Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Masa lalu yang menyakitkan.
.
“Ayahmu, ayah kandungmu yang sebenarnya masih hidup. Dia adalah seorang pengusaha sukses bernama Rasyid Wiranegara.”
Akhirnya satu nama meluncur dari mulut Bu Ningsih.
Cahaya terkejut bukan main.Rasyid Wiranegara? Pengusaha sukses yang namanya sering muncul di media massa? Mungkinkah itu ayahnya?
“Rasyid Wiranegara? Maksud Ibu, pengusaha Rasyid Wiranegara itu ayah Aya?” tanya Cahaya dengan nada tak percaya.
Bu Ningsih mengangguk lemah. “Iya, Nduk. Rasyid Wiranegara adalah ayah kandungmu,” jawab Bu Ningsih.
Cahaya terdiam membisu. Pikirannya kosong. Ia tidak tahu harus berkata apa. Semua informasi ini terlalu tiba-tiba dan sulit untuk dicerna. Ayahnya adalah seorang pengusaha sukses yang kaya raya, sementara ia hanya seorang gadis desa dengan keterbatasan fisik. Mengapa takdir begitu rumit?
“Tapi, mengapa Ibu menyembunyikan ini semua dari Aya? Mengapa Ibu tidak pernah menceritakan tentang ayah?” tanya Cahaya akhirnya.
Bu Ningsih kembali terisak. “Dulu keluarga Rasyid tidak merestui hubungan kami. Mereka tidak ingin Rasyid menikah dengan wanita miskin seperti Ibu. Apalagi saat ibu melahirkan seorang anak perempuan, yaitu dirimu, orang tua Rasyid semakin membenci ibu. Karena Mereka menginginkan seorang cucu laki-laki sebagai penerus keluarga.” Bu Ningsih tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Cahaya menatap ibunya dengan tatapan iba. Ia mengerti sekarang mengapa ibunya begitu sedih dan menyembunyikan semua ini darinya. Ibunya hanya ingin melindunginya dari rasa sakit dan penolakan.
“Rasyid pernah menulis surat dan mengirim uang, tapi uang itu diambil kembali oleh ibu dan istri barunya."
Cahaya memeluk ibunya erat. “Sudah, Ibu… Jangan diingat lagi. Aya tak mau ibu semakin sakit hati," ucap Cahaya mencoba menenangkan ibunya.
Di dalam pelukan putrinya, mata bu Ningsih terpejam. Kilasan-kilasan masa lalu yang menyedihkan kembali hadir di pelupuk matanya.
*
Suara tangis bayi memecah keheningan sebuah rumah mewah di kota. Ningsih, dengan wajah pucat pasi, memeluk erat bayi perempuannya yang baru lahir. Rasyid, berdiri di sampingnya, menatap bayi itu dengan tatapan campur aduk.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan kasar. Orang tua Rasyid, dengan wajah berang, masuk ke dalam kamar.
"Apa ini? Jadi yang kamu lahirkan adalah bayi perempuan?" bentak Ibu Rasyid dengan nada jijik.
Ningsih menunduk, tidak berani menatap wajah mertuanya. Ia tahu, mereka sangat menginginkan cucu laki-laki sebagai penerus keluarga.
"Kami sudah bilang, kami tidak sudi menerima wanita miskin sepertimu di keluarga ini. Apalagi sekarang kau melahirkan anak perempuan!" hardik Ayah Rasyid dengan nada merendahkan.
"Ayah, Ibu, tolong jangan seperti ini. Ningsih tidak bersalah," bela Rasyid dengan nada memohon.
"Diam kamu, Rasyid! Kamu sudah mengecewakan kami. Sekarang, usir wanita ini dan anaknya dari rumah ini!" perintah Ibu Rasyid dengan nada tidak terbantahkan.
“Tapi, Bu…?”
“Usir dia, atau kami tidak lagi mengakuimu sebagai anak!”
Rasyid terdiam. Ia mencintai Ningsih, tapi ia tidak bisa melawan orang tuanya. Dengan berat hati, ia menatap Ningsih dengan tatapan penuh penyesalan.
"Maafkan aku, Ningsih… Aku tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Rasyid dengan suara bergetar.
Ningsih menatap nanar wajah suaminya. “Jadi kamu juga akan membuang kami? Kamu tega membuang istri dan anakmu?”
“Maaf,,,” Rasyid menunduk dengan air mata berlinang.
Ningsih mengangguk lemah. “Baiklah, semoga kamu tak menyesal di kemudian hari.” Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Dengan air mata yang berlinang, ia menggendong bayinya dan berjalan keluar dari rumah mewah itu.
"Ibu tidak akan menyerah, Nduk. Ibu akan membesarkanmu dengan sekuat tenaga," bisik Ningsih sambil mencium kening putrinya.
Ningsih berjalan tanpa tujuan. Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Ia tidak punya keluarga atau teman di kota itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke desanya.
Dengan berbekal uang seadanya, Ningsih menumpang bus menuju desanya. Sesampainya di desa, ia disambut dengan berbagai tatapan dari para tetangga. Ada yang iba, ada juga yang mencemooh.
