Malam "panas" antara Danar dan Luna, menjadi awal kisah mereka. Banyak rintangan serta tragedi yang harus mereka lalui. Masa lalu mereka yang kelam akankah menjadi batu sandungan terbesar? atau malah ada hamparan bukit berbatu lainnya yang terbentang sangat panjang hingga membuat mereka harus membuat sebuah keputusan besar dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Kunci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35.
Dian terlihat perlahan - lahan bangkit dari sakitnya, perempuan berambut panjang itu terlihat tidak lagi terbaring di ranjang dan sedang menikmati menu sarapannya bersama Mutiara. Sang Saudara Kembar sesekali melihat kearah Dian sambil mempermainkan makanannya, tidak sengaja kemudian kedua mata mereka saling bertatapan. Dian menghela napas sambil mengunyah makan paginya dan menatap kearah Mutiara terus.
"Kamu buat salah apa?" tanya Dian langsung masih dengan mata agak menyipit dan masih dalam mode mengunyah.
Bulir peluh Mutiara perlahan turun dari punggung dibalik pakaian yang dikenakannya. Alat makan yang awalnya masih dipegang seketika dilepas hingga terdengar suara berdenting di pinggir piring, perempuan berambut pendek itu berdiri dan kemudian bersimpuh di hadapan Dian. Ekspresi wajah Dian tidak berubah dan kini dia bersandar dengan sedikit memiringkan kepalanya, Mutiara sendiri kemudian memulai penjelasannya soal Dimas.
Wajah penuh kekhawatiran dan juga pandangan mata yang tidak berani melihat kearah Dian itulah kondisi Mutiara yang masih bersimpuh karena merasa bersalah. Dian kemudian merubah posisi kepala serta duduknya dan mengambil gelas minuman untuk ditegur hingga habis, lalu dia mengusap bibirnya yang masih agak pucat dan perlahan mendorong kursi untuk berdiri. Perempuan berambut panjang itu kemudian mengambil kedua lengan Mutiara dan membuat tubuh Saudara Kembarnya itu kini sudah berdiri - berhadapan dengannya.
"Jangan dibiasain buat bersimpuh kalau kamu ngerasa bersalah. Apa yang kamu lakukan dan katakan sama Dimas itu benar adanya, jadi nggak ada yan salah Mut..." ucap Dian dengan wajah yang masih 1/2 pucat itu.
Kini wajah ketakutan Mutiara berubah menjadi bingung dengan kerutan di dahinya dan juga ekspresi menuntut penjelasan terukir jelas. Dian kemudian menarik kembarannya itu untuk duduk di salah satu sofa. Dian kemudian memulai ceritanya,
Beberapa hari sebelumnya...
Ketika Dian siuman, Dokter Rama langsung membawanya ke salah satu rumah sakit tempat beliau bekerja. Disana kondisi Dian diperiksa secara mendetail, setelahnya perempuan berambut panjang itu masuk untuk menginap beberapa hari disana. Tidak sedetikpun kedua orang tua Dian membiarkannya sendiri, senyum simpul dan nampak masih lemas terlihat dari perempuan itu ketika Sang Ibu membantunya makan.
"Sayang..." panggil lembut Pak Alan sambil duduk perlahan disamping Dian.
Sang Anak menoleh dengan kedua alis naik dan juga mengunyah bubur yang baru masuk ke dalam mulutnya. Satu tangan diraih dan dielus pelan sambil kedua mata mereka saling bertatapan, perasaan ragu sudah menyelimuti Pak Alan sedari awal namun dia memutuskan untuk mengutarakannya,
"Kemarin waktu Mami sama Papi berkunjung ke salah satu sore kita di Singapura, kami nggak sengaja ketemu sama Felix dan juga Ayahnya. Lalu..." cerita Pak Alan belum selesai namun terhenti, ketika tangan Diang yang sedang dipegang Sang Ayah perlahan ditarik oleh perempuan itu dengan wajahnya yang berubah tertunduk.
Pak Alan dan Sang Istri kemudian saling bertatapan sesaat, Ibu Gina lalu meletakkan mangkuk bubur yang menjadi menu makan Dian kala itu. Perempuan bertubuh agak tambun dan tinggi itu kemudian duduk lebih dekat kearah Sang Anak dengan meraih satu tangannya dan mengelus lembut.
"Kalau Papi mau Dian kembali pada Felix dan menikah dengannya, akan Dian lakukan..." ucap Dian tiba - tiba dengan senyum lebar dan cerianya.
Kedua orang tua Dian kembali dibuat terpukau dengan perubahan drastis ekspresi Sang Anak dan juga ucapan yang bahkan belum dikatakan oleh Sang Ayah. Pak Alan kemudian memegang satu lengan Dian hingga membuat tubuh perempuan muda itu agak miring masih dengan wajah cerianya.
"D, look. Papi bukan minta kamu menikah dengan Felix, karena hubungan kalian sampai berakhir pun, Papi nggak berani bertanya penyebabnya. Hanya saja, Papi - Mami perhatikan setelah kalian putus kamu seperti orang yang hilang harapan bahkan sesekali Papi takut kamu, kamu melakukan hal diluar akal sehat..." lanjut Pak Alan.
