Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Dua Pria Di Apartemen Marsha.
Aldo menyimpan kembali ponselnya setelah ia mengirim pesan laporan tentang Marsha kepada Rafael. Sembari menunggu gadis itu mandi, Aldo memilih merebahkan tubuhnya di atas sofa.
“Tumben dia tidak langsung membaca pesanku. Biasanya, tidak lebih dari tiga menit sudah terbalas.” Monolog Aldo. Ia kembali memeriksa pesan yang telah di kirimnya. Masih centang dua berwarna abu-abu. Tanda belum di baca oleh si penerima.
Aldo pun tidak ambil pusing.
Hendak memejamkan mata, suara bel pada pintu depan berbunyi. Membuat dahi Aldo berkerut halus.
“Apa jangan-jangan, dia datang kemari?” Pria itu dengan cepat bangkit dari atas sofa.
Akan menjadi masalah besar jika Rafael melihatnya rebahan di dalam apartemen Marsha.
Aldo mematung sejenak, apa ia harus membuka pintu itu? Sementara, Marsha baru saja masuk ke dalam kamar mandi, dan mengatakan akan sedikit lama di dalam sana.
“Oke, tenang Al. Jika itu Rafael, kamu bisa beralasan menumpang ke kamar mandi.”
Aldo menganggukkan kepala. Kemudian berjalan menuju pintu.
“Pak Aldo?”
“Chef Robby.”
Ucap dua orang pria itu secara bersamaan .
Ternyata bukan Rafael, melainkan Chef Robby. Kedua pria berbeda usia itu sejenak saling pandang. Bukan karena terkesima, namun karena sibuk menduga-duga.
Suasana pun mendadak canggung.
“Marsha ada di dalam?” Chef Robby bertanya lebih dulu.
“Ah, ya. Silahkan masuk, chef.” Aldo mempersilahkan pria tiga puluh lima tahun itu untuk masuk, ia kemudian menutup pintu.
Benak Chef Robby diliputi pertanyaan tentang apa yang Aldo lakukan sepagi ini di apartemen Marsha. Apalagi melihat pria yang delapan tahun lebih muda darinya itu hanya mengenakan kemeja, dengan jas yang tersampir di pinggir sofa.
“Ada yang bisa saya bantu, Chef?” Tanya Aldo kemudian.
“Apa yang pak Aldo lakukan disini? Dan dimana Marsha?” Tanya Chef Robby. Ia tak melihat keberadaan sang asisten di ruangan itu.
Aldo mengusap dahinya yang tiba-tiba gatal. Ia seperti seorang yang baru tertangkap basah, mengencani kekasih pria lain.
“Saya membawakan sarapan untuk Marsha, Chef. Saya dengar kemarin dia ijin pulang lebih dulu karena sedang tidak enak badan.” Jelas Aldo jujur. Ia memang mendengar kabar Marsha dari Rafael bukan?
“Membawakan sarapan?” Gumam Chef Robby. Pandangan pria dewasa itu seketika jatuh pada kotak bekal yang ia bawa. Dirinya juga datang membawakan sarapan untuk Marsha. Ia bangun tidur lebih pagi, agar bisa membuatkan gadis itu sarapan. Karena yakin, Marsha pasti enggan untuk membuat sarapan.
Tetapi rupanya ia kecolongan. Ada pria lain yang lebih dulu datang ke unit gadis itu.
Aldo ikut menatap ke arah bawaan pria dewasa itu, ia pun menjadi tidak enak hati.
‘Maafkan aku, Chef. Aku hanya mengikuti perintah Rafael. Jadi, aku yang lebih dulu.’
“Sepertinya, anda sangat perhatian dengan Marsha?” Tanya Chef Robby kemudian. Hati pria dewasa itu mendadak gusar. Merasa jika dirinya kini memiliki saingan untuk merebut perhatian Marsha.
Aldo mengangguk. Ia perhatian kepada Marsha karena tugas yang di berikan oleh Rafael padanya. Namun, pria itu tentu tidak akan mengatakan yang sebenarnya.
