WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA.
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA.
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka.
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon.
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari.
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama?
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah?
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu.
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rindu Dan Kenangan
#11
Esok harinya, Al mulai terlihat segar, dan hari ini dokter sudah memberinya izin pulang ke rumah.
Pagi ini, Al tengah menikmati buah pisang sebagai menu sarapan pembuka.
“Oh, iya, Mom, aku lupa. Kemarin, Mayra bilang, kue buatan Mommy enaaaakk benet, kalo mau di kacih lyagi juga gak nolyak, pacti ku cediakan tempat di dalyam pelyut ini.”
Agnes tertawa geli mendengar Al yang tengah menirukan gaya bicara Mayra. “Memang Mayra masih cadel?”
“Iya. Bukan cuma itu, kadang di sok tahu juga. Tapi kalau kalah, atau salah, eh dia yang marah.”
Mendengar ceritanya saja, Agnes sudah bahagia, apalagi jika bisa berbicara langsung dengan Mayra, pasti ia bisa sakit perut karena kebanyakan tertawa.
“Iya, next time, Mommy akan buat sesuatu lagi untuk Mayra, dan juga teman-teman Al yang lain.”
“Biar teman-teman tahu, kalau kue buatan Mommy-nya Al rasanya sangat enak,” kata Al bangga.
“Oh, iya, semalam Uncle Rama telepon, tapi Al sudah tidur.”
“Mau telepon lagi, Mom,” pinta Al.
Agnes meletakkan sendoknya, kemudian menyambar ponsel di meja. “Coba Mommy telepon dulu, siapa tahu Uncle belum sibuk.”
Tak lama kemudian. “Uncle!”
“Hai, jagoan Uncle. How are you?”
“I'm fine, Uncle.”
Keduanya pun terlibat obrolan asik benar-benar seperti ayah dan anak kandung, padahal hanya dua orang yang saling menyayangi.
•••
“Dok, yang tadi pasien terakhir,” ujar perawat yang menemani Leon di ruang rawat jalan hari ini.
“Syukurlah,” ucap Leon sembari meregangkan otot tubuhnya yang terasa kaku karena sudah duduk lebih dari 2 jam.
“Baiklah, aku tinggal dulu, ya? Terima kasih, Suster Riska, dan Suster Ismi.”
“Sama-sama, Dok,” jawab Suster Riska dan Suster Ismi bersamaan.
Leon pun keluar dari ruang pemeriksaan, ia menuju kafe karena perutnya sudah minta diisi.
“Macaroon?” gumamnya, ketika pihak kafe memasang sebuah rak display baru bertuliskan macaroon, makanan kesukaannya.
Tiba-tiba Leon menggelengkan kepalanya, karena perasaannya mencetuskan hal yang tak masuk akal. Andai pemilik dari etalase tersebut adalah dia.
Memori ingatan Leon seolah ditarik paksa ke masa lalu, dulu Agnes yang membuatkan macaroon untuknya. Dan hingga kini, Leon belum menemukan macaroon selezat buatan mantan istrinya.
“Kamu dimana, sekarang?”
Tanpa sadar Leon bertanya, karena ia pun tak pernah mencoba mencari keberadaan Agnes, kendati hatinya menjerit karena rindu yang kian menghimpit. Leon kembali melangkah menghampiri meja kasir untuk memesan makanan, mengabaikan rasa penasaran serta banyaknya pertanyaan.
Tiba-tiba Leon merasa ada seseorang yang menempelkan kepala di belakang pundaknya. “Aku lapar sekali, ingin pingsan rasanya,” keluh Kenzo.
“Aku mau nasi rames komplit, tambah udang saus padang, tumis bunga pepaya, oh iya satu lagi gepuk dagingnya 3 potong. Dia yang bayar ya, Mbak.” Kenzo menepuk pundak adiknya sebelum pergi mencari meja, “ini juga, ya?” Tak lupa Kenzo menyambar satu botol air mineral.
Leon menggelengkan kepala, ingin kesal tapi kok ya saudara kandungnya sendiri. Leon pun memesan menu makan siang yang ia inginkan, sambil menunggu, kedua matanya terus menatap rak display bertuliskan macaroon.
“Total 125 ribu, Dok.”
“Lalu, punya si brengsek itu?”
“Sudah termasuk, Dok.”
Leon pun mengeluarkan ponsel guna melakukan pembayaran.
“Mbak, kalau ini, kapan mulai beroperasi?”
Mau tak mau, Leon pun bertanya-tanya, tiba-tiba tertarik.
“Atasan saya bilang, mulai minggu depan, karena sekarang masih persiapan di toko yang yang akan menjadi dapur pusat produksi.”
Setelah mendapat penjelasan, Leon pun berterima kasih. Namun, jangan di kira rasa penasarannya hilang, justru semakin menjadi-jadi. Terutama rasa ingin tahu, bagaimana kabar mantan istrinya saat ini, apakah masih sendiri? Atau sudah menemukan pria yang bersedia menerima keinginannya yang tak ingin memiliki anak.