Masih dalam posisi terdiam, Dian kemudian menggelengkan kepala dan memegang balik masing - masing tangan orang tuanya. Perempuan itu kemudian mengutarakan isi hatinya yang juga berniat menghubungi Felix kembali, namun rasa gengsi juga sakit hati atas masalah mereka di masa lalu membuatnya menahan diri. Mendengar semua penjelasan Dian yang sebenarnya adalah kebohongan besar, Pak Alan serta Sang Istri kembali saling tatap dan tersenyum. Ibu Gina seketika memeluk tubuh Sang Anak dan mengelus belakang kepalanya.
Kembali ke masa kini...
Mutiara membeku dan hilang kata - kata ketika dia mendengar semua cerita Dian. Tawa kecil dengan senyum ceria yang sebenarnya dipaksakan dilakukan oleh Dian, sedangkan Mutiara membenahi posisi duduknya dan kemudian perlahan berdiri hingga membuat kembarannya bingung serta mengikuti arah pergerakan perempuan berambut pendek itu.
"Mut..." panggil Dian dengan wajah bingungnya.
"Aku butuh waktu dan - aku tarik rasa bersalah soal Dimas. Seharusnya aku tidak bohong padanya dan mengatakan sejujurnya soal perasaan kamu ke dia. Setidaknya D, setidaknya aku mau kamu bahagia kali ini, bukan malah masuk ke jurang yang sama..." ucapan Mutiara terdengar sangat serius begitu juga dengan raut wajah datar yang hampir tidak pernah dia lakukan, saat itu terukir sangat jelas.
Pandangan mata Dian seketika nanar dengan debaran di dadanya yang kini hampir membuat napasnya sesak, kedua tangannya terkepal remas alas sofa yang empuk itu.
xxxxxxxx
Dimas terlihat baru saja sampai dan sedang membuka helm full face yang dikenakannya setelah memarkir motor, lalu dia membenahi sedikit rambut ikal pendeknya barulah kemudian dia turun. Masih terlihat namun sudah lumayan samar bekas luka di wajahnya, dia melangkah sambil melihat kearah jam tangan, awalnya dia berniat agak berlari karena waktu untuk dia mengabsen kehadiran hampir habis, namun niatnya terhenti ketika tidak jauh dari tempatnya berada, dia melihat sosok Dian keluar dari sebuah mobil jeep mewah, bukan hanya itu yang membuat Dimas membeku, tapi setelah turun dia menggandeng sosok lelaki tinggi bertubuh atletis berkacamata hitam. Mereka sesekali terlihat tertawa bersama, gestur tubuh keduanya terlihat sangat mesra. Dimas bukannya berjalan kearah lift terdekat, tapi dia malah berjalan kearah Dian dan sosok lelaki muda tampan bernama Felix itu. Matanya dan Dian saling bertemu ketika mereka berpapasan, namun itu terjadi sesaat karena perempuan berambut panjang itu langsung berpaling dan merubah pegangan tangannya menjadi agak bergelendotan di lengan orang yang akan menjadi calon suaminya.
Mata Dimas nanar dengan langkah kaki yang terhenti, sesaat dia memandang ke depan dan perlahan berbalik untuk melihat kembali kearah Dian dan Felix. Debaran jantungnya meningkat, suara berdengung terdengar di kedua telinganya sehingga satu matanya otomatis tertutup karena merasa terganggu.
"Dia - bohong..." gumam pelan Dimas yang merasa tekanan darahnya naik.
Di dalam lift, Dian melepas pegangannya dan juga mendorong tubuh Felix hingga tawa renyah keluar dari mulut lelaki berkacamata hitam itu. Lelaki muda bertubuh bagus itu membuka kacamatanya dan menatap kearah Dian, satu tangannya memegang bagian rahang perempuan itu hingga wajah mereka saling menatap.
"Baby, sebentar lagi kamu akan jadi milikku sama seperti dulu hanya bedanya, sekarang for ever and ever..." bisik Felix di salah satu telinga Dian.
Wajah jijik dan tegang Dian terlihat jelas dengan kedua tangan yang dikepalnya untuk meredam emosi yang dirasakannya sedaritadi.
Setelah mengantar Dian hingga ke ruangannya dan mereka berpisah dengan cara tidak baik karena saat lelaki muda itu ingin mendaratkan sebuah ciuman di salah satu pipi mulus perempuan berkacamata itu, berakhir dengan sebuah tamparan keras. Alih - alih kesal, tawa lebih keras terdengar dari arah Felix sambil mengusap sudut bibirnya. Lalu dia pergi dengan melakukan kecupan jarak jauh menggunakan satu tangannya, Dian memicingkan mata dengan kerutan di dahi. Dia kemudian menutup pintu ruangannya dan jalan agak sempoyongan ke arah kursi di dekat rak berkas. Dipukul beberapa kali alas sofa itu dengan tangisnya yang pecah.
********