Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu yang di tunggu-tunggu
Hari-hari begitu cepat berlalu, tidak terasa kini sudah enam bulan Wulan menganggur di rumahnya. Jika teman sebayanya kini sedang menikmati masa liburan setelah ulangan, ia sendiri hanya melakukan aktifitas rumah seperti biasa, liburnya sudah sepanjang waktu.
Tanpa terasa kini hari yang di tunggu itu telah tiba. Arif Prasetyo benar-benar pulang seperti yang di ucapkan di dalam suratnya kepada Wulan.
Penampilannya sangat-sangat tampan, berbeda jauh dengan ketika dulu waktu ia masih kecil. Kini Arif menjelma menjadi pria muda berperawakan tinggi, ramping, dan memiliki wajah yang nyaris sempurna.
"Assalamualaikum Bu, apakah Wulannya ada?"
Ratih yang sedang menjemur pakaian pun tampak bingung, memperhatikan anak laki-laki tampan yang datang mencari anaknya.
"Wa'alaikum salam, ada kok. Tunggu sebentar." jawab Ratih, segera memanggilkan Wulan.
Tak lama kemudian, muncullah gadis ayu berambut panjang itu berdiri diambang pintu sambil melihat penasaran, dia pun sedikit memiringkan kepalanya sambil bertanya.
"Siapa yang cari Wulan Buk?"
Namun mata indahnya segera menangkap sosok yang sudah berdiri tegap memandanginya dengan senyum tipis tanpa berkedip. Dan begitu pula wajah Wulan tak kalah terkejut, bibir mungilnya sampai tak mampu menutup apalagi berkata-kata menyaksikan makhluk ciptaan Tuhan yang mendekati sempurna di matanya.
"Apa kabar Dik Wulan?"
"Ah... A. Wu-Wulan baik." Begitulah jawabannya, saking gugupnya Wulan sampai tak berani menatap Arif. Tapi jauh terbalik dengan Arif, ia malah terus menatap Wulan meskipun tampak di tahan-tahan, sesekali ia menatap tanah yang di pijaknya, tapi kembali lagi menatap Wulan yang serba salah.
Ratih yang menyaksikan dari samping itu paham sekarang, bahwa tamunya adalah Arif, sosok anak laki-laki yang sering mengantar Wulan pulang ketika masih kecil dulu.
"Ini mau di depan pintu aja? Nggak di tawarin masuk?" kata Arif.
"Eh, iya Mas. Ayo silahkan masuk. Maaf." kata Wulan semakin salah tingkah, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Arif pun terkekeh, menghadapi sikap Wulan seperti itu seperti kembali ke waktu masih kecil dulu. Wulan masih saja malu-malu, menggemaskan sekali menurutnya.
"Kirain, kamu sudah pindah rumah." canda Arif, ia duduk menautkan kedua tangannya sambil menatap ruang tamu itu, melihat beberapa foto terpajang di sana.
"Ndak Mas, memangnya Wulan mau pindah kemana?" jawab Wulan, gadis ayu itu meletakkan teh hangat yang baru saja di bikinnya.
"Kemana saja bisa. Apalagi pindah ke lain hati?" ucap Arif, mendongak wajah ayu Wulan yang tampak semakin kikuk dibuatnya.
"Wulan Ndak kemana-mana Mas, bisanya hanya di rumah dan tidak akan pernah pindah kemanapun." jawab Wulan, menegaskan maksud dari ucapan Arif, sebetulnya bukan perihal rumah. Tapi hati dan perasaan.
Arif pun tersenyum lega, matanya bersinar mendengar jawaban Wulan sesuai apa yang di harapkan.
"Mas Arif, kapan pulang?" tanya Wulan pelan, berusaha untuk tidak canggung, meskipun hati serba salah dan malu bukan kepalang.
"Semalam. Tapi sudah terlalu malam. Jadi, ingin ketemu kamunya, di tahan dulu." jawab Arif, tanpa di persilahkan pun ia menyeruput teh hangat buatan Wulan.
"Apakah pendidikan Mas Arif di pondok sudah selesai?" tanya Wulan lagi, menghindari rasa malu bertubi-tubi gara-gara Arif terlalu blak-blakan.
"Sudah, makanya ini pulang mau ngelamar kamu."
"Ah?" Wulan sampai melongo mendengar kata-kata Arif, candaannya mulai keterlaluan.
"Gimana? Apa kamu Sudah bersedia?" tanya Arif lagi.
"Sudah bersedia apanya? Pertanyaan mu itu lho Mas?" Wulan menggeleng sedikit menggerutu.
"Lha, pertanyaannya sudah betul to? Salahnya dimana coba?" Arif semakin tertawa senang menyaksikan wajah ayu Wulan yang memerah.
