EKSKLUSIF HANYA DI NOVELTOON.
Jika menemukan di tempat lain artinya plagiat. Tolong laporkan🔥
Baru dua bulan menikah, Arumi Safitri harus rela mengikhlaskan kepergian suaminya yakni Letda Laut (P) Yuda Kusuma yang meninggal dalam tugas. Pahami jati diri sebagai prajurit angkatan laut bahwa air yang memiliki semboyan wira ananta rudira, yaitu tabah sampai akhir.
Hidup Arumi selepas kepergian suaminya, diterpa banyak ujian. Dianggap pembawa sial oleh keluarga suaminya. Ada benih yang ternyata telah bersemayam di rahimnya, keturunan dari mendiang suaminya. Beberapa bulan kemudian, Arumi terpaksa menikah dengan seorang komandan bernama Kapten Laut (E) Adib Pratama Hadijoyo hanya karena kejadian sepele yang menyebabkan para warga salah paham dengan mereka berdua.
Bagaimana kehidupan pernikahan Arumi yang kedua?
Apakah Kapten Adib menjadi dermaga cinta terakhir bagi seorang Arumi atau ia akan menyandang status janda kembali?
Simak kisahnya💋
Update : setiap hari🍁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 - Nafkah
Deg...
Jantung Arumi semakin berdegup kencang kala melihat Adib sudah berdiri tepat di depannya dengan jarang yang sangat dekat. Kepalanya sedikit mendongak. Sebab postur tubuh Adib jauh lebih tinggi daripada dirinya.
Kedua pasang mata itu saling bersirobok dalam satu pandangan garis lurus yang sama. Keduanya masih terdiam dan saling memandangi satu sama lain. Hal itu semakin memacu jantung keduanya tanpa disadarinya.
"Duduklah di situ, Rum. Sini aku bantu keringkan rambutmu. Kalau kelamaan nanti bisa masuk angin loh," ucap Adib yang tiba-tiba bersuara dan memberi perintah pada Arumi.
"Hah," Arumi pun hanya bisa membeo secara spontan karena mendadak linglung. Otaknya sudah berpikiran Adib akan melakukan hal yang intim padanya. Namun ternyata tidak.
"Duduklah," perintah Adib dengan penuh kelembutan.
"I_ya, Mas." Arumi pun segera mengiyakan dengan sedikit terbata-bata. Ia langsung duduk di sebuah kursi yang terbuat dari kayu jati berkualitas apik yang ada di sebelahnya.
Adib mengambil handuk kecil dan sebuah hair dryer yang ada di dalam lemari. Kemudian ia berjalan ke tempat duduk Arumi dan langsung melakukan tugasnya untuk membantu mengeringkan rambut istrinya yang masih basah tersebut.
Arumi merasa tak enak hati diperlakukan spesial seperti ini oleh Adib.
"Mas, duduk saja. Biar aku yang keringkan sendiri rambutku. Aku bisa kok," ucap Arumi.
"Enggak apa-apa. Sudah, kamu diam saja." Adib tak mengindahkan permintaan Arumi tersebut. Dengan cekatan tangannya terus bekerja mengeringkan rambut istrinya.
Suara hair dryer memenuhi kamar pengantin tersebut di pagi hari.
"Tadi Mas pergi ke mana? Kok pas aku bangun, sudah enggak ada di kamar." Arumi memberanikan diri bertanya langsung pada Adib. Hatinya masih diliputi rasa cemas dan bersalah pada suami barunya tersebut.
"Aku pergi minum kopi sebentar sambil cari udara pagi. Maaf, aku lupa meninggalkan pesan untukmu. Pasti kamu kepikiran," jawab Adib apa adanya seraya masih berfokus memegang hair dryer. Dirinya memang minum kopi di kamar sebelah bersama ibunya sambil membahas Arumi.
"Bukan Mas Adib yang harus meminta maaf. Justru aku yang minta maaf sama Mas. Maaf, aku terlambat bangun. Seharusnya, aku tadi bangun lebih awal dari Mas Adib dan membuatkan teh atau kopi untukmu. Hal itu sudah tugasku sebagai istri Mas. Maafkan aku," ucap Arumi yang tertunduk lesu dengan rasa bersalahnya.
