NovelToon NovelToon
Benih Titipan Milik Tuan Marco

Benih Titipan Milik Tuan Marco

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Lari Saat Hamil / Anak Genius / Anak Kembar / Identitas Tersembunyi
Popularitas:712.6k
Nilai: 5
Nama Author: kenz....567

"Kembalikan benihku yang Kamu curi Nona!"
....
Saat peluru menembus kaki dan pembunuh bayaran mengincar nyawanya, Mora Valeska tidak punya pilihan selain menerima tawaran gila dari seorang wanita tua yang menyelamatkannya untuk mengandung penerus keluarga yang tak ia kenal.

5 tahun berlalu. Mora hidup tenang dalam persembunyian bersama sepasang anak kembar yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Hingga akhirnya, masa lalu itu datang mengetuk pintu. Bukan lagi wanita tua itu, melainkan sang pemilik benih sesungguhnya—Marco Ramirez.

"Benihmu? Aku merasa tak pernah menampung benihmu, Tuan Cobra!" elak Mora, berusaha melindungi buah hatinya.

Marco menyeringai, tatapannya mengunci Mora tanpa ampun. "Kemarilah, biar kuingatkan dengan cara yang berbeda."

Kini, Mora harus berlari lagi. Bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi untuk menjaga anak-anaknya dari pria yang mengklaim mereka sebagai miliknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Teman Lama

Sementara itu, di sebuah rumah sederhana namun asri yang jaraknya cukup jauh dari toko bunga, hiruk-pikuk lain sedang terjadi. Di teras rumah yang teduh, Rakael tengah memamerkan koleksi mainannya kepada saudara kembarnya.

Sinar matahari menerpa wajah kedua bocah yang identik itu. Mereka duduk bersila di lantai teras, dikelilingi oleh robot-robot plastik murah dan beberapa mobil-mobilan yang rodanya sudah agak macet. Meskipun mainannya sangat sederhana dan jauh berbeda dari mainan mahal yang mungkin biasa Vier mainkan, anak itu tampak menikmatinya.

"Viel, liat nih! Robot ini bica telbang wusss wusss!" seru Rakael sambil menerbangkan mainannya di udara.

Vier tertawa, matanya menyipit persis seperti mata Mora. Terkadang, tawa kedua anak itu meledak bersamaan, mengisi kesunyian rumah itu dengan kebahagiaan.

Setelah lelah bermain perang-perangan, Rakael merasakan perutnya berbunyi. Jiwa petualangannya untuk mencari makanan pun bangkit.

"Viel, jajan ayo," ajak Rakael sambil menepuk bahu saudaranya.

Vier menoleh, sedikit bingung dengan pelafalan nama yang diucapkan saudaranya. "Kakaaak, Viel ... Viel," tegur Vier, mencoba mengoreksi agar Rakael memanggil namanya dengan benar.

Rakael memutar bola matanya malas. Baginya, urusan nama itu tidak penting, yang penting adalah panggilannya. Ia merasa yang paling benar.

"Kata Mommy kita blooojool belcamaaaa! Viel kelual di dolong Laka, kalau nda? Nda bica kelual! Kelen kan Laka," puji anak itu dengan percaya diri tinggi. Logika balitanya mengatakan bahwa karena mereka lahir bersamaan, dialah yang mendorong Vier keluar dari perut sang mommy, sehingga ia merasa lebih kuat dan hebat.

Vier mendelik kesal. Ia memang baru mengenal saudaranya ini, tapi tingkat kepercayaan diri Rakael sungguh menguji kesabaran. "Terserah, caaadel," gerutu anak itu pelan.

"Ayo jajan!" seru Rakael, melupakan perdebatan tentang siapa yang mendorong siapa. Urusan perut lebih mendesak.

Rakael dan Vier pun beranjak masuk ke dalam rumah. Kaki-kaki kecil mereka berlari menuju dapur, tempat di mana aroma harum masakan menguar. Di sana, Kirana sedang sibuk di depan kompor. Aroma ayam ungkep dengan rempah lengkuas dan kunyit memenuhi ruangan dapur yang hangat.

"Nenek mau jajan, di walung Pak lobi cebelah itu, nda jauh jauh," ucap Rakael dengan nada merengek, sambil menarik-narik ujung daster yang dikenakan Kirana.

Kirana menjeda kegiatannya. Ia mengecilkan api kompor, lalu berbalik menatap dua cucu kesayangannya. Wajah tuanya yang mulai keriput dihiasi senyum lembut. Ia membersihkan tangannya dengan lap, lalu merogoh saku nya untuk mengambil beberapa lembar uang kertas.

"Ingat, jangan jajan sembarangan. Jangan beli yang warnanya aneh-aneh. Raka, jangan kasih racun buat kakaknya ya," tegur Kirana setengah bercanda namun tetap menyelipkan pesan waspada. Ia tahu Rakael kadang suka membeli jajanan aneh yang membuat batuk.

