seorang anak perempuan sedang tertidur pulas. Kanaya menatap kagum pada anak yang dinamakan Zara. Pasalnya anak tersebut memiliki alis hitam yang tebal, hidungnya mancung dengan bibir tipis serta dagunya memiliki belah tengah. Dari wajah tersebut, ada sedikit kemiripan dari Hilman. Yakni warna kulit dan bentuk hidung. Selebihnya Kanaya yakin jika Zara pasti mewarisi wajah ibunya yang cantik.

[Aku tunggu darahmu ya, Nona.] Hilman kembali mengirimkan pesan disertai emoticon drakula.

Kanaya terkekeh pelan hingga dia melihat Vania telah terbangun dari tidurnya. "Loh, Mbak. Udah bangun?"

Vania menganggukkan kepalanya lemah namun tak lupa disertai sebuah senyuman tipis. "Mas Adnan pulang?"

"Iya."

"Tolong bantu aku untuk duduk, Nay."

"Biar aku naikkan saja bed-nya." Kanaya langsung mengatur posisi ranjang milik Vania agar bisa lebih naik di bagian kepala.

"Terima kasih." Vania memposisikan tubuhnya agar bisa lebih enak saat bersandaran.

"Mbak udah makan?" tanya Kanaya.

"Sudah tadi."

"Oh." Kanaya menganggukkan kepalanya. Setelah itu dia terdiam. Keheningan terjadi cukup lama karena masing-masing dari mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Kamu udah nyoba pakai skincare-nya?" Vania menatap penuh harap ke arah Kanaya.

Sedang Kanaya menggaruk tengkuknya seraya menjawab, "Belum, Mbak. Aku masih belum paham gimana cara makainya."

"Pakai aja skincare yang basic dulu. Seperti pembersih wajah, toner, pelembab, lalu sunscreen saat siang hari," ujar Vania. Setelah itu dia menampilkan sebuah gambar dalam ponsel yang digenggamnya.

"Seperti ini yang aku maksud tadi."

Kanaya membaca dengan teliti. "Bisa kirimkan gambar itu ke ponselku saja? Biar aku pelajari saat di rumah nanti."

Melihat keseriusan yang ditampakkan Kanaya, Vania tersenyum senang. Dia langsung mengirimkan gambar ke nomor Kanaya melalui aplikasi chat hijau.

Kanaya meneliti gambar yang sudah dia terima dari Vania. Sebetulnya dia sudah beberapa kali menonton video perihal skincare dan makeup, namun tetap saja bagi dia yang merupakan pemula adalah hal yang sulit untuk menggunakannya.

"Kamu kelihatan semangat. Aku suka itu." Vania menatap bangga pada adik sepupunya.

"Aku ingin kelihatan lebih cantik, Mbak." Kanaya menatap ke arah jendela kamar yang terbuka. Matanya menyala penuh dengan kobaran api yang panas. "Supaya tidak ada lagi yang berani meremehkan aku."

"Bagus. Hal terpenting dari itu semua adalah kepercayaan diri. Kamu sedang berproses untuk mendapatkan itu. Jadi teruslah belajar mempelajari skincare dan makeup. Nanti kalau aku udah keluar dari sini, aku akan mengajakmu untuk rutin perawatan di salon." Tangan Vania menggenggam tangan Kanaya dan menatapnya dengan tulus.

"Sebenarnya mbak sakit apa?"

"Beberapa tahun yang lalu aku pernah didiagnosis dokter sakit jantung koroner karena gaya hidupku yang tidak sehat. Jadi jika sekarang aku tidak menjaga pola makan atau gaya hidup sehat, sakit ku bisa saja kambuh atau berkembang menjadi penyakit yang lebih ganas lagi," jelas Vania.

Tatapan Kanaya sendu setelah mendengar penuturan dari Vania.

"Jadi saat aku sudah merasakan gejala yang sama, aku akan datang ke rumah sakit dan dokter akan melakukan observasi lagi untuk memastikan keadaanku. Mungkin aku akan di rawat di sini selama beberapa hari. Jadi untuk sementara waktu aku nitip Mas Adnan, Nay."

Kanaya menghela napasnya berat. "Iya, Mbak. Sebaiknya mbak gak usah mikir yang berat dulu. Supaya mbak lekas sembuh."

Vania tersenyum senang, kedua matanya mulai berembun menatap Kanaya yang bersikap tulus padanya. "Makasih ya, Nay. Udah mau jadi tempat ambisi ku yang paling nekat."

Kanaya tertawa kecil mendengarnya. Dia memang mengetahui jika Vania adalah wanita cantik yang berkelakuan konyol, namun dia baru tahu justru kekonyolan itulah yang menjadi pesonanya. Pantas saja banyak orang yang menyukainya. Itu menjadikan Kanaya mengerti, bahwa kelemahan seseorang bisa menjadi sebuah pesona jika digunakan di waktu yang tepat.

Beberapa jam berlalu, Kanaya sibuk mondar-mandir di depan pintu ruang inap Vania yang terbuka. Sesekali kepalanya menengok keluar, memastikan kedatangan seseorang yang belum sampai juga.

"Kamu nunggu Mas Adnan, Nay?" tanya Vania melihat kegelisahan yang ditampakkan Kanaya.

"Iya nih, Mbak. Aku ada janji sama seseorang jam dua ini." Kanaya terus memperhatikan ponsel untuk mengecek pesan-pesan masuk.

"Pergilah kalau gitu, gak perlu nunggu Mas Adnan datang. Nanti juga dia akan datang kalau udah waktunya."

Kanaya menggigit kuku jarinya sembari berpikir. "Gak apa-apa kalau aku tinggal?"

"Gak apa-apa kok. Aku kan udah gede, Nay. Bukan anak kecil yang harus selalu ditunggu." Vania membuat gerakan mengusir. "Dah sana pergi, hush, hush."

"Ya udah deh, nanti kalau ada apa-apa, cepat kabari aku ya mbak. Aku masih ada di sekitaran sini kok." Kanaya membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Iya, iya."

Sesaat sebelum Kanaya keluar dari pintu, dia menengok kembali ke arah Vania.

Vania tertawa kecil melihat kekhawatiran yang nampak di wajah Kanaya. "Udah sana!"

1
Muhammad Malvien Laksmana
Luar biasa
Muhammad Malvien Laksmana
Biasa
Endah Windiarti
Luar biasa
Jessica
ceritanya bagus penulisan nya juga tertata g bikin jenuh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!