Bisik-bisik para tetangga menjadi santapannya sehari-hari. Tapi, Ningsih tidak menghiraukan gunjingan para tetangga. Ia fokus pada putrinya, Cahaya. Ia ingin memberikan Cahaya kehidupan yang layak, meski dengan segala keterbatasan yang ada.
Ningsih tinggal di sebuah rumah kecil yang ia warisi dari orang tuanya. Ia bekerja sebagai buruh tani untuk menghidupi dirinya dan Cahaya. Kehidupan mereka sangat sulit, namun Ningsih tidak pernah menyerah.
Ketika Cahaya berumur sekitar enam bulan, seorang pria utusan dari keluarga Wiranegara datang ke gubuk Ningsih. Pria itu membawa sebuah amplop tebal dan beberapa lembar uang.
"Ini dari Tuan Rasyid untuk Nyonya Ningsih," ucap utusan itu dengan sopan.
Ningsih menatap utusan itu dengan tatapan dingin. Ia tahu, Rasyid mengirimkan uang sebagai bentuk tanggung jawabnya. Namun, Ningsih tidak sudi menerima uang dari keluarga Rasyid.
"Katakan pada Rasyid, aku tidak butuh uangnya. Aku bisa menghidupi putriku sendiri," ucap Ningsih dengan nada tegas.
Utusan itu terkejut mendengar jawaban Ningsih. Ia mencoba membujuk Ningsih untuk menerima uang itu, namun Ningsih tetap menolak.
"Maaf, Nyonya. Saya hanya menjalankan tugas. Jika Nyonya tidak menerima uang ini, terserah Nyonya. Tapi saya juga tidak bisa membawanya kembali," ucap utusan itu dengan nada menyesal.
"Aku tidak peduli," jawab Ningsih dengan nada acuh.
utusan itu akhirnya meletakkan amplop itu di meja yang ada di beranda rumah, lalu pergi meninggalkan Ningsih.
Ningsih menatap amplop dan uang itu dengan tatapan nanar. Ia merasa terhina karena perlakuan Rasyid dan keluarganya. Tapi dia harus mengakui kalau dia dan putrinya membutuhkan uang itu
Ningsih mengambil amplop itu, dan melihat isinya. Seikat uang berwana merah. Air matanya berlinang. Namun, baru saja ia hendak masuk ke dalam untuk menyimpan uang itu, ,,,
Sebuah mobil berhenti di depan rumahnya yang sempit. Ibu mertuanya turun dari mobil itu bersama seorang wanita cantik yang mungkin seusia dengan dirinya.
Bu Ningsih merasakan firasat buruk. Ia memeluk bayi kecilnya dengan erat. Dan benar saja.
"Huhh, jadi ini rumah gadis kampung yang telah menjebak putraku?" ibunya Rasyid menatap dengan penuh cemooh. Tak hanya itu, wanita tua itu juga segera menyambar amplop yang ada di tangan Ningsih.
"Gadis miskin sepertimu tak layak memegang uang sebanyak ini!" makinya. "Nih, Mona, istri baru Rasyid, yang berasal dari keluarga ningrat yang pantas"
Ningsih diam tak menjawab. Hanya air mata yang terus membanjiri wajahnya. Ternyata Rasyid sudah menikah lagi.
Ibunya Rasyid dan istri baru Rasyid pergi setelah melontarkan banyak hinaan.
"Ibu akan selalu menjagamu, Nduk. Ibu tidak akan pernah membiarkan siapa pun menyakitimu," bisik Ningsih sambil meneteskan air mata.
*
*
*
Beberapa bulan kemudian, wabah polio menimpa desa mereka. Dan Cahaya termasuk salah satu bayi yang terjangkit virus polio. Ningsih merasa sedih. Andai saja ibu dan istri muda Rasyid tidak merampas uang itu, mungkin ia bisa membawa Cahaya ke dokter dan menyembuhkan putrinya.
Akibat polio, kaki Cahaya menjadi cacat. Ia bisa berjalan, tapi tidak seperti anak-anak lainnya. Ningsih merasa bersalah karena tidak bisa melindungi putrinya dari penyakit mematikan itu.
Kembali ke masa sekarang.
Bu Ningsih membuka matanya, wajahnya terangkat menatap putrinya yang kini berlinang air mata. "Maafkan Ibu, Nduk. Ibu tidak bisa menjagamu dengan baik," bisik Ningsih sambil memeluk Cahaya erat.
*
*
*
Hari telah larut. Cahaya menutup kamar ibunya setelah memastikan wanita itu benar-benar tertidur pulas. Sambil menghapus air matanya ia kembali ke kamarnya sendiri.
Duduk di tepi ranjang dengan pikiran berkecamuk. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Memiliki ayah, tapi tak tahu di mana rimbanya. Lalu bagaimana dengan pernikahannya?
anginnya booo!! itu twmpat tinggi banget/Sweat/
dinginnya sampe bikin bibir kering pecah2 aaayy... bisa2nya kau bilang suka/Curse/
kami = aku dan orang-orang selain kamu