Rakael cemberut, merasa dituduh. "Laka itu bukan keong Lacuuuun Nenek! Ayo Vieeel!" Rakael segera menyeret tangan kakaknya, tak ingin membuang waktu lebih lama mendengarkan ceramah neneknya.

Kirana hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah cucunya yang hiperaktif itu. "Hais, dasar anak itu. Semoga Vier kalem," gumamnya pelan sebelum kembali melanjutkan acara masaknya.

Rakael memimpin jalan bak seorang komandan pasukan. Ia mengajak kakaknya menyusuri jalan setapak di samping rumah menuju sebuah warung kelontong. Warung itu tidak begitu besar, dindingnya terbuat dari papan kayu yang dicat biru, tapi semua jajanan di sana lengkap. Mulai dari kerupuk, permen, hingga mainan plastik gantung tersedia.

Vier mengikuti Rakael dengan ragu. Ia belum terbiasa dengan lingkungan seperti ini. Matanya menatap waspada ke sekeliling, memperhatikan ayam-ayam tetangga yang lewat dan anak-anak lain yang berlarian.

Sesampainya di warung, Rakael langsung berteriak. "Pak Lobi, Laka mau jajan cama Kakak Laka!"

Seorang pria paruh baya yang mengenakan kaus singlet putih dan kain sarung kotak-kotak muncul dari balik etalase. Pria itu, Pak Robi, tersenyum melihat pelanggan kecilnya.

"Oh sudah pulang kakaknya? Waah mirip yah, tapi bisa dibedakan dari wajahnya," ucap Pak Robi ramah. Ia memang sudah mendengar kabar bahwa cucu Kirana yang satu lagi telah kembali.

Rakael mengangguk antusias, merasa bangga. "Mommy nya kan cama, kalu Mommy Viel ictli Pak Lobi balu beda," ucap Rakael dengan polosnya.

Pak Robi tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan itu. Logika anak kecil memang selalu tak terduga. "Dasar bocah, ada-ada saja kamu. Ya sudah sana beli. Dikasih uang berapa sama Nenek?"

"Dua lebu. Dia lebu bica beli yang mana?" tanya Rakael sambil menatap rak-rak toples berisi permen dan cokelat. Ia mengangkat uang dua ribu rupiah yang kumal di tangannya.

Vier, yang melihat banyaknya pilihan jajanan, menunjuk sebuah bungkusan keripik kentang bermerek terkenal. "Raka aku mau beli ini," ucapnya.

Rakael segera menggeleng kuat. Ia tahu harga barang di warung ini layaknya seorang profesional. "Jangan, itu mahal tujuh lebu. Uang kita nda cukup. Beli ini aja, cucu bantal celebu lima latus. Nanti lima latusnya pelmen catu," atur Rakael sambil menunjuk susu bantal dan toples permen.

Vier mel0ng0, ia menatap uang di tangan Rakael. "Ini dua lebu loh!" unjuk Vier. Di negara tempat ia tinggal sebelumnya, angka dua ribu adalah nominal yang sangat besar jika di hitung, atau mungkin ia hanya bingung dengan nilai mata uang yang berbeda. Baginya, angka 2000 terdengar banyak.

"Iya dua lebu, kan kita olang kaya jdi halganya mahal," jawab Rakael asal-asalan.

Pak Robi yang mendengar perdebatan itu kembali tertawa. Ia merasa gemas melihat kepolosan Vier dan sok tahunya Rakael. Hatinya tersentuh melihat kedua bocah yang tumbuh tanpa sosok ayah di samping mereka itu.

"Ambillah jajanan yang kalian mau, biar Pak Robi bayarkan hari ini," ucapnya murah hati.

Mata Rakael langsung berbinar cerah, lebih terang dari lampu warung. "Benelaaan Pak Lobi?!" serunya.

"Iya, ambil saja."

"Ambil Viel, Laka mau calimi," ucap Rakael cepat. Ia langsung menyambar sebungkus mi instan dari rak, makanan favorit terlarangnya.

Keduanya pun mengambil jajanan pilihan mereka dengan wajah sumringah. Vier mengambil cokelat yang tadi ia inginkan.

"Terima kasih Pak Ubi," ucap Vier tulus. Telinganya salah mendengar sehingga ia menyebut nama Pak Robi, mengubahnya menjadi jenis umbi-umbian. Tanpa merasa bersalah, Vier melangkah pergi lebih dulu, menikmati cokelat di tangannya.

Rakael yang tertinggal mel0ng0 menatap kepergian kembarannya, lalu menatap Pak Robi yang kini memasang wajah datar karena namanya diganti paksa.

"Cembalangan dia yah," gumam Rakael, mencoba bersikap dewasa. Ia melirik Pak Robi dengan tatapan meminta maaf. "Itu olang kpeelecet lidahnya, Iya kpeelecet."

Setelah memberikan pembelaan singkat untuk saudaranya, Rakael pun berlari menyusul Vier dengan mi instan di pelukannya. "Vieeelll tunggu Lakaaa!"

.

.

.

.

Jauh dari kehangatan rumah Mora dan kelucuan anak-anaknya, suasana berbeda menyelimuti Marco. Di sebuah taman kota yang mulai temaram karena matahari yang beranjak turun, pria itu berjalan sendirian. Angin sore menerpa wajahnya yang keras dan lelah.

Marco berkeliling bukan untuk menikmati pemandangan. Ia sedang mencari. Sudah lama ia mencari keberadaan wanita pencuri benihnya, wanita yang telah pergi membawa sebagian dari dirinya.

Langkah kakinya terhenti di dekat sebuah bangku taman. Marco merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponselnya dan membuka sebuah foto. Dalam foto itu, terlihat wajah Mora yang tersenyum.

"Di mana kamu," gumam Marco dengan suara berat dan serak. Rahangnya mengeras. Kota ini begitu besar, namun ia merasa petunjuknya selalu buntu.

Ia menghempaskan tubuhnya duduk di bangku taman, memijat pelipisnya yang berdenyut pening. Keheningan menyelimuti dirinya, seolah dunia ikut berduka atas keputusasaannya. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.

"EEEE WASSAP BRO! Dari kapan di sini? KOK GAK NGABARIN?!"

Sebuah seruan keras disertai tepukan yang sangat bertenaga mendarat di bahunya. Marco tersentak kaget, lamunannya buyar seketika. Refleks, ia menoleh dengan tatapan tajam, siap memarahi siapa pun yang berani mengganggu ketenangannya.

Di sana, berdiri seorang pria dengan setelan jas rapi namun dengan dasi yang sudah longgar. Pria itu menyengir lebar tanpa salah, menampilkan deretan gigi putihnya. Itu adalah teman lamanya, orang yang paling berisik yang pernah Marco kenal.

"Xyro?" tanya Marco, matanya membelalak tak percaya.

Xyro tertawa renyah, lalu tanpa permisi duduk di samping Marco, merangkul bahu temannya itu seolah mereka baru berpisah kemarin sore.

"Ya, kesayanganmu dataaang!" jawab Xyro dengan nada dramatis. "Dunia ini sempit sekali ya? Aku baru saja dari toko bunga, bertemu bidadari cantik yang jual mahal, dan sekarang bertemu denganmu, pria berwajah masam yang sepertinya butuh hiburan."

Marco mendengus, "Ck, berisik,"

__________________

Lunaaaas, bobooo bobooo😆

1
~Ni Inda~
Sdh ada bakat pemimpin sejak kecil
Walau terkesan santai, tp Raka jeli
Itu bagus
Tau & kelak bergerak dlm senyap
~Ni Inda~
Bohong !.
Bkn mengawal...tp mengawasi !
~Ni Inda~
Coba Laka goyang kek Om King Naccal
Pacti celuuu nyanyi baleenngg 😆😆
Hasanah Purwokerto
AnneValeria
bunda fafa
bilang ke daddy km.raka....issh..jan sibuk makan mulu🤦😅
Esther Lestari
Raka ngomong ke daddy kalau masih ada yg ngikutin mobil daddy.
Suruhan siapa lagi ini
bunda fafa
apapun masalahnya..makan adalah solusi nya ya raka🤣🤣
ari sachio
mgknkah anne it luciana at jgn2 orng yg dulu pernh mo berniat jahat ma mora....trs knp td anne bicara seolh pernah ketmu mora y thor...ak msh penasaran nichhh....
ari sachio
jgn2 ank2ny diem2 menghanyutkan....mereka be2 pya kemampuan tersembunyi..
bunda fafa
cuek2 gt ternyata Raka jg memiliki kelebihan seperti vier wlpn gak sekuat insting vier
bunda fafa
km ini beneran bocil kan vier?? kok aku jd merasa km berusia 17thn😱😅
bunda fafa
Mora : boro2 punya pacar..nyari duit buat menghidupi si kembar sj sdh tanpa henti..blm lg menyembunyikan si kembar dr keluarga ramirez
ari sachio
asyeeeeeekkkkkkkkk .......hoah hoehhhh.... tarikkkkkk
Esther Lestari
Anne minta orang mengawasi kemana rombongan Marco pergi dan dia merasa mengenali Mora.
Wah bahaya ini.
Teh Yen
dua kali ketauan itu sport jantungnya luar biasa plus malunya jg sih hihiiiii
ROSMEITA HUTABARAT
Mantap 👍👍👍👍
Teh Yen
apakah mereka benar" baik pada amora d kembar atau sandiwara saja? ada apa vier lebih baik katakan pada mony Mora kalau ada sesuatu yg mengganjal d hati
Ari Atik
muzuh dlm selimut
kaylla salsabella
wah kira" siapa lagi
Ari Atik
anne berbahaya..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!