"Enggak apa-apa, Rum. Santai saja. Hal itu bukan perkara yang besar. Aku sengaja tidak membangunkanmu karena kulihat tidurmu sangat nyenyak. Ibu hamil butuh banyak istirahat. Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Kamu tak perlu meminta maaf juga untuk hal itu. Aku tidak mempermasalahkannya," tutur Adib.
"Ini pertama kalinya aku menginap di hotel semewah dan sebagus ini. Mungkin kasurnya terlalu empuk, jadi aku enggak terasa kalau Mas Adib sudah bangun lebih dulu. Lain kali Mas bawa aku ke hotel biasa saja. Maklum aku agak udik. Mungkin tubuhku enggak cocok berada di tempat mahal begini," cicit Arumi seraya terkekeh sendiri sembari mengusir hawa gugup yang masih menyelimutinya.
Suasana seketika mencair dan senyum pun terbit di wajah Adib mendengar uneg-uneg dari Arumi yang seakan mengalun indah di telinganya.
Bip...
"Nah, sudah selesai. Kamu bisa segera pakai bajumu,"
"Makasih banyak, Mas."
"Hem,"
"Kamu berganti saja di sini. Aku akan ganti baju di kamar mandi. Setelah itu kita turun untuk sarapan karena Mama menunggu kita di restoran," ucap Adib.
"Iya, Mas."
Ia sangat memahami bahasa tubuh Arumi yang masih belum terbiasa dengannya bila berganti baju di ruangan yang sama. Akhirnya ia lebih memilih untuk mengalah dan masuk ke dalam kamar mandi.
☘️☘️
Arumi dan Adib sudah tampak rapi dengan pakaian masing-masing. Sebelum pergi ke restoran, Adib meminta Arumi duduk sejenak di sofa yang ada di dalam kamar mereka. Adib pun mendaratkan b0kongnya di samping Arumi.
Ia mengeluarkan sebuah kartu platinum yang tertera logo sebuah bank ternama dari dalam sakunya. Ia pun menyerahkan kartu tersebut pada Arumi.
"Pakailah ini untuk kebutuhanmu sehari-hari. Jika ingin membeli sesuatu entah skincare atau apapun, belanja lah dengan kartu ini. Di dalamnya sudah terisi seratus juta rupiah. Tiap bulan aku akan selalu rutin mengisinya untukmu," ucap Adib seraya menyerahkan kartu tersebut pada Arumi.
Arumi hanya bisa terpelongo mendengar ucapan Adib barusan mengenai isi kartu debit yang sekarang sudah berada di tangannya. Seumur-umur ia belum pernah memegang uang ratusan juta. Walaupun uang itu tersimpan di dalam sebuah kartu.
Tabungannya bersama mendiang Yuda jika digabungkan, tidak mencapai setengah dari nilai nominal kartu yang diberikan Adib padanya. Dunia Arumi benar-benar banyak mengalami kejutan sejak menikah dengan Adib.
"Pencatatan pernikahan kita secara negara maupun di kesatuanku, sudah dalam proses oleh orang kepercayaanku. Nanti akan aku kabari padamu lebih lanjut jika sudah beres," tegas Adib.
Hening tercipta dan tak ada respon dari Arumi. Adib pun lantas menoleh dan memandang dengan seksama wajah Arumi yang sedang tertegun.
"Kamu kenapa, Rum? Apa ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Adib.
"Eh, enggak Mas." Arumi langsung tersadar dari lamunannya.
"Mas enggak perlu kasih kartu ini ke aku. Tabunganku masih ada kok untuk hidup sehari-hari. Lagi pula nominal kartu ini terlalu banyak untukku. Takutnya nanti aku malah boros karena pegang banyak uang. Lagi pula setiap bulan, Mas sudah keluar uang dua juta untuk ibu mendiang Mas Yuda. Aku rasa untukku, Mas enggak perlu repot-repot." Arumi merendah. Ia merasa sungkan dengan kebaikan Adib padanya.
"Kamu lupa aku ini siapa sekarang, Rum?"
Arumi hanya terdiam seraya memandang wajah Adib yang terlihat tampan dan penuh ketegasan.
"Aku ini suamimu, Rum. Sudah sepantasnya aku memberikan nafkah untukmu. Jadi, wajib kamu terima ya. Ini nafkah lahir dariku untukmu. Dan aku tidak menerima penolakan," ucap Adib seraya berdiri dari tempat duduknya.
Arumi masih terbengong dan tak percaya dengan kondisi yang tengah terjadi saat ini.
"Bukankah Mas Adib juga prajurit angkatan laut. Walaupun pangkatnya di atas Mas Yuda, tapi kenapa uangnya banyak sekali?" batin Arumi.
"Mas," panggil Arumi lirih.
"Ya, kenapa Rum?" tanya Adib seketika menoleh kembali pada Arumi.
"Ini uang halal kan?" tanya Arumi dengan wajah tegas namun nada suaranya terdengar sedikit cemas dan ketakutan. Hal itu terbaca jelas oleh Adib.
"Maksudmu?" tanya Adib dengan santai. Ia sangat memahami kegelisahan Arumi.
"Mas Adib kan sama seperti mendiang Mas Yuda. Sama-sama prajurit angkatan laut. Walaupun pangkat Mas Adib lebih tinggi daripada Mas Yuda. Hanya saja dengan uang sebanyak ini, aku takut kalau-kalau_" ucapan Arumi seketika terhenti karena Adib menutup bibirnya dengan menempelkan jari telunjuknya sebagai kode agar Arumi tidak melanjutkan kalimatnya.
Ia pun mendudukkan Arumi kembali. Adib sudah paham ke mana arah pembicaraan dan maksud Arumi barusan. Lantas, Adib bercerita secara singkat bahwa ia adalah putra tunggal di keluarganya. Kakek dari pihak Papanya yakni seorang Laksamana T N I. Sedangkan kakek-nenek dari pihak Mamanya dari kalangan pengusaha konveksi ternama di daerahnya.
Otomatis uang yang dimiliki olehnya bukan hanya dari gaji prajurit saja, melainkan dari keuntungan perusahaan warisan keluarganya tersebut dan juga ada beberapa investasi yang dijalaninya secara pribadi. Adib juga menceritakan pada Arumi bahwa ia memiliki usaha sebuah cafe dan juga rumah kos-kosan dari saku pribadinya selama ini yang berhasil ia kumpulkan sejak muda.
Adib menyampaikan hal ini pada Arumi bukan bermaksud ingin menyombongkan harta yang ia miliki pada istrinya tersebut. Tetapi ia hanya ingin terbuka dan menyampaikan apapun mengenai kehidupannya pada istrinya tersebut. Karena di dalam harta suami ada hak seorang istri.
Ia sangat mengenal watak Arumi yang tak akan silau akan harta. Sebab, di masa lampau ia pernah sekali mengetes wanitanya ini. Dan Arumi sama sekali tidak tertarik dengan golongan orang-orang kaya dan berduit. Padahal jika Arumi mau, paras cantiknya bisa ia manfaatkan untuk menggaet laki-laki berkantong tebal ketika dirinya masih single alias belum menikah.
Hal itu semakin membuat Adib tak mampu berpaling dari pesona seorang Arumi Safitri. Wanita ini lebih memilih untuk mandiri di kakinya sendiri daripada memanfaatkan kekayaan orang lain. Arumi bagaikan mutiara cantik yang tersembunyi. Kemilaunya menggetarkan hati dan jiwanya secara menyeluruh.
"Ayo, Mama sudah menunggu kita di bawah."
"Iya, Mas."
Tiba-tiba tangan Adib menggandeng tangannya. Desir itu mendadak singgah kembali di jantung Arumi.
"Ya Tuhan, kondisikan jantungku. Kenapa aku merasa tidak asing dengannya?" batin Arumi.
Bersambung...
🍁🍁🍁
Ngomong2 lokasi setting novel kota J itu dimana ya thor? mohon di jawab, hatur nuhun.
Karya tulis bagus ini layak mendapat Bintang LIMA, aamiiin
Aku sukaa, aku sukaaa ../Heart//Good/