Ketika ibu lain bahagia menanti kehadiran sang buah hati, Syifa Amira Chandani harus menelan derita. Kebahagiaannya direnggut paksa, padahal dua bulan lagi dia melahirkan. Syifa diceraikan hanya karena Haris masih mencintai Nadia, istri pertamanya.
Janji-janji Haris hanya manis di bibir. Nyatanya, dia hanya dijadikan pelarian.
Syifa berpikir, pelangi akan muncul di langit setelah hujan mereda. Namun, hujan tak kunjung reda. Badai belum berakhir. Dia harus tegar demi sang buah hati. Akankah Syifa berpeluang mengecapi manisnya madu setelah ditinggalkan Haris?
Mohon baca setiap bab yang update. Jangan menumpuk bab. Terima kasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Belas
Harris menarik napas berat. Selalu saja begini. Rumah tangganya hampir setiap hari diisi pertengkaran. Membuat dirinya merasa bosan.
"Tak bisa Nadia, aku bukan pergi jalan-jalan. Aku bekerja," jawab Harris lagi.
"Apa kamu pikir aku ini wanita bodoh? Aku tahu kamu ada wanita lain di luar sana!" ucap Nadia dengan nada penuh penekanan. Dia pernah mendengar isu tentang perselingkuhan Harris dan sekretarisnya.
"Jangan mulai pertengkaran lagi, Nadia. kecurigaan mu ini membuat aku muak. Aku bekerja untuk memenuhi kebutuhan kamu yang besar. Dulu Syifa hanya aku beri uang lima juta sudah bisa memenuhi kebutuhan satu bulan, dan masih tersisa di tabungannya. Kamu terkadang lima juta hanya untuk dua hari!" ucap Harris dengan suara tinggi.
Mendengar dirinya dibandingkan dengan Syifa, mantan istri kedua Harris, membuat Nadia tak terima. Tampak wajahnya memerah dengan rahang mengeras menahan amarah.
"Jangan kau bandingkan aku dengan wanita udik itu. Baginya mungkin cukup uang segitu karena dia terbiasa hidup hemat dan tak membutuhkan perawatan tubuh. Makanya dia diselingkuhi, karena tak bisa menjaga tubuhnya!" ucap Nadia dengan suara yang tak kalah tinggi.
"Kau memang tak sebanding dengan Syifa. Dia jauh lebih baik darimu!" ucap Harris dengan suara makin tinggi.
Emosi Nadia semakin tak bisa terkontrol mendengar ucapan pria itu. Dia maju mendekati dan ingin melayangkan tamparan. Namun, tangannya dapat di tangkap Harris.
"Apa kau ingin menamparku?" tanya Harris dengan wajah yang tegang menahan amarah. Tangannya kini yang terangkat ingin menampar pipi istrinya itu, tapi urung saat mendengar sesuatu jatuh dari kamar sang ibu.
Harris berlari mendekati dan masuk ke kamar. Terlihat ibu yang sudah tergeletak di lantai. Dia lalu sedikit berteriak dan langsung berlari mendekati ibunya. Mengangkat tubuh wanita paruh baya itu ke tempat tidur.
"Ibu, kenapa bisa jatuh? Ibu mau apa?" tanya Harris.
Ibu tak bersuara, hanya air mata yang jatuh membasahi pipinya. Dia tampak terisak. Menggenggam tangan putranya itu.
"Apa kamu sudah tahu atau dapat kabar di mana Syifa dan cucuku?" tanya ibu Marni dengan suara terbata.
Setiap hari selama lima tahun ini selalu ditanyakan wanita paruh baya itu. Dia ingin sekali bertemu dengan mantan menantunya beserta cucunya.
"Maaf, Bu. Aku belum juga mengetahui keberadaan Syifa dan putraku," jawab Harris pelan. Sesungguhnya dari hati terdalam dia juga sangat ingin tahu tentang darah dagingnya. Apa dia tumbuh sehat, bagaimana wajahnya?
"Nak, sebelum ibu meninggalkan dunia ini, ibu ingin bertemu dengan Syifa dan putramu. Ibu mau minta maaf atas perbuatanmu. Ibu gagal mendidik kamu jadi ayah yang baik," ucap Ibu Marni lagi.
Nadia yang berada di balik pintu mengepalkan tangannya mendengar ucapan ibu. Selalu saja Syifa yang ada dalam pikiran mertuanya. Wanita itu cemberut menyadari jika dirinya masih tak bisa merebut hati sang mertua hingga hari ini.
