Zoe Aldenia, seorang siswi berprestasi dan populer dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba terjebak ke dalam sebuah novel romantis yang sedang populer. Dalam novel ini, Zoe menemukan dirinya menjadi peran antagonis dengan nama yang sama, yaitu Zoe Aldenia, seorang putri palsu yang tidak tahu diri dan sering mencelakai protagonis wanita yang lemah lembut, sang putri asli.
Dalam cerita asli, Zoe adalah seorang gadis yang dibesarkan dalam kemewahan oleh keluarga kaya, tetapi ternyata bukan anak kandung mereka. Zoe asli sering melakukan tindakan jahat dan kejam terhadap putri asli, membuat hidupnya menjadi menderita.
Karena tak ingin berakhir tragis, Zoe memilih mengubah alur ceritanya dan mencari orang tua kandungnya.
Yuk simak kisahnya!
Yang gak suka silahkan skip! Dosa ditanggung masing-masing, yang kasih rate buruk 👊👊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi
Malam menyapa dengan angin yang lembut, membawa aroma taman basah setelah hujan ringan sore tadi.
Zoe turun dari taksi di depan gerbang mansion keluarga Wiratmaja. Ia berdiri sejenak, memandangi rumah megah itu dengan sorot mata dingin, kemudian melangkah masuk tanpa suara.
Begitu pintu utama terbuka, suasana ruang utama langsung menyeruak. Semua anggota keluarga telah berkumpul.
Di tengah ruangan, Tuan Joe Wiratmaja duduk di kursi utamanya, berdampingan dengan Tina, istrinya. Kelima anak mereka juga ada di sana, Varo, si sulung yang kalem namun keras, Jesper yang cerewet, si kembar Arya dan Arvan yang licik, serta Alicia—sang putri sejati, duduk tenang dengan raut lembut dan polos.
Zoe baru saja akan melangkah ke tangga ketika suara Jesper memecah keheningan.
"Dari mana aja lo? Jam segini baru pulang," katanya tajam, matanya menyipit menilai penampilan Zoe dari ujung kepala hingga kaki.
Zoe menoleh singkat, tak tergugah.
"Keluar," jawabnya datar.
Namun belum sempat Jesper kembali bersuara, suara berat Tuan Joe menghentikannya.
"Jesper hentikan!" Tuan Joe lalu menatap datar Zoe. "Duduk, Zoe. Kami ingin mengatakan sesuatu padamu."
Zoe berhenti. Matanya menelusuri wajah-wajah di hadapannya sebelum akhirnya berjalan ke ruang tengah dan duduk di sofa tunggal. Posturnya tenang, tak menunjukkan gelagat panik ataupun emosi.
"Ada apa, Tuan Joe?" tanyanya. Nada formal yang ia gunakan membuat seisi ruangan sedikit bergidik, dan dada Tuan Joe pun terasa berat sejenak. Namun ia segera menepisnya.
"Kami sudah menyampaikan hal ini beberapa hari lalu. Sekarang waktunya untuk menjalankannya sesuai yang kau katakan."
Zoe mengernyit samar. "Menyampaikan apa?"
Arvan langsung mencibir. "Halah! Gak usah pura-pura lupa dan bego deh. Kami tahu lo cuma akting amnesia!"
"Iya," sambung Arya. "Langsung aja. Kami ingin lo keluar dari kamar yang lo tempati. Itu kamar Alicia. Putri asli keluarga ini. Bukan lo. Harusnya tanpa diberitahu, Lo harusnya sadar diri "
Jesper menimpali, "Iya, lo cuma putri palsu. Anak yang gak tahu orang tuanya. Bukan darah daging keluarga ini."
Tina ikut bicara, tajam dan tanpa tedeng aling-aling, "Sudah terlalu lama kamu menikmati fasilitas keluarga ini. Mulai malam ini, kamu akan tinggal di paviliun belakang. Itu tempat yang lebih cocok untukmu."
Hening.
Zoe menatap mereka semua satu per satu, lalu mengangguk pelan.
"Baiklah," ucapnya.
Semua terkejut. Varo bahkan sedikit menegakkan duduknya.
"Dia, setuju?" gumamnya pelan.
Arvan mengernyit. "Gak ngotot? Gak drama?"
Arya berbisik tak percaya, "Pasti lagi nyusun rencana licik."
Zoe berdiri dengan tenang, mengatur letak tasnya di bahu.
"Kalau tidak ada yang ingin disampaikan lagi, saya mau beres-beres."
Jesper bangkit. "Lo serius?"
Zoe menatap tajam ke arahnya. Tatapan yang menusuk tanpa suara.
"Kalian yang minta. Masa gak siap kalau permintaan kalian dikabulkan?"
Tina tampak hendak bicara, tapi Zoe telah lebih dulu berjalan menuju tangga.
Langkahnya mantap, tenang dan dingin.
Alicia memandangi punggung Zoe yang menjauh dengan tatapan aneh. Ada rasa tidak nyaman merambati hatinya. Zoe yang ia kenal akan mengamuk. Berteriak. Membuat keributan.
Tapi Zoe malam ini? Zoe hanya pasrah, bahkan tidak membantah sama sekali seperti beberapa hari yang lalu.