"Ya, perihal sudah bersedia itu? Bukankah Mas Arif tidak pernah tahu kabar Wulan selama ini?" tanya Wulan memastikan.
"Iya. Aku tidak tahu dan tidak pernah mau tahu. Yakin saja kalau Wulan kecilku yang dulu tidak akan berpaling meskipun banyak yang menyukainya. Karena yang ganteng di hatinya Dik Wulan cuma aku kan?"
"Ih! Percaya diri sekali kamu Mas!" Wulan pun terkekeh geli menertawai Arif yang tidak pernah berubah.
Tawa renyah dari keduanya pun membuat sang ibu penasaran, tidak bisa menahan diri untuk mengintip dan menguping pembicaraan dua anak muda yang jatuh cinta itu.
Ratih pun ikut tersenyum mendengar gombalan Arif yang cukup berani menurutnya, tapi sebenarnya bukanlah gombalan semata yang di ucapkan pemuda itu, dia benar-benar ingin menikahi Wulan dan membawanya hidup bersama.
"Wulan serius Mas." rengek Wulan.
"Mas serius Wulan." Keduanya saling tertawa.
Sungguh tidak ada yang berubah dari Arif, dia akan berkata sesuai keinginannya, blak-blakan dan tidak mau bertele-tele. Membuat Wulan salah tingkah adalah kebahagiaan baginya.
"Habiskan minumnya? Biar pikirannya mas Arif lebih sehat!" kesal Wulan.
Arif pun terkekeh geli, meneguk sisa teh hangatnya lalu kembali berkata dengan serius.
"Aku serius Wulan. Lagipula kamu sudah tidak sekolah, aku juga sudah lulus dan akan bekerja di pondok tempat ku menuntut ilmu. Apakah kamu bersedia menikah muda dan menjalani kehidupan bersama ku?"
"Aku.... "
"Aku sudah minta izin kepada bapak dan ibuku, dan ibu mengizinkan aku menikah muda. Sekarang tinggal minta izin kepada Ibumu dan ayahmu. Barulah aku bisa tenang." kata Arif meyakinkan Wulan.
Wulan menatap wajah tampan yang selalu menjadi khayalannya itu, sungguh ini bukan mimpi.
"Hei?" Arif melambaikan tangannya di depan wajah Wulan.
"Eh, Mas."
"Mau Nggak?" tanya Arif, sungguh tidak sabar melihat Wulan yang berkali-kali terkejut itu.
"Mau Mas." jawab Wulan.
Arif tersenyum bahagia, nafasnya berhembus lega memandang wajah ayu Wulan yang kini tersipu bahagia.
"Dik, mas Arif pulang dulu. Sudah mau Adzan ini soalnya." kata Arif, melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Nggeh Mas. Mas Arif pulangnya lama kan?" tanya Wulan.
Arif pun menatap wajah ayu yang nampak masih rindu itu, kemudian tersenyum begitu lembut. "Iya. Kan mau melamar kamu. Kalau Mas pergi berarti sudah sama kamu."
"Maasss?" rengek Wulan.
"Iyaaaa. Sudah Ndak usah khawatir, besok Mas ke sini lagi."
Wulan hanya bisa menutup bibirnya, kesal bercampur bahagia mengaduk-aduk perasannya. Rindu dan cinta berlomba-lomba mengisi aliran darah sehingga panas dingin di buatnya.
"Bu, Arif permisi, pulang dulu. Terimakasih. Assalamualaikum Buk." Arif pun berpamitan kepada Ratih yang sudah lebih dulu duduk di bangku samping berpura-pura tidak mendengar obrolan anak muda itu.
"Iya, wa'alaikum salam nak." jawab Ratih ramah.
Jadilah kedua ibu dan anak itu memandangi Arif yang kian menjauh dari rumah mereka, hingga menghilang di tengah tikungan menuju mesjid. Sepertinya Arif memilih pergi ke mesjid terlebih dahulu.
"Kamu sering ketemu dia Lan?" tanya Ratih cukup penasaran.
"Endak Buk. Ini baru pertama kali bertemu setelah dulu, masih SD Wulan sering pulang bareng sama Mas Arif." jawab Wulan.
"Bulek!"
Keduanya pun menoleh keluar, siapakah gerangan yang berteriak-teriak.
"Nia?" Ratih melihat anak kakak keduanya datang tergesa-gesa.
"Bulek? Itu tadi mas Arif kan?" tanya Nia dengan nafas ngos-ngosan.
"Iya." jawab Ratih, mengajak keponakannya itu masuk ke dalam rumah. "Kamu juga kenal to?" tanya Ratih.
"Ya kenal lah Bulek, dia itu kan calon suaminya mbak Sar. Mereka sudah dekat sejak di pondok bertahun-tahun lalu bulek!"
"Apa?" Ratih menatap wajah Nia dengan sangat heran.
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya