Semua bermula dari CINTA TERLARANG.!!!
Diselimuti ego, obsesi dan dendam, mereka tidak sadar jika semua perasaan itu yang telah menciptakan kehancuran dalam kehidupan mereka.
Kebahagiaan terenggut, mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah di sekitar mereka. Banyak hati yang terluka, bahkan mereka yang melukai hatinya sendiri.
Seandainya saja bisa mengesampingkan ego, membuang obsesi dan menghapus dendam, mungkin kehancuran ini tidak akan mereka alami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Liana tiba di rumah pukul 10 malam di saat sebagian penghuni rumah sudah tertidur. Hanya Mama Heni yang masih terjaga karna tau putri sulungnya akan pulang malam ini setelah pergi tugas ke luar kota. Wanita paruh baya itu membukakan pintu untuk Liana dan membantunya memasukan barang bawaan ke dalam rumah.
"Mama kenapa belum tidur" Liana memeluk orang tua satu-satunya yang masih tersisa. Ada perasaan rindu seorang anak pada Mamanya yang sulit dijelaskan. Sudah lama dia tidak bertemu Mamanya. Pekerjaannya menyita banyak waktu hingga sulit mengunjungi rumah orang tuanya.
"Sengaja mau nungguin kamu. Mama bikinkan teh hangat ya." Mama Heni melepaskan pelukannya, dia mengunci pintu utama sebelum pergi ke dapur untuk membuat minuman hangat. Liana mengekorinya di belakang sambil menenteng paper bag berisi oleh-oleh khas dari salah satu kota di Jawa Barat.
"Ada mobil Galang di depan. Kemarin dia bilang tinggal di apartemen." Ujar Liana seraya mendudukkan diri di depan meja makan. Dia tidak tau kalau Galang juga tinggal di rumahnya hari ini.
Mama Heni datang membawakan,secangkir teh hangat dan meletakkannya di depan Liana. "Anak-anak kamu yang menyuruh Galang menginap. Mereka mungkin kangen sama Omnya."
Liana hanya mengangguk-angguk dan menyesap teh buatan Mamanya. Keadaan menjadi hening seketika. Sampai akhirnya Mama Heni kembali membuka obrolan.
"Sebenarnya ada yang mau Mama bicarakan sama kamu, mumpung semua orang sudah tidur." Ucapnya.
Ekspresi wajah Liana berubah serius dan terlihat sedikit gugup. "Mama mau bicara soal apa.?"
"Ini menyangkut masa depan adik mu."
"Siapa Mah.? Galang atau Sinta.?" Tanya Liana cepat. Dia sempat menghela nafas lega setelahnya.
"Sinta. Mama ingin adikmu itu punya pendamping baru. Mama khawatir Sinta terlalu nyaman hidup sendiri dan nggak mau nikah lagi." Tutur Mama Heni mengungkap kekhawatirannya sebagai seorang Ibu. Sinta memang baru setahun menjanda dan itu belum terlalu lama, hanya saja Mama Heni sudah memiliki kekhawatiran yang berlebihan. Tapi di sisi lain, keinginan Mama Heni tentu saja demi kebaikan Sinta. Ibu mana yang tidak mau melihat putrinya memiliki pendamping hidup yang bisa menjaga dan menyayanginya.
"Maksud Mama, Liana harus carikan calon suami buat Sinta.?"
Mama Heni menggeleng. "Sebenarnya Mama dan Galang sudah punya calon yang cocok untuk Sinta di kampung. Hanya saja perlu persetujuan Sinta kalau mau dikenalkan. Mama nggak bisa maksa seandainya Sinta menolak di kenalkan dengan pria itu."
"Kalau memang sudah ada kandidatnya, terus kenapa harus ngomong sama Liana.? Kenapa Mama nggak bilang aja sama Sinta.? Mama saja nggak bisa maksa Sinta, apalagi aku." Liana menatap bingung. Dia jadi pusing memikirkan kemana arah pembicaraan Mamanya. Tidak tau tujuannya untuk apa.
"Kamu ini kenapa nggak bisa berpikir panjang." Gerutu Mama Heni. "Mama cerita seperti ini biar kamu bisa membujuk Sinta pulang kampung. Kalau Sinta terus-terusan tinggal di rumah kamu, kapan dia bisa ketemu jodohnya.?"
Liana menyengir kuda. "Mana Liana tau kalau Mama nggak bilang. Tapi Liana kurang setuju kalau Sinta harus pulang kampung. Nanti siapa yang ngurus keperluan anak-anak dan Alan. Liana nggak bisa percaya sama orang lain. Kalau Sinta sudah pasti tulus mengurus anak-anak karna dia tantenya."
Begitu besar kepercayaan yang diberikan Liana pada Sinta. Dia seperti tidak memiliki pikiran buruk sedikitpun pada adiknya. Mungkin Liana akan menyesal jika suatu saat mengetahui kedekatan Alan dan Sinta.
"Tapi karna tinggal di rumah kamu, Sinta jadi tertutup dengan dunia luar. Kalau seperti ini terus, kapan akan ketemu jodohnya, berinteraksi dengan orang-orang luar pun nggak pernah." Raut wajah Mama Heni berubah sendu.
Sedetik kemudian, Mama Heni menggenggam tangan Liana. Ada tatapan memohon dari sorot matanya.
"Alan nggak kekurangan uang untuk menghidupi kamu dan anak-anak. Kalau memang kamu nggak percaya memakai jasa orang lain, sebaiknya kamu melepaskan karir kamu dan fokus mengurus keluarga. Sinta biar pulang dan tinggal sama Mama lagi."
Liana terdiam cukup lama untuk memikirkan perkataan Mamanya dan menentukan pilihan. Pada akhirnya Liana tetap mempertahankan karirnya dan merelakan Sinta kembali ke kota kelahiran mereka.
"Nak, keluarga itu nomor satu. Kenapa nggak fokus saja mengurus anak-anak dan suami. Apalagi yang mau kamu cari.? Kamu sudah memiliki semua yang kamu inginkan sejak kecil." Tutur Mama Heni menasehati. Kehidupan Liana sudah sempurna saat ini, dia memiliki sepanjang anak laki-laki dan perempuan. Alan juga sangat baik sebagai suami dan tidak pernah melakukan kekerasan. Liana seharusnya bisa menikmati perannya sebagai seorang ibu dan istri seutuhnya dengan fokus mengurus mereka.
"Mah, selagi Alan nggak melarang Liana bekerja, artinya semuanya baik-baik saja."
Liana tetap bersikeras pada keinginannya, Mama Heni tidak bisa mendesak lagi dan memilih mengakhiri obrolan mereka.
...*****...
Pagi-pagi sekali suasana rumah sudah heboh. Anak-anak sedang berebut oleh-oleh dari Mamanya. Keceriaan mereka membuat semua orang ikut tertawa melihatnya.
Alan yang sejak tadi duduk di sebelah Liana, kini beranjak dan pamit ke kamarnya untuk bersiap ke kantor.
"Nenek, Zia cantik nggak pakai baju ini.?" Zia berputar di depan Neneknya setelah memakai dress baru dari Liana.
"Cantik apanya.? Biasa saja.!" Ledek Zio cepat. Zia menjadi cemberut.
"Kakak hanya bercanda. Zia sangat cantik sejak bayi." Puji Mama Heni. Wajah Zia kembali ceria dan langsung memeluk Mamanya.
"Sin, tolong cariin kemeja abu-abu punya Mas Alan. Mba lupa naronya di mana, tadi udahan sempet nyari tapi nggak ketemu." Titah Liana yang masih sibuk membongkar koper.
"Loh, itu kan tugas kamu sebagai istrinya, kok malah nyuruh Sinta." Tegur Mama Heni.
"Mba Liana jadi santai karna semua pekerjaan di urus Sinta. Jangan mau dek," Ucap Galang memprovokasi.
"Cuma minta tolong cariin kemeja, masa nggak boleh. Lagian Sinta yang tau tata letak baju-baju kami di lemari." Nada bicara Kiana sedikit kesal karna Mama Heni dan galang melarangnya menyuruh Sinta.
"Nggak apa-apa Mah, Mas. Kalau isi lemarinya berantakan semua gara-gara Mba Liana cari kemeja, Sinta juga yang repot rapihinnya." Sinta terkekeh kecil sambil beranjak dari duduknya. Dia pergi ke lantai atas.
...****...
Alan membuka pintu ketika kamarnya di ketuk. Dia tau itu bukan Liana, sebab Liana tidak akan mengetuk pintu untuk masuk ke kamar mereka. jadi walaupun sudah berada di kamar mandi, Alan terpaksa keluar untuk membukakan pintu.
Pria itu tersenyum melihat kedatangan adik iparnya. "Ada apa sayang, mau ikut Mas mandi.?" Lirih Alan bercanda.
"Mas.!" Sinta melotot tajam. Bisa-bisanya Alan memanggilnya sayang dengan santai, padahal di bawah sedang banyak orang.
"Mba Liana menyuruhku mencari kemeja abu-abu punya Mas." Ucapnya kemudian menyelonong masuk. "Mas Alan lanjutkan saja mandinya, jangan sampai kita terlihat berduaan disini."
Alan mengekori Sinta tanpa menutup pintu kamar agar tidak ada yang curiga. Karna jika pintu kamar terbuka lebar, tentu tidak akan ada yang berfikir macam-macam.
Sinta terkejut ketika Alan tiba-tiba memeluknya dari belakang.
"Mas Alan, jangan begini.!" Sinta memberontak, tapi pelukan Alan sangat kencang.
"Jangan pulang sama Mama, Mas nggak bisa jauh dari kamu. Harusnya kamu ikuti saran Mas waktu itu. Bekerja di perusahaan dan tinggal sendiri. Mama pasti nggak akan memaksa kamu pulang." Nada bicara Alan terdengar sendu.
"Lepasin dulu, nanti Sinta pikirkan lagi gimana baiknya."
Alan segera melepaskan pelukannya, tapi setelah itu dia mencuri ciuman singkat di bibir Sinta.
"Makasih sayang, Mas mandi dulu." Alan berlalu dan menghilang dibalik pintu kamar mandi.
Sinta sempat melamun dengan perasaan yang berkecambuk. Dia kesulitan menentukan pilihan.
mngkin clara orang kaya jd cuma mnfaatin galang kisah galang dimulai
alan beranak lg