Ketika Zoe hampir sampai di tangga, suara lembut Alicia menggema, memecah keheningan.
"Kak Zoe ... maafkan aku," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Nada suaranya terdengar menyesal. "Aku tidak ingin merebut kamar itu. Tapi kakak Varo serta yang lain menyuruhku."
Zoe menoleh perlahan.
Varo langsung menjawab dengan nada datar, "Kau tidak perlu minta maaf, Alicia. Itu memang sudah hak kamu."
Alicia menatap Varo dengan bingung. "Tapi Kak, aku baru saja di rumah ini. Sedangkan Kak Zoe sudah bertahun-tahun bersama kalian, bukankah ini gak adil untuk kak Zoe."
Jesper mencibir. "Itu sudah seharusnya. Kamu gak perlu merasa bersalah, Licia."
Lalu ia memandang Zoe dan berkata dengan nada menyalahkan, "Lihat tuh. Lagi-lagi lo bikin Alicia merasa bersalah dan nangis."
Zoe yang sedari tadi hanya berdiri diam, akhirnya bersuara. Suaranya tenang namun dingin.
"Trus gue harus apa?" tanyanya, menatap semua orang di ruangan itu. "Apakah gue harus berontak dan gak mengalah? Begitu? Pasti kalian makin benci gue, bukan?"
Ia menghela napas.
"Gue ngalah salah. Gue gak ngalah, salah juga. Jadi kalian sebenarnya maunya apa?"
Tak ada yang menjawab. Hanya keheningan yang menggantung di udara, menyesakkan namun tak terucap.
Tak berapa lama, Zoe turun dari lantai dua yang hanya membawa satu tas jinjing hitam kecil. Tak ada koper mewah, tak ada sepatu branded, tak ada parfum mahal seperti biasanya.
Isinya hanya beberapa lembar pakaian, seragam sekolah, dan satu buku catatan yang sudah usang.
Langkah kakinya terdengar ringan namun mantap menuruni tangga besar rumah keluarga Wiratmaja. Di ruang tamu, Tuan Joe serta yang lainnya hanya diam
Begitu melihat Zoe turun, pria paruh baya itu langsung berdiri.
"Zoe," panggilnya pelan.
Zoe berhenti di anak tangga terakhir, menatap Tuan Joe tanpa ekspresi.
"Sudah beres semua?" tanyanya.
Zoe mengangguk singkat. "Cukup. Saya nggak butuh banyak."
Tuan Joe menghela napas, lalu mendekat.
Matanya menatap tas kecil itu, seolah tak percaya gadis yang selama ini hidup dengan segalanya bisa pergi hanya dengan satu tas sederhana.
Tina, Jesper, Varo serta yang lainnya menatap tidak percaya apa yang dibawa Zoe. Mereka tahu, Zoe adalah pecinta barang mewah.
"Tinggallah di paviliun dulu, Zoe. Sampai kamu menemukan orang tuamu. Kami tidak akan keberatan," ucapnya dengan nada sedikit lembut, walau datar.
Zoe diam beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab. "Tidak perlu, Tuan Joe."
Suaranya tenang, nyaris tanpa perasaan.
"Besok pagi saya akan pergi. Saya akan cari kontrakan sendiri."
Tuan Joe tertegun. Begitu juga dengan yang lain terkejut mendengar ucapan Zoe.
"Zoe ... kamu tidak harus buru-buru seperti ini. Kami—"
"Saya tidak terburu-buru." Zoe memotong kalimatnya. "Saya hanya tidak ingin lagi menumpang di rumah orang yang tidak menganggap saya bagian dari mereka."
Suasana mendadak hening. Angin malam dari jendela yang sedikit terbuka menggerakkan tirai pelan-pelan, seolah ikut menyimak pembicaraan itu.
"Kau tetap pernah jadi bagian dari keluarga ini, Zoe," kata Tuan Joe pelan.
Zoe menatapnya, kali ini dengan sorot mata yang lebih dalam. "Ya. Pernah."
"Dan sekarang sudah tidak lagi." Zoe melanjutkan ucapannya.
Tuan Joe menghela napas panjang, tapi tak berkata apa-apa lagi. Ia tahu, tak ada yang bisa menghentikan Zoe malam ini.
Zoe membenarkan posisi tali tasnya di bahu, lalu melangkah ke arah pintu keluar.
"Terima kasih atas semua yang pernah kalian beri. Tapi mulai besok, saya akan hidup sebagai diri saya sendiri. Bukan sebagai Zoe Aldenia versi keluarga Wiratmaja."
Seketika itu juga, Tuan Joe merasa seperti kehilangan sesuatu tapi ia tak tahu pasti apa. Begitu juga dengan yang lain tapi mereka segera menepisnya.
Punggung Zoe menjauh. Langkahnya tetap tenang, tidak terburu-buru. Ia membuka pintu rumah perlahan, menatap ke langit malam yang bertabur bintang. Lalu Zoe melangkah ke arah paviliun belakang.
ayo Thor lebih semangat lagi up-nya 💪 pokoknya aq padamu Thor 🤭