The Second Wife
"Pikirkan secara baik-baik, Nay! Ingat juga kalau dulu pamanmu membiayai hidup dan sekolahmu saja tidak pakai pikir lama. Kalau bukan karena dia, mana bisa kamu sekolah sampai kuliah seperti sekarang? Kalau bukan karena dia, sudah pasti kamu jadi anak jalanan yang hidupnya terlunta-lunta tanpa ada yang membantu. Jadi sudah seharusnya kamu mau membantu kakak sepupumu yang sudah jelas-jelas membutuhkan bantuanmu."
Kanaya hanya terdiam di dalam kamar setelah mendengar ucapan tantenya yang terasa menusuk-nusuk di dalam hatinya. Memang benar jika dia hidup dengan hutang budi dari keluarga ini yang sekarang sedang membutuhkan bantuannya. Tapi apa mereka tidak mau memikirkan bagaimana perasaannya? Apa mereka tidak mau bertanya tentang mimpi-mimpinya yang banyak belum tercapai? Dia juga seorang wanita yang mempunyai perasaan dan banyak impian. Bukan hanya Vania yang kini sedang sakit dan rapuh yang harus diberi perhatian, namun dia juga masih membutuhkan perhatian dari orang-orang sekitarnya.
Usianya masih sembilan belas tahun sekarang ini, dia baru saja merasakan indahnya masa-masa kuliah di tahun pertama. Masih ada beberapa tahun mendatang untuk menyelesaikan studinya itu. Jika dia menerima tawaran dari Vania untuk menjadi istri kedua, otomatis kuliahnya terhenti dan impiannya akan hilang. Dia masih belum rela untuk itu.
Pikirannya masih kalut saat tiba-tiba pintu kamarnya ada yang mengetuk.
"Nay, boleh paman masuk ke kamarmu sebentar?"
Suara pamannya yang terdengar lembut membuat Kanaya mau tak mau untuk membukakan pintu kamarnya.
"Ada apa, Paman? Jika paman ingin membicarakan soal pernikahan itu, aku ingin meminta waktu sebentar untuk berpikir secara jernih." Kanaya menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Toni, pamannya, yang selama ini selalu baik dalam memperlakukannya.
"Kamu tidak perlu menerima tawaran itu jika kamu memang tidak mau, Nay."
Kanaya mendongakkan kepala, melihat Toni sedang tersenyum hangat menatapnya.
"Itu bukan menjadi kewajibanmu untuk membantu kakakmu yang sedang sakit. Semua yang diucapkan oleh tantemu tadi juga jangan kamu ambil hati. Paman tulus menolongmu karena itu sudah menjadi kewajibanku untuk membantu anak yatim-piatu sepertimu. Apalagi dulu ayahmu sudah banyak membantu usaha paman hingga akhirnya berkembang sampai sekarang. Jadi kamu tidak usah berpikir macam-macam. Fokus saja pada pendidikanmu sekarang ini," lanjut Toni.
Kedua mata Kanaya mulai membasah. Hatinya merasa hangat mendengar ucapan Toni yang begitu tulus. Kanaya bersyukur, setidaknya di rumah ini Tuhan masih menitipkan seseorang yang peduli dengan hidup dan masa depannya. Kanaya langsung menghamburkan diri di tubuh Toni dan memeluknya. "Terima kasih, Paman. Kalau bukan karena paman, pasti aku udah hidup susah di luar sana sekarang ini."
"Kamu itu sudah anggap paman sebagai anak sendiri, Nay. Jadi jangan bersedih hati lagi ya..."
"Terima kasih, Paman."
***
Hati Kanaya terasa ringan setelah tadi pagi mendengar ucapan Toni yang seperti pelipur lara baginya. Memang sikap Toni sungguh berbeda dengan istrinya yang selalu bersikap sinis padanya.
Rencananya, dia akan mengerjakan tugasnya di rumah ini seperti biasa. Yakni berbelanja dan memasak untuk makan siang. Namun sialnya, saat menuju ke dapur, dia melihat tantenya, Helga, tengah duduk di depan meja makan dan menatap kedatangannya dengan tatapan tajam.
"Enak ya yang udah dapet pembelaan dari pamannya."
Kanaya memilih diam tak menanggapi ucapan Helga. Entah mengapa dia sudah merasa terbiasa selalu disindir oleh Helga.
"Nih daftar belanja. Jangan lupa nanti masak yang enak!"
Kanaya meraih secarik kertas yang diberikan Helga, berisi daftar belanjaan yang harus dia beli di pasar nanti.
"Kok belanjanya banyak banget?" Kanaya masih memperhatikan daftar sayur mayur yang jarang dibeli oleh Helga untuk makanan sehari-hari mereka.
"Vania sama suaminya mau menginap di sini nanti."
Perasaan Kanaya menjadi tak enak, tanpa dia sadari, dia sudah meremas keras secarik kertas yang baru saja dibacanya. Dia takut jika nanti mereka akan kembali membicarakan perihal pernikahan.
"Kenapa bukan Tania aja sih yang membantu Mbak Vania? Kenapa harus aku yang terus-terusan dipaksa?" Entah keberanian darimana Kanaya akhirnya berani untuk bersuara.
"Apa kamu bilang?" Helga yang tadinya ingin beranjak pergi pun mengurungkan. "Kamu tanya kenapa bukan Tania?"
"Kan Mbak Vania butuh adik madu untuk memberinya seorang anak. Lalu kenapa bukan Tania saja yang merupakan adik kandungnya? Aku yakin dia juga bisa kok memberi Mbak Vania seorang anak."
Plak!!!
Sebuah tamparan yang keras mendarat begitu saja di pipi kanan Kanaya. Terdengar hembusan napas yang keluar dari mulut Helga.
"Mulai lancang kamu ya!" Jari telunjuk Helga mengacung tepat di wajah Kanaya yang sedang menatapnya tak percaya dengan mata yang berkaca-kaca. "Kamu ini sudah hidup gratis di rumah ini. Sudah seharusnya membayar hutang budi, bukan malah bersikap seenaknya dan memberontak seperti ini."
"Memang ya, buah itu tak jatuh jauh dari pohonnya. Melihatmu sekarang ini, membuatku ingat dengan sikap ibumu yang menjijikkan itu! Sudah dibantu malah tak tahu malu." Helga benar-benar muak melihat wajah Kanaya.
"Aku tahu kalau tante tak suka denganku. Tapi jangan pernah berani menyeret nama ibu dan menjelek-jelekkannya. Cukup aku saja." Kedua tangan Kanaya mengepal erat menahan amarah.
Helga tertawa meledek mendengarnya. "Menjelek-jelekkannya katamu? Tanpa aku menjelek-jelekkannya pun, dia memang sudah jelek sifatnya. Asal kamu tahu, dia itu sudah aku bantu tapi malah berani menusukku dengan selingkuh dengan suamiku!"
Mata Kanaya terbelalak lebar hingga kedua pupil matanya bergetar. "A-apa maksud dari ucapan tante?"
Sakit bagi Helga jika harus mengingat kembali masa lalunya yang begitu pahit. Sekuat tenaga Helga menahan air matanya di depan Kanaya. "Kamu itu adalah hasil dari perselingkuhan ibumu dengan pamanmu alias suamiku sendiri."
"Jangan becanda!" teriak Kanaya tak terima.
"Kalau bukan karena kedua anakku, aku tak akan sudi bertahan dalam pernikahan yang sudah penuh duri dari awalnya."
"Pamanmu itu rupanya sudah berselingkuh lama dengan ibumu sampai ibumu hamil kamu. Ayahmu dan aku bahkan tak mengetahui itu sampai di saat kamu kecelakaan dan kamu membutuhkan donor darah. Golongan darahmu rupanya berbeda dengan ayah dan ibumu. Di saat itulah ayahmu mulai mencari kebenaran yang akhirnya perlahan terkuak kalau kamu adalah anak hasil perselingkuhan istrinya dengan adiknya sendiri."
Lutut Kanaya langsung terasa lemas setelah mendengarnya. Seluruh tubuh Kanaya bergetar hebat. Kesedihan dalam hati yang tadinya dia tahan, kini memuncak seketika hingga air matanya tumpah ruah begitu saja.
Sungguh akhirnya Kanaya mengerti alasan Helga yang selalu bersikap ketus padanya.
"Jika kamu masih tidak memiliki hati. Silahkan tinggal di rumah ini seolah tidak terjadi apa-apa dan melanjutkan hidupmu dengan tenang." Helga melenggang pergi meninggalkan Kanaya yang masih terisak atas kenyataan pahit yang baru saja didengarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments