15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11 - Bikin darting
Keesokkan harinya.
"Elle, gue pinjem modul Respiratorius ya."
"Makanya jangan ninggalin tas sembarangan, ilang semua dah aset penting Lo," ujar Ellena meledek. Rimba memang sudah menceritakan tentang hilangnya tas itu. Namun Rimba tak menceritakan tentang kedekatannya dengan Dosen tampan yang menjadi incaran Ellena tersebut.
"Gue juga lagi bingung nih, gimana ngomongnya sama Kakak gue nanti."
"Lo keterlaluan Rim. Lo libatin gue, gimana kalo Kak Galang nanti nelpon atau dateng ke kostan gue nanyain laptop itu? ah mampus gue, harus jawab apa coba?" kata Ellena.
Rimba tak menanggapi, tatapannya tertuju pada seseorang.
Dari kejauhan terlihat Steven berjalan mendekat ke arah mereka. Ellena langsung salah tingkah, seperti cacing kepanasan.
"Itu beneran Pak Steve kan? kok kayanya doi mau kemari?" gumam Ellena ke arah kuping Rimba seakan berbisik.
"Nyariin Lo kali, Elle" sahut Rimba tak acuh.
"Seriusan Lo Rim?" Ellena semakin salah tingkah saat langkah Steven semakin mendekat. Ia berusaha merapihkan rambutnya ke depan dan langsung memasang wajah sok imut yang menggemaskan. Bulu matanya yang panjang nan lentik itu ia kedip-kedipkan agar si dosen tampan itu terpesona.
Sayangnya, tatapan sang dosen hanya terpatri untuk satu orang saja, Rimba yang bar-bar.
"Saya perlu bicara dengan kamu, Rimba" kata Steven terdengar serius.
"Maaf Pak, saya ada kuliah sebentar lagi," sahut Rimba.
"Kuliah hari ini baru berakhir lima belas menit yang lalu. Jadi maksud kamu kuliah yang mana lagi?"
'Shit! kenapa dia bisa tau jadwal kuliah gue?' umpat Rimba dalam hati.
"Rim, Lo ada urusan apa dengan Pak Steve? apa gara-gara soal latihan yang kemarin Lo nggak ngerjain itu?" tanya Ellena berbisik.
"Kayanya sih gitu," balas Rimba terpaksa mengiyakan apa kata Ellena.
"Wah, Lo bener-bener cari masalah sama dosen," gumam Ellena angkat tangan, tanda ia tidak mau ikut-ikutan.
"Pak Steve!" seseorang memanggil Steven dari ujung koridor sambil melambaikan tangan. Dia Pak Ridwan, dosen di kelas blok biomedik. "Bisa bicara sebentar?" pintanya.
"Ya? Sebentar pak Ridwan," sahut Steven. Lalu kembali mengalihkan pandangannya sebentar pada Rimba. "Kita belum selesai bicara!" gumamnya lalu pergi begitu saja menemui Pak Ridwan.
"Ih, nggak jelas banget," gumam Rimba sewot.
"Gue perhatiin Lo kayanya udah kenal deket sama Pak Steve," lirik Ellena curiga.
"Apaan sih, Elle. Ayo!" ajak Rimba mengalihkan kecurigaan Ellena.
Namun saat hendak ke area depan kampus, mereka berpapasan dengan Marvin dan Angela tengah bergandengan tangan. Ellena yang melihatnya langsung menjulurkan lidahnya seperti hendak muntah.
"Napa Lo, Elle? jijik liat kita?!" ucap sinis Angela malah dibuat sengaja merangkul Marvin didepan Rimba dan Ellena.
"Ya, gue jijik liat kalian berdua. Kenapa, salah?" tantang Ellena.
"Dia aja yang bekasnya Marvin diem aja, kok Lo yang sewot sih?" tunjuk Angela pada Rimba. Rimba yang awalnya sudah malas menanggapi akhirnya gatel juga untuk mengeluarkan umpatan pedasnya.
"Apa Lo bilang? gue bekasnya dia?" Rimba geram sambil menunjuk ke arah muka Marvin. "Trus Lo sendiri apa? Gak jijik mungut bekasnya gue?" ujarnya membalikkan kata-kata Angela.
Angela merasa tak terima, ia hampir saja menampar pipi Rimba, namun dengan sigap Marvin seolah melindungi Rimba, sehingga tamparan Angela malah mengenai rahang tegas milik Marvin.
"Kamu malah bela dia sih?" Angela marah melihat sikap kekasihnya yang masih peduli sang mantan.
"Kamu nggak perlu nampar Rimba gitu dong," bela Marvin sambil melirik Rimba, "Kamu nggak apa-apa Rim?" tanyanya.
Rimba tak menjawab. Ia malah melengos pergi seraya menarik tangan Ellena. "Males banget nanggapin dua mahluk astral kaya mereka!" gumam Rimba tak lagi menghiraukan Angela dan Marvin yang malah jadi bertengkar disana.
Di depan kampus, Rimba dan Ellena berpisah. Ellena ada janji bertemu dengan teman SMA-nya di sebuah kafe dekat kampus, sedangkan Rimba memilih pergi ke kantin membeli minuman, mendinginkan kepalanya.
"Kalo bisa gue dikasih satu kesempatan untuk bikin permintaan, gue mau mereka bertiga lenyap dari muka bumi ini!" gumam Rimba mengomel.
"Termasuk saya?"
"Ah ya Tuhan!" Rimba terlonjak kaget saat wajah Steven muncul di sampingnya tanpa ekspresi, mirip sekali dengan hantu tapi dengan ketampanan maksimal. "Bapak ngikutin saya?" tanyanya spontan.
"Saya juga haus," balas Steven seraya mengambil satu botol air mineral dingin didepan Rimba. "Permisi," ujarnya membuat Rimba bergeser.
"Bapak pake jampi-jampi apa sampe bikin Bunda dan kakak saya menyukai bapak? ngeliat sikap bapak gini justru bikin saya makin geli tau nggak!" ucap Rimba jujur.
Steven tak buru-buru menjawab, ia meneguk air mineralnya santai. Adegan yang membuat Rimba bergidik panas-dingin karena gerakan jakun Steven itu. Bagai diberi efek slow motion, pesona Steven benar-benar menyilaukan bahkan ketika hanya meminum air mineral. 'Hey, wake up Rim? jangan bilang Lo mulai terpesona sama si Om-om satu ini,' batinnya.
"Geli? emang saya ngapain?" tanya Steven tak acuh, tangannya sibuk menutup botol minumnya.
"Bapak nggak sadar? sejak saya ketemu Bapak, hidup saya jadi berantakan," Rimba menghela napas sebentar, "Itu keterlaluan dan saya nggak bisa maafin Bapak apalagi nerima Bapak!" cecarnya.
Kali ini Steven menoleh Rimba dengan tatapan bekunya, menusuk, mengintimidasi. Untuk beberapa saat Rimba pura-pura sibuk mengamati minumannya tanpa peduli tatapan membunuh dari Steven. Namun, lama-kelamaan ia risih juga dan balas menatap. Ada pesona aneh yang dirasa Rimba, tarikan kuat bahkan jika benci itu ada maka akan segera sirna hanya dengan satu kedipan mata Steven terhadapnya.
"Saya bukan mangsa, jangan natap saya begitu. Termasuk pelecehan itu namanya!" ujar Rimba terbata.
Steven tersadar dan berpaling.
"Saya juga masih sayang sama mata saya," balas Steven dingin.
"Maksud Bapak saya bisa menyakiti mata Bapak?"
Steven mengangguk mantap, "Nah itu kamu sadar!" ujarnya.
"Saya nggak ngerti kenapa kampus ini bisa mempekerjakan dosen sekelas Bapak!"
"Maksud kamu saya tidak kompeten?"
Rimba mengeleng cepat, "Kadang serigala berubah dan menyamar untuk menjerat gadis berjubah merah. Serigala itu benar-benar licik," katanya.
"Ini sarkas atau satire?" Steven mencoba melayani sikap sengak Rimba.
"Sarkas"
"Siapa? Saya maksudnya?"
"Nah itu bapak nyadar," sahut Rimba tanpa mau menatap ke arah Steven yang pesonanya terus menggoda itu.
"Jadi kamu anggap saya ini serigala, dan gadis berjubah merah itu kamu?" kedua mata Steven memicing.
"Ya, Bapak sudah menjerat saya ke perangkap yang sudah bapak rencanakan. Iya kan?" kata Rimba berani.
"Kita nggak cukup akrab untuk bisa membuat kamu bersikap seperti ini ke saya!" kata Steven dingin.
"Nggak cukup akrab kata Bapak? setelah saya dipaksa menerima pinangan dari Bapak?" sahut Rimba.
"Oh, jadi kamu akhirnya nerima?"
.
.
.
Before I met you, I never knew what it was like to smile for no reason. Now that you're here, I think my entire life will fall into place!