“Hmm, mungkin Chef belum tahu, saya dan Marsha dulu kuliah di kampus yang sama. Karena itu, di awal pertemuan kami, Marsha merasa saya tidak asing baginya.” Alasan yang masuk akal menurut Aldo.
Chef Robby menganggukkan kepalanya. Marsha sudah pernah mengatakan hal yang sama beberapa waktu lalu.
Suasana kembali canggung. Aldo ingin mempersilahkan Chef Robby untuk duduk pun, ia sadar bukan tuan rumah.
“Chef.”
Aldo dan Chef Robby pun serempak menatap ke arah sumber suara. Marsha berada di ambang pintu kamar mandi, dengan penampilan segar dan sudah berganti pakaian. Hari ini, gadis itu bekerja di shift sore. Karena itu ia hanya menggunakan setelan santai.
Marsha berjalan mendekat ke arah dua pria itu.
“Bagaimana keadaanmu, Sha?” Tanya Chef Robby.
“Aku sudah lebih baik, Chef.” Gadis itu tersenyum kaku. Ia merasakan kecanggungan yang terjadi di antara dua pria itu.
“Oh ya, aku membawakan mu sarapan.” Chef Robby menunjukkan kotak berbahan plastik itu. “Tetapi, kata pak Aldo kamu sudah sarapan.”
Marsha melihat kotak itu. Ia yakin jika Chef Robby membuat isinya sendiri, bukan dari membeli di luar.
“Terimakasih, Chef.” Marsha mendekat. Dan meraih kotak itu. Ia harus menghargai usaha Chef Robby yang telah membuatkan sarapan untuknya.
“Tetapi kamu sudah sarapan, Sha.”
Marsha kembali tersenyum. “Aku akan menyimpannya untuk makan siang, Chef.”
\~\~\~
“Apa kamu sedang dekat dengan Chef Robby?” Tanya Aldo pada Marsha yang sedang duduk di samping pria itu.
Mereka kini telah berada di jalan menuju pasar modern, untuk membeli persediaan bahan makanan di kulkas Marsha.
“Tidak juga. Maksudku, kami dekat karena pekerjaan. Selebihnya,—
“Selebihnya, sering sarapan dan makan malam bersama.” Lanjut Aldo terkekeh.
Marsha mendelik. “Kamu menguntit ku, Al?”
Aldo terkekeh. “Tidak. Hanya sekedar mencari tahu.”
“Apa Rafael yang menyuruhmu?” Selidik Marsha kemudian.
Aldo menggelengkan kepala. “Percaya sama aku, Sha. Sebelum Rafael melihatmu tempo hari, aku tidak pernah mengatakan keberadaan mu disini.”
Marsha tidak menanggapinya.
“Aku serius. Aku memang berjanji pada Rafael akan membawa kamu kehadapannya suatu hari nanti. Tapi, ternyata dia sudah melihatmu lebih dulu. Halhasil, aku kena bogem.” Pria itu berdecak kesal.
“Kenapa kamu berjanji membawa aku padanya, Al?” Tanya Marsha penasaran.
“Karena aku merasa bersalah pada kalian. Seandainya, aku tidak mengatakan apa yang aku dengar, mungkin kamu tidak akan pergi dari kota ini, Sha.”
Nada suara Aldo terdengar sangat bersalah. Marsha tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Ia sendiri enggan membahas masalalu.
“Itu bukan salah kamu, Al. Kami memang tidak berjodoh. Ya, mungkin harusnya aku tidak lari. Toh, mereka juga menikah di Yogya.” Marsha mengedikan bahunya.
“Apa kamu akan memaafkan dia, Sha?” Tanya Aldo kemudian. Pria itu sengaja melambatkan laju mobilnya, agar bisa berbicara lebih lama dengan Marsha.
“Aku sudah memaafkannya, Al.”
“Dia masih sangat mencintaimu, Sha.”
Marsha tersenyum mengejek. Masih sangat mencintai? Omong kosong.
“Jika dia mencintai aku, dia tidak mungkin punya anak dengan wanita lain ‘kan, Al?