Pemahaman yang salah mengenai seorang anak, pada akhirnya akan membuat hati anak terluka, dan memilih jalannya sendiri untuk bahagia.
Bahkan parahnya, seorang anak harus merasa jika rumah yang ia tinggali, lama kelamaan berubah menjadi neraka baginya.
Seorang gadis bernama Mirelia, hidup di keluarga yang semuanya adalah seorang pengusaha meski bukan pengusaha yang sukses. Ayahnya memiliki beberapa toko bangunan yang lumayan terkenal, juga selalu mendapatkan omset yang jauh dari cukup. Ibunya adalah penjual kue kering online yamg juga sudah banyak memiliki langganan, bahkan ada beberapa selebriti yang memesan kue darinya. Kakaknya juga seorang gadis yang cantik, juga sangat membantu perkembangan toko sang Ayah.
Mirelia? Gadis itu hanya mengisi peran sebagai anak yang manja. Bahagiakah? Tidak! Dia ingin melakukan banyak hal yang bisa membuat orang tuanya bangga, tapi sialnya dia selalu saja gagal dalam meraih usahanya.
Suatu ketika, seorang pria datang dengan tujuan untuk dijodohkan dengan Mirelia, tapi masalahnya adalah, sang kakak nampak jatuh hati tanpa bisa disadari Mirelia lebih cepat.
Akankah laki-laki itu mengubah hidup Mirelia? Ataukah dia akan menjadi pasangan kakaknya?
Lalu, bagaimana Mirelia menemukan kebahagiannya? Bagaimana Mirelia bisa menunjukkan sesuatu yang mampu membuat orang tak lagi menganggapnya manja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewi wahyuningsih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
My dream, my happiness
Hari ini Mire bersama Lusi memutuskan untuk pergi ke pusat belanja, tentu bukan untuk berbelanja barang, hanya saja mereka ingin membeli beberapa makanan kesukaan mereka, dan tidak lupa juga es krim strawberry yang kini juga menjadi favorit Lusi setelah sering dipaksa More untuk memakannya.
Ini sudah ke tahun enam mereka berteman, namun kenyataannya mereka masih saja sangat saling menyayangi meski tidak mengelak terkadang sering juga berbeda pendapat dan sedikit memanas. Tapi untungnya Lusi adalah pribadi yang dewasa, jadi dia paham bagaimana menghadapi Mire saat dia tengah kesal atau juga merajuk padanya.
" Mire, tiga minggu lagi kan lomba melukis di adakan, kau yakin tidak membutuhkan banyak waktu untuk bersiap? Aku dengar kau malah sibuk di toko Ayahmu, juga lebih sering berada di perpustakaan untuk membaca buku-buku tentang bisnis. Apakah kau sudah menyerah dengan mimpimu? " Tanya Lusi seraya menikmati semangkuk es krim di tangannya.
Mire menghela nafas, lalu menunduk sebentar sembari menyendok es krimnya. Sungguh tidak tahu harus mengatakan apa, tapi meskipun diam juga Lusi akan tahu apa jawabannya.
" Mire, aku memang tidak akrab dengan keluargamu, tapi aku merasa kalau kau tertekan, benar tidak? "
" Menurutmu aku harus bagaimana, Lusi? "
Lusi tersenyum, lalu menyodorkan satu sendok es krim untuk Mire, dan Mire segera melahapnya.
" Bukankah kau bisa menjalani keduanya? Mire, di dunia ini tidak akan ada yang mengerti diri sendiri selain dirinya. Apa yang kau rasakan, apa yang membuatmu bahagia ataupun sedih, semua tergantung dengan pilihanmu. Kau dilahirkan, juga hidup dengan harapan kau akan selalu bahagia, meski harapan itu kini di salah artikan oleh orang tuamu. Tapi, kau sendiri kan tahu apa yang bisa membuatmu bahagia, tidak perlu ragu, tetaplah melakukan yang terbaik, jangan terlalu memikirkan betapa hatimu sakit karena mereka, tapi ingat saja bagaimana kau merasa bahagia walau hanya sekedar karena hal kecil, dan penting juga membuat diri sendiri bahagia. "
Mire tersenyum, lalu mengangguk. Lusi benar-benar tahu bagiamana suasana hatinya kan? Dia memang benar-benar sangat mirip dengan Ibunya yang bijak dan juga pengertian. Sebenarnya Mire juga begitu iri dengan cara orang tua Lusi mendidiknya, mendukung apapun yang di pilih putrinya, tidak pernah mengatakan hal yang membuatnya putus asa, melainkan kata-kata sederhana yang menurut Mire adalah hal yang dia harapkan dari kedua orang tuanya, seperti, semangat ya? Kau pasti bisa! Hanya seperti itu, tapi kenapa sama sekali tidak bisa mendengarnya?
Setelah selesai dengan kegiatan mereka disana, Mire dan Lusi berniat untuk segera pulang kerumah mereka masing-masing. Tapi siapa yang akan menduga kalau disana Mire harus melihat kakaknya, juga tunangannya tengah makan siang bersama. Sejujurnya memang mereka tidak terlihat mesra, hanya saja Drago nampak banyak bicara seperti orang yang leluasa, dan jauh berbeda seperti saat bersama dengannya.
" Mire, kau baik-baik saja? " Lusi merasa kasihan, tapi dia juga tidak ingin menunjukkan itu karena takut Mire akan merasa tidak nyaman.
" Aku tidak tahu, Lusi. Aku ingin mengatakan aku baik-baik saja karena mereka tidak terlihat mesra seperti pasangan jatuh cinta, tapi aku juga tidak menyukai apa yang aku lihat ini. " Mire terus menatap dari kejauhan, hingga cukup lama dia memutuskan untuk pergi dan masihlah berpikir positif. Oh, mungkin mereka tidak sengaja bertemu disana.
Ke esokkan harinya, aktivitas Mire dan keluarga sama seperti sebelumnya.
" Lusi? Aku sudah mencari-mu sedari tadi loh, ternyata kau ada disini. " Mire duduk disebelah Lusi yang kini duduk di bangku kantin sembari membaca buku dengan seksama.
" Maaf tidak menunggumu, Mire. Aku tadi benar-benar excited sekali setelah mendengar akan di adakan ujian mahasiswa, dan akan mendapatkan beasiswa di luar negeri bagi lima Pemiliki nilai tertinggi. "
Mire tersenyum seraya menepuk bahu Lusi dengan bangga.
" Kau pasti akan menang, sahabat terbaikku. "
Lusi tersenyum, laku dia mengingat akan lomba Mire.
" Mire, lomba melukis juga akan mendapatkan yang sama loh. Pemenang ke satu, dua, dan tiga akan mendapatkan pendidikan gratis selama setahun. Bagaimana kalau kau bersumgguh-sungguh mulai sekarang? "
Mire terdiam mengingat ucapan Ayahnya, juga mengingat saat Ayahnya menginjak-injak dengan brutal alat melukisnya.
" Mire, kemarin kau juara tiga tingkat nasional loh, meskipun lomba yang akan di adakan oleh kampus tidak semegah lomba kemarin, masa kau akan menyerah begitu saja? Apa tidak malu dengan juara tiga yang kau dapatkan kemarin? "
Mire menunduk, dan pada akhirnya dia membiarkan air matanya jatuh karena tak tahan lagi.
" Mire? " Lusi memeluk Mire, mengusap punggungnya pelan. Tidak usah bertanya lagi, sepertinya dia benar-benar tahu apa yang membuat gadis ceria seperti Mire menangis seperti ini.
" Mire, mereka boleh tidak memahami, dan menekan dengan alasan masa depan yang cerah. Tapi, apa gunanya semua itu jika kau tidak bahagia Mire? Di dalam sebuah kehidupan bahagia itu adalah hal terpenting. Pejamkan matamu sejenak Mire, ingat kembali bagaimana kau berjuang bersembunyi dari keluargamu untuk melukis. Ingat banyaknya orang yang mengatakan, Mire, lukisan yang kau buat indah sekali. Ingat itu saja Mire, bagaimana perasaanmu saat melukis. Aku bukan bermaksud memintamu untuk menentang keluargamu, hanya saja aku ingin sahabatku Mire kembali seperti dulu. " Lusi melerai pelukannya, menangkup wajah Mire sembari mengusap air mata Mire dengan Ibu jarinya.
" Mire aku mengatakan ini karena aku bisa melihat senyum indah di bibirmu saat kau melukis. "
Mire mengangguk, kini dia paham harus melakukan apa. Mungkin orang tua juga kakaknya akan merasa sangat kecewa, tapi biarkan sekali ini saja dia membuktikan kepada dirinya sendiri, juga kepada dunia bahwa dia mampu melakukan yang terbaik dengan usahanya sendiri.
Mire dan Lusi serentak bangkit, lalu bergandengan tangan dan berlari keluar dari kampus. Kemana? Mereka pergi ke toko perlengkapan lukis.
Setelah beberapa saat.
Mire tersenyum bahagia karena bisa memegang kuas, pensil, cat warna, dan semua benda untuk melukis.
" Aku pasti bisa! " Ucap Mire menggebu-gebu.
Lusi tersenyum melihat bagaimana Mire kembali seperti biasanya. Mereka kini sibuk dengan kegiatan mereka sendiri, Lusi membaca buku, sedangkan Mire mulai melukis dengan wajah bahagia.
Sebuah rumah tua yang temboknya sudah mulai ambruk, disanalah mereka berada, membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa wajah dan juga tubuh mereka.
Mungkin, di dunia ini banyak sekali orang yang mengabaikan bakat demi mencari rupiah. Tidak tahu akan seberapa bahagianya memiliki uang, tapi bagi kedua gadis itu uang tidaklah mampu membeli segalanya. Contohnya, uang mampu membeli rumah sakit, tapi tidak mampu membeli nyawa, uang mampu membeli segala yang diinginkan, tapi tidak dengan kebahagiaan.
Melangkahkan lebih jauh, jangan takut, jangan menyerah juga saat jatuh hingga berkali-kali. Lihatlah dunia dengan mata lebar, biarkan kau bisa melihat bagaimana dunia ini menyuguhkan banyak sekali hal indah, meski tak bisa lepas dari hal buruk.
Bersambung
udh tau jln ceritanya,tapi tetep aja meweek,,sumpaah banjir air mata gue thor..aq tau gimna sakit ny mire,krn aq jg merasakan apa yg dia rasakan 😭