Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Kemunculan dari sistem
Sesampainya di rumah Pak Suhardi
"Ya ampun, Bapak, ada apa dengan Nak Rama?" Bu Maya terlihat cemas, segera membantu Pak Suhardi menuntun Rama ke tempat duduk.
"Ceritanya panjang, Bu, sekarang lebih baik kita obati luka Rama terlebih dahulu," kata Pak Suhardi.
Sementara itu, Bela baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar suara panik ibunya. Dia terkejut melihat keadaan Rama, sosok pemuda yang cukup dekat dengannya.
"Bu... Apa yang terjadi dengan Kak Rama?" Tanyanya, ikut khawatir melihat keadaan Rama yang terluka parah.
"Kamu cepat ambilkan kotak obat. Kita harus segera mengobati lukanya sebelum infeksi," ucap Bu Maya. Bela pun bergegas mengambil obat tanpa bertanya lagi.
"Sebenarnya ada apa to, Pak? Kok bisa sampai seperti ini?" Setelah Bela kembali dan membawa kotak obat, tak lupa Bu Maya menyuruh Bela mengambilkan air hangat ke dalam baskom. Bu Maya lantas mulai mengobati luka Rama.
"Jadi begini, Bu. Sepulang dari rumah Pak Slamet, Bapak ketemu ibu-ibu di jalan yang membicarakan kalau di rumah Rama banyak anak buah Kohar. Karena perasaan Bapak tidak enak, makanya Bapak langsung buru-buru ke sana. Eh, pas setibanya Bapak di sana... Nak Rama sedang dipukuli oleh Baron, anak buah si Kohar itu," jelas Suhardi.
Bela, yang sembari meletakkan baskom berisi air, langsung menangis. Ia merasa kasihan pada Rama.
"Hiks... Hiks... Kak, malang sekali nasibmu," ucapnya lirih sembari mengusap luka Rama dengan lap basah.
Rama tersadar dari pingsannya dan sedikit meringis. "Sudah-sudah, Kakak tidak apa-apa, kok, Bel," ucapnya dengan suara lemah. Perhatian dari keluarga Pak Suhardi ini cukup membuat hatinya menghangat.
Rama bahkan sudah menganggap Bela sebagai adiknya, karena dari kecil mereka tumbuh bersama. Apalagi, orang tua Rama hanya memiliki satu anak, begitu juga dengan Pak Suhardi dan istrinya yang hanya memiliki Bela. Terlebih, Pak Suhardi dan Ayah Rama sudah bersahabat sejak lama.
Setelah beberapa saat
Rama mulai tenang dan semua lukanya telah diobati. Rama pun mulai menceritakan semuanya tentang masalah hutang kedua orang tuanya pada Bang Kohar, serta tentang sawah yang dititipkan pada pamannya—yang ternyata justru ingin menguasainya dan sengaja tidak memberitahu Rama.
Pak Suhardi maupun Bu Maya merasa iba pada nasib pemuda itu, tetapi mereka juga tak bisa berbuat apa-apa selain memberi wejangan agar Rama tetap sabar dan ikhlas.
"Yang sabar ya, Nak Rama. Meski Bapak dan Ibu tak bisa banyak membantu, tetapi mulai sekarang Nak Rama tinggal saja di rumah ini," ucap Bu Maya penuh ketulusan.
Rama merasa terharu mendengarnya. Memang, di desa ini, Rama merasa tidak ada yang lebih peduli padanya selain Pak Suhardi dan keluarganya.
"Terima kasih," Hanya itu yang mampu keluar dari mulutnya dengan mata berkaca-kaca.
"Nah, sekarang kamu bawa Nak Rama ke kamar tamu untuk beristirahat. Jangan diajak bicara dulu. Biar Nak Rama bisa beristirahat dengan tenang," ucap Bu Maya pada Bela, dan gadis itu pun mengangguk patuh.
"Ayo, Kak, aku bantu ke kamar."
Rama yang memang masih lemah untuk sekadar berdiri tegak, ia pun mengangguk. Dengan bantuan Bela memapahnya, ia memasuki kamar tamu di rumah Pak Suhardi.
"Terima kasih ya, Bel, kamu selalu saja baik pada Kakak."
"Apa sih yang Kakak bicarakan? Aku sudah menganggap Kak Rama itu seperti kakak aku sendiri. Lagipula, Kakak juga dulu sering sekali membantu Bela."
Rama hanya bisa tersenyum lembut, lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur itu. Sementara Bela langsung beranjak keluar.
"Jika Kakak butuh sesuatu, jangan sungkan memanggil Bela, ya," ucapnya sebelum menutup pintu kamar.
Rama menghela napas berat. Terlalu berat beban hidup yang ia jalani. Lima bulan lalu kedua orang tuanya meninggal dunia akibat bencana tanah longsor yang menimpa rumahnya. Masih teringat jelas di ingatannya tentang kejadian itu.
Dan yang baru saja ia alami sekarang, adalah salah satu dari penderitaannya sejak ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.
"Ayah, Ibu... Maafkan aku," ucapnya lirih lalu mulai memejamkan matanya dengan harapan setelah bangun nanti hidupnya akan berubah, meski pada kenyataannya ia sudah ingin menyerah.
Keesokan paginya
Waktu menunjukkan pukul 07.30. Rama merasa seluruh tubuhnya masih terasa sakit, yang membuatnya malas untuk bangun.
Tok
Tok
Tok
Bu Maya langsung memutuskan untuk masuk karena ia berpikir Rama masih tertidur dan ia tidak ingin mengganggunya. Ia berniat masuk hanya untuk memastikan keadaan pemuda itu dan menaruh makanan sebelum dirinya pergi ke sawah.
"Bu Maya... Maaf, saya baru saja ingin membuka pintunya tadi."
"Eh, tidak usah bangun. Ibu cuma mau menaruh makan ini untuk kamu," ucap Bu Maya ketika melihat rupanya Rama sudah bangun, dan ia segera menahan pemuda itu yang ingin bangkit.
Rama pun kembali berbaring dan Bu Maya kembali berkata, "Kata Bapak, kamu istirahat saja sampai benar-benar pulih, baru boleh membantu lagi di sawah." Selama ini Rama memang bekerja sebagai kuli di sawah Pak Suhardi, karena selain Pak Suhardi sangat baik padanya, ia juga bisa sekalian membantu keluarga Pak Suhardi sesuai kemampuannya.
"Iya, Bu. Terima kasih karena sudah membantu Rama dan memberi tempat buat Rama tidur. Maaf karena Rama selalu merepotkan keluarga Ibu."
"Haish... Siapa yang merepotkan? Kan sudah Ibu bilang, mulai sekarang kamu tinggal saja di sini. Ibu sama Bapak juga tidak keberatan, malah senang karena Bela nantinya akan memiliki teman di rumah ini ketika Bapak sama Ibu sedang tidak ada di rumah," ucap Bu Maya, benar-benar membuat hati Rama tersentuh. Ia berjanji akan membalas kebaikan keluarga Pak Suhardi ini di masa depan.
"S-saya hanya bisa mengucapkan terima kasih pada Ibu dan Bapak," ucapnya dengan nada bergetar.
"Iya, sama-sama. Lagian selama ini kamu juga sudah banyak membantu keluarga Ibu. Jadi ke depannya Nak Rama jangan sungkan lagi ya, anggap saja keluarga sendiri. Kamu juga bisa menganggap kami sebagai orang tuamu. Dengan begitu, harapan Bela untuk memiliki kakak akan terpenuhi," ujar Bu Maya dengan senyum lembut penuh ketulusan.
Rama hanya bisa diam tanpa kata, tetapi tatapan matanya sudah menunjukkan ungkapan terima kasih yang tulus kepada Bu Maya dan keluarga. "Ya sudah, kalau begitu Ibu tinggal dulu ya. Jangan lupa dimakan, biar tubuh kamu cepat membaik."
"Iya, Bu. Sekali lagi terima kasih untuk semuanya."
Setelah Bu Maya keluar, Rama kembali memejamkan matanya, namun kali ini pikirannya melayang entah ke mana. "Ya Tuhan, kenapa hidupku begitu menyedihkan? Tidakkah Kamu memberiku sedikit saja kebahagiaan atau kesempatan untuk memperbaiki semuanya?"
Lima bulan berlalu, tetapi sakit di tulang punggungnya—yang retak karena terkena sedikit reruntuhan atap kala itu—seolah menjadi pengingat abadi atas tragedi tersebut. Hanya karena waktu itu ia dilindungi oleh sang Ayah dan Ibu dari atap rumahnya yang ambruk, nyawanya terselamatkan. Saat itu kejadiannya begitu cepat di malam hari, hingga membuat dirinya beserta kedua orang tuanya tak memiliki waktu untuk melarikan diri. Di tengah kepanikan itu, kedua orang tua Rama berusaha melindungi dirinya dari reruntuhan atap rumah yang menimpanya, dan alhasil kedua orang tuanya kehilangan kesadaran di atas tubuhnya.
Tepat ketika dirinya berusaha bangkit untuk mengangkat tubuh kedua orang tuanya, sebuah lemari menimpanya. Ingatan terakhirnya melihat tubuh kedua orang tuanya tertimpa reruntuhan lainnya.
"Hiks... hiks... Ayah, Ibu, maafin Rama. R-Rama lah yang telah membuat kalian... Hiks... hiks..." Rama menangis sejadi-jadinya, teringat kejadian itu, sebuah kejadian yang terus menghantui dirinya siang dan malam.
Namun... tepat di sela-sela tangisannya, suara aneh tiba-tiba terdengar.
[DING: BUKAN SISTEM BIASA: SIAP DI AKTIFKAN
SISTEM MENDETEKSI TUAN RUMAH YANG DITAKDIRKAN DALAM KEADAAN TERPURUK. APAKAH TUAN RUMAH MEMBUTUHKAN BANTUAN DARI SISTEM? SILAHKAN TUAN PILIH (YA) ATAU (TIDAK).
Rama bengong sesaat. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, seolah memastikan apakah barusan dia mendengar ada yang berbicara.
[DING: APAKAH TUAN INGIN MEMASANG... BUKAN SISTEM BIASA? YA ATAU TIDAK?"]
"Eh?" Rama bingung. Ia merasa suara itu ada di dalam kepalanya sendiri. Rama menggelengkan kepalanya cepat. "Apakah aku sudah gila? Mungkinkah kemarin anak buah Bang Kohar terlalu berlebihan memukul kepalaku?" Gumamnya bingung.
[DING: MENURUT ANALISIS DARI SISTEM, TUAN HANYA MENGALAMI SEDIKIT KERUSAKAN PADA FISIK TUAN, TETAPI TIDAK MEMPENGARUHI PADA ANGGOTA TUBUH LAIN TERMASUK OTAK TUAN. JIKA TUAN BERSEDIA... SISTEM AKAN MEMBANTU TUAN UNTUK MEMPERBAIKI KERUSAKAN PADA FISIK TUAN, TETAPI TUAN HARUS MENERIMA TERLEBIH DAHULU KEHADIRAN SISTEM AGAR MENYATU DENGAN TUBUH TUAN.
APAKAH TUAN AKAN MAU MENERIMANYA? YA ATAU TIDAK...?]
"I-ini...?" Rama merasa ada yang aneh pada dirinya.
"Sis-sistem... Apa-apa itu? Apakah kamu setan? Atau ma-malaikat?" Tanya Rama gugup penuh kebingungan.
[DING: TIDAK, TUAN. SAYA ADALAH SISTEM YANG BISA DISEBUT DENGAN NAMA, BUKAN SISTEM BIASA. SAYA ADALAH SISTEM YANG AKAN MEMBANTU MERUBAH TAKDIR TUAN. APAKAH TUAN INGIN MENGAKTIFKAN BUKAN SISTEM BIASA? YA ATAU TIDAK?]
"Akhh... Daripada aku pusing sendiri, lebih baik aku ikuti saja," pikir Rama.
[DING: JADI APAKAH TUAN INGIN MENERIMA SISTEM? YA ATAU TIDAK?]
"Ya... ya... Aku mau menerimamu!" Jawab Rama lantang karena ia berpikir ini hanyalah halusinasi dan mungkin setelah ia menjawab Ya, semuanya kembali normal. Namun, justru setelah jawaban itu terlontar dari mulutnya, tiba-tiba saja ia merasakan sakit di kepalanya.
[DING: PENYATUAN SISTEM DENGAN TUBUH TUAN DIMULAI.]
"Akhhh... Ap-apa yang terjadi? Ke-kenapa tiba-tiba kepalaku sakit sekali?"
10%
20%
30%
40%
50%
.......
100%
[DING: PENYATUAN SISTEM DENGAN TUBUH TUAN TELAH SELESAI.]
"Ap-apa itu tadi? Kenapa rasanya kepalaku hampir meledak?" Keringat bercucuran dari wajah Rama. Selama proses tadi, ia terus berteriak kesakitan memegangi kepalanya, hingga pada titik di mana suara 100% anehnya, rasa sakitnya langsung hilang begitu saja, digantikan dengan suara: "Penyatuan dengan tubuh Tuan telah selesai."
[DING: SELAMAT,TUAN TELAH MENJADI TUAN RUMAH RESMI BUKAN SISTEM BIASA!
TUAN MENDAPATKAN HADIAH PENYATUAN DARI SISTEM BERUPA PIL PENYEMBUH TINGKAT TINGGI.
APAKAH TUAN AKAN MENGAMBILNYA SEKARANG? YA ATAU TIDAK?]
"Hah, yang benar saja. Ini-ini sepertinya bukan halusinasi?" Gumamnya tersadar. Suara itu masih terdengar di kepalanya dan justru kali ini suaranya begitu jelas.
[DING: 100% KEBENARANNYA, TUAN. APAKAH TUAN AKAN MENGAMBILNYA SEKARANG? YA ATAU TIDAK?]
Rama terdiam dengan waktu yang cukup lama. Ia mencoba mencerna semuanya, menepuk-nepuk pipinya dan sesekali mencubit lengannya dengan cukup keras, yang membuat dirinya meringis.
"Sial... Ini nyata, tapi... Ah sudahlah. Lebih baik aku ikuti saja alurnya. Entah apa yang ada di kepalaku, yang jelas masa bodoh dengan keanehan ini," pikirnya.
[DING: JADI, APAKAH TUAN INGIN MENGAMBIL HADIAH INI SEKARANG? YA ATAU TIDAK?]
"Ya, aku mau mengambilnya sekarang!" Jawab Rama dengan suara keras. Andai ada orang di luar kamarnya dan melihat dirinya, mungkin mereka akan mengira dirinya gila karena berbicara sendiri.
[DING: PROSES PENGELUARAN HADIAH BUTUH WAKTU SEKITAR 30 DETIK.]
PLUK
Tepat ketika waktu 30 detik telah berlalu, tiba-tiba pil sebesar biji salak muncul.
"Eh...?" Dengan kejutan yang tak bisa disembunyikan, Rama menatap pil di atas kasur tanpa berkedip.
Aneh. Bingung. Takut. Gila. Semua rasa itu bercampur menjadi satu dirasakan Rama. Ia ingin tidak percaya, tetapi ada bukti nyata sebuah hadiah yang disebutkan oleh sistem di kepalanya tadi, kini muncul di hadapannya.
"Ini... Ap-apa kah ini asli?" Gumamnya tanpa sadar mengulurkan tangannya untuk mengambil pil tersebut.
[DING: 100% KEASLIANNYA, TUAN. TUAN BISA LANGSUNG MENCOBANYA DAN RASAKAN MANFAATNYA SECARA NYATA.]
"Sistem, tunggu! Ka-kamu mengatakan ini adalah Pil Penyembuh Tingkat Tinggi. Bi-bisakah kamu jelaskan lebih detail?" Entah kenapa, Rama merasa apa yang ia alami sekarang begitu di luar akal sehatnya, tetapi karena semuanya tampak begitu nyata, Rama pun tidak sungkan lagi untuk bertanya pada sistem di kepalanya itu.
[DING: TENTU SAJA, TUAN. PIL PENYEMBUH TINGKAT TINGGI ADALAH HADIAH PERTAMA YANG DIBERIKAN UNTUK TUAN RUMAH YANG BERHASIL MELAKUKAN PENYATUAN SISTEM. MANFAAT UTAMA PIL INI ADALAH:]
1. PEMULIHAN INSTAN: Mampu menyembuhkan segala jenis luka fisik non-fatal, termasuk patah tulang, luka dalam, dan penyakit kronis, dalam hitungan detik.
2. PENGHILANGAN BEKAS LUKA: Mengembalikan kondisi fisik tubuh Tuan seperti sebelum mengalami cedera.
3. PEMBERSIHAN TOKSIN: Membersihkan segala racun atau zat berbahaya yang mungkin terakumulasi di dalam tubuh Tuan.
4. PENINGKATAN KEBUGARAN DASAR: Setelah penyembuhan, fisik Tuan akan sedikit ditingkatkan dari kondisi normal.
"Sebentar... Kamu bilang, mampu menyembuhkan patah tulang? Termasuk... tulang punggungku yang retak?" Tanya Rama, suaranya tercekat oleh harapan yang tiba-tiba membuncah.
[DING: BENAR, TUAN. PIL INI JUGA AKAN MEMULIHKAN KERUSAKAN TULANG PUNGGUNG TUAN YANG DIAKIBATKAN OLEH BENCANA LIMA BULAN LALU.]
Rama menatap Pil Penyembuh di tangannya. Air matanya kembali menetes, tetapi kali ini, itu adalah air mata kelegaan. Ini bukan hanya pil, ini adalah kesempatan kedua.
"Aku... Aku akan meminumnya," ucap Rama yakin.
[DING: TUAN RUMAH MEMILIH UNTUK MENGKONSUMSI PIL PENYEMBUH TINGKAT TINGGI. PROSES DIMULAI.]