Leon membawa nampan berisi makan siangnya bersama Kenzo, tatapannya masih kosong seperti orang yang sedang memikirkan beban hidup maha berat.
“Kamu kenapa, sih? Punya hutang?” tanya Kenzo blak-blakan.
“Ckckck, uangku banyak, Mas. Ngapain berhutang?”
“Ya kali, kamu lagi kurang kerjaan.”
Leon manyun, sembari menata piring makan siang mereka. Sementara Kenzo dengan santai mulai comod makanan sana-sini, termasuk yang berada di piring Leon.
“Yak! Apa kamu juga bersikap begini pada istrimu?!” bentak Leon.
Kenzo hanya mengangkat pundaknya acuh, “Kalau tak ikhlas katakan saja, tak perlu membentak begitu,” gerutu Kenzo.
“Harap maklum, namanya juga orang ngidam,” sambung Kenzo. “Bersyukurlah, kamu tak mengalaminya, mungkin nanti bila istrimu hamil, kamu akan merasakan bagaimana di posisiku saat ini,” tutur Kenzo lagi, sementara mulutnya tak berhenti mengunyah makanan.
“Ups, lupa, kamu belum menikah,” ejek Kenzo. “Ternyata ayam opor ini enak juga.”
Setelah mengejek, Kenzo justru menyempatkan diri memuji opor ayam, yang sedang ia nikmati, seolah-olah tak merasa baru saja berbuat salah.
“Dari dulu rasanya juga begitu, Mas,” sergah Leon.
Pria itu hanya sibuk jadi pengamat karena yang sibuk makan justru Kenzo. Sementara Leon mendadak kenyang karena melihat pria itu makan seperti orang kelaparan. Efek hormon kehamilan istrinya kini mulai membuat tubuh Kenzo sedikit berisi.
Leon pun terpaksa makan, walau isi piringnya tak lagi utuh, memang harus lebih banyak bersabar dan mengalah, bila berhadapan dengan orang ngidam.
Namun, belum sampai makanannya habis, ponsel Leon bergetar.
“Aku angkat telepon dulu, Mas,” pamit Leon. Kemudian melangkah agak jauh dari area kafe.
“Hmm, ada apa?” sambut Leon datar seperti biasa.
“Kok gitu sih, padahal aku merindukanmu,” sahut orang itu. “Apa kamu tak merindukanku?”
“Tidak.”
Kembali Leon menjawab dengan asal, tapi orang yang di seberang sana hanya bisa menahan getir, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia masih harus banyak bersabar. Asal Leon bersedia menjadi kekasihnya itu sudah cukup untuk saat ini.
“Aku berencana menyusulmu.”
“Mau apa kamu di sini? Sementara pekerjaanmu ada di sana?”
“Tentu saja karena aku ingin bertemu denganmu,” ungkap Debby, kembali memperjelas maksudnya. “Bila perlu bekerja di Jakarta pun tak apa-apa.”
“Sebaiknya jangan kemari dalam waktu dekat ini,” kata Leon resah, membayangkan betapa nanti ia tak leluasa pergi kemanapun seorang diri. Karena Debby akan terus menempel seperti lintah.
“Kenapa?”
“Karena keluargaku belum tahu tentang kita,” jawab Leon enggan, akhirnya menemukan alasan yang tepat. Andai dulu ia tetap teguh menolak, tentu kini ia sangat nyaman dengan kesendiriannya.
“Justru bagus, bukan? Kita bisa langsung mengumumkan hubungan kita, bagaimana jika bertunangan dulu?”
“Apalagi bertunangan. Maaf, Debby, aku rasa aku belum siap ke arah sana.”
Debby menawarkan opsi yang Leon rasa masih amat sangat berat.
“Kenapa? Apa Kamu bertemu wanita yang meninggalkanmu itu? Ingat Leon, wanita itu meninggalkanmu begitu saja!” ujar Debby dengan emosi yang belum sanggup ia kendalikan.
Leon mendesah lelah, dulu ia bukan hanya patah hati, tapi juga marah, karena Agnes benar-benar pergi meninggalkan apartemen tanpa mengucap apa-apa, pamit pun tidak.
Dan Debby berhasil memanfaatkan hal itu untuk membuat citra Agnes di mata Leon semakin buruk.
“Cukup, Debby! Sejak dulu kamu sudah tahu bahwa aku tak pernah mencintaimu. Tapi kamu memaksakan hubungan ini, jadi ku harap sekarang jangan lagi memaksaku. Aku belum ingin membangun ikatan apapun, denganmu, atau dengan wanita manapun di bumi ini.”
“Jika kamu tak suka, silahkan pergi!”
###
Yang kangen mbak demit, silahkan ngomel✌
Al mendengar saat Agnes bilang daddy.
sudah gak naik kereta gantung tapi masih digantung thor😂