"Bu, aku tetap berusaha mencari tahu keberadaan Syifa. Ibu jangan banyak pikiran. Sekarang ibu mau makan?" tanya Harris.
"Ibu tidak lapar," jawab Ibu Marni.
"Walau tidak lapar, ibu harus tetap makan. Bagaimana ibu bisa sembuh jika jarang makan. Katanya pengen bertemu cucu ibu, kalau sakit begini, ibu tak akan sanggup menggendongnya," ucap Harris.
Harris berharap dengan ucapannya sang ibu bersedia makan. Bukankah keinginan terbesarnya bertemu cucu. Harris jadi ikut termenung. Membayangkan putranya sudah besar. Terakhir USG dokter mengatakan jenis kelamin anaknya laki-laki.
Harris lalu berdiri dari duduknya. Dia menuju dapur dan mengambil sarapan untuk ibunya. Pria itu lalu menyuapi sang ibu.
"Apa kamu tidak kerja?" tanya Ibu Marni.
"Sebentar lagi aku pergi, Bu. Aku mau keluar kota. Mungkin satu minggu di sana," jawab Harris.
"Apa kamu tak mengajak Nadia ikut denganmu?" tanya Ibu Marni.
"Mungkin tidak, Bu. Aku kerja bukan jalan-jalan," jawab Harris.
Nadia yang kesal karena ibu Marni selalu menanyakan keberadaannya langsung masuk ke kamar, sehingga saat tadi Harris mengambil nasi untuk mertuanya,.dia tak tahu.
"Bawalah istrimu. Agar dia tak marah-marah terus. Mungkin stres di rumah saja dua bulan ini," ucap Ibu Marni.
"Aku takut nanti dia hanya merepotkan," balas Harris.
"Bawa dia agar tidak selalu curiga denganmu. Jika hasil merebut, pasti akan merasa takut direbut orang lain juga," kata Ibu Marni selanjutnya.
Harris terdiam mendengar ucapan ibunya. Nadia memang selalu curiga dengannya. Pertengkaran selalu saja menghiasi rumah tangga mereka.
"Tapi jika aku bawa, takutnya dia mengganggu kerjaku dan membuat aku tidak konsentrasi dalam bekerja. Padahal aku bekerja keras juga untuk memenuhi gaya hidupnya," omel Harris.
"Nadia itu pilihanmu. Jadi kau harus bertanggung jawab dengan semua ini. Jika dia kurang baik di matamu, belajarlah untuk menerima dia apa adanya. Karena tak ada manusia yang sempurna. Ketika kamu mencari yang sempurna kamu akan kehilangan yang terbaik. Berhenti mencari yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah. Jika kamu tidak bisa menerima kekurangannya maka pastikan kamu akan kesepian selamanya. Karena kekurangannya adalah kelebihanmu dan kelebihanmu adalah kekurangannya. kalian di pertemukan untuk saling melengkapi," ucap Ibu Marni.
Setelah cukup lama mengobrol dengan ibu Marni akhirnya Harris memutuskan mengajak Nadia ke luar kota dengannya.
***
Di tempat lain, Syifa yang telah mengantar Adam ke sekolah, langsung menuju pasar buat belanja untuk kebutuhan jualan besok paginya.
Saat akan memarkirkan motornya, Syifa dikejutkan dengan kehadiran seseorang. Pria itu tersenyum manis dengannya.
"Assalamualaikum, Dek Syifa!" sapa pria itu yang tak lain adalah Haikal.
"Waalaikumsalam, Mas," jawab Syifa.
"Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Ada yang ingin aku bicarakan. Apakah Dek Syifa ada waktu?" tanya Haikal lagi.
"Maaf, Mas. Seperti yang sering aku katakan, aku tak ingin membuat orang salah paham jika kita bertemu berdua saja. Bagaimana kalau ngobrolnya siang saja. Aku bisa bawa Adam," jawab Syifa.
"Terserah Dek Syifa. Aku ngikut saja," balas Haikal.
"Kalau begitu, kita bertemu siang nanti saja, Mas. Di restoran dekat sekolahnya Adam. Jam sebelas. Apa Mas Haikal keberatan?" tanya Syifa.
"Boleh, Dek. Jam sebelas aku nanti ke sana," jawab Haikal.
"Baiklah, Mas. Kalau begitu aku pamit dulu. Aku mau belanja," balas Syifa.
Setelah pamit dengan Haikal, wanita itu berjalan masuk ke dalam pasar tradisional itu. Haikal menatapnya hingga hilang dari pandangan